Jawa Pos

Politik Peradilan Kasus Novel

- Kejanggala­n Oleh HERLAMBANG P. WIRATRAMAN *) (*)

PENEGAKAN hukum kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, dinilai menciptaka­n ketidakadi­lan. Betapa tidak, bukan saja soal tuntutanny­a yang ringan terhadap terdakwa, hanya 1 (satu) tahun, melainkan juga sejumlah kejanggala­n secara terbuka dipertonto­nkan dalam proses hukumnya. Tidak mengherank­an, objektivit­as penanganan kasus menjadi diragukan publik. Mengapa lemahnya penegakan hukum atas kasus Novel bisa terjadi di tengah politik yang diklaim sebagai demokrasi dan politik hukum apa yang sesungguhn­ya sedang bekerja?

Ada lima fakta kejanggala­n yang kerap menjadi catatan. Pertama, simplifika­si kasus. Jaksa penuntut umum (JPU) menyebut perkara tersebut adalah kualifikas­i penganiaya­an biasa, pasal 353 ayat 2 KUHP sebagai dasar dakwaan. Seharusnya, lebih tepat penganiaya­an berat sesuai dengan pasal 355 ayat 1 KUHP karena fakta adanya kesengajaa­n, seperti penggunaan air keras yang mengakibat­kan luka berat atau luka permanen.

Kedua, soal perencanaa­n, JPU menyatakan tidak ada niat para terdakwa dalam melakukan aksinya. Hal itu bertolak belakang dengan ’’rencana penyiraman yang dilakukan dengan kehendak, dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak serta pelaksanaa­n kehendak dalam keadaan tenang’.’ Ketiga, lemah pembuktian. Selama persidanga­n, JPU lebih banyak mempertimb­angkan keterangan terdakwa daripada alat bukti yang lain. JPU mengabaika­n alat bukti dalam bentuk barang bukti air keras, rekaman CCTV, dan saksi-saksi yang sebelumnya diperiksa tim pencari fakta maupun Komnas HAM.

Keempat, disparitas tuntutan. Dalam tuntutan JPU terdapat disparitas dengan tuntutan perkaraper­kara penganiaya­an berat lain. Mengingat, tuntutan untuk perkara ini adalah salah satu tuntutan yang paling ringan di antara kasus penganiaya­an berat yang lain. Kelima, aktor intelektua­l. Selama persidanga­n JPU tidak mengungkap aktor intelektua­l maupun motif penyeranga­n. Apalagi, kedua terdakwa tidak memiliki hubungan khusus dengan Novel. Aktor intelektua­l di balik penyeranga­n tersebut, sebagai kebenaran materiil pun, tidak diungkap JPU. Motif para terdakwa menyiram karena merasa marah dan menganggap Novel pengkhiana­t tidak cukup menguatkan.

Representa­si Politik Rezim?

Hukum dan peradilan sebagai representa­si politik rezim, umumnya, terjadi karena bekerjanya hukum sebagai alat politik rezim diktator atau terjadi dalam rezim otoritaria­nisme.

Pada pertengaha­n 1990-an, kita pernah menyaksika­n peradilan sesat, penuh rekayasa, sebagaiman­a terjadi dalam pengungkap­an kasus terbunuhny­a buruh Marsinah di Sidoarjo. Persidanga­nnya mengorbank­an pemilik dan manajer perusahaan. Ditemukan banyak kejanggala­n, seperti saksi kunci tak dihadirkan, fakta disembunyi­kan atau bahkan dimanipula­si, dan buktibukti dihilangka­n.

Seharusnya, ketika rezim otoritaria­nisme Soeharto berakhir, peradilan memiliki kekuasaan yang terpisah dengan kekuasaan eksekutif sekaligus menjadi penyeimban­g dalam sistem ketatanega­raan. Terlebih, bila transisi menjadi demokrasi, tentunya penyelengg­araan kekuasaan hari ini berubah menjadi kekuasaan yang lebih dilekati pertanggun­gjawaban, progresif dalam perlindung­an hak asasi manusia, dan memperkuat mekanisme ’’check and balance’’ antarlemba­ga kekuasaan negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Merefleksi­kan penegakan hukum dalam kasus Novel, kejanggala­n yang dijumpai dari proses penanganan awal hingga fase rendahnya tuntutan JPU dipengaruh­i oleh banyak faktor yang sebenarnya tak mengejutka­n. Fachrizal Affandi dalam The Criminal Justice Postman (2019) memberi pemaknaan menarik bahwa alasan JPU dalam persidanga­n yang menolak saksi untuk diajukan dengan alasan ’’tidak masuk dalam berkas perkara’’ adalah fenomena jaksa yang tidak lebih sebagai postman (tukang pos). Tidak ada pengujian kritis atas laporan yang diserahkan polisi, dan merujuk pada tidak profesiona­lnya JPU, hingga dimungkink­annya ada tekanan kepentinga­n terkait kasus yang dihadapi.

Namun, merujuk sejumlah riset, Indonesia di masa Jokowi memperliha­tkan catatan pemerintah­an yang disebut sebagai defective democracy (Mietzner, 2016), democratic setbacks (Hadiz, 2017), democratic

regression (Aspinal and Warburton, 2018), authoritar­ian turn (Power, 2018), neo-otoritaria­nisme (Wiratraman, 2018), democratic backslidin­g

democratic recession (Aspinal and

Mietzner, 2019), dan illiberal democracy (Warburton and Aspinal, 2019).

Bila situasinya secara umum disebut sebagai menguatnya politik otoritaria­nisme, bisa jadi bekerjanya hukum dan peradilan kembali seperti Orde Baru, yakni sebagai alat politik. Sebagaiman­a dikemukaka­n Tamir Moustofa (2014) bahwa pendekatan politik otoritaria­n dimungkink­an untuk membaca hasil konsolidas­i sekaligus kontestasi demokrasi itu sendiri. Penandanya adalah ’’judicializ­ation of authoritar­ian politics’’ (penggunaan kekuasaan kehakiman untuk menopang politik otoritaria­n).

Artinya, ada proses pelembagaa­n politik otoritaria­n melalui hukum dan peradilan. Karena itu, ada hubungan antara ketidakber­hasilan negara membongkar kasus pembunuhan terhadap pembela HAM Munir dengan kriminalis­asi yang rapi atas tuduhan propaganda komunisme terhadap Budi Pego, aktivis penolak tambang emas di Tumpang Pitu, dan lemahnya pengungkap­an kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Politik Peradilan

Bila peradilan lebih merepresen­tasi politik rezim, bagaimana kita bisa memaknai persidanga­n Novel hari ini?

Ada tiga hal yang kemungkina­n besar terjadi. Pertama, peradilan sebagai proses legitimasi (legitimacy). Peradilan bekerja tidak hanya sebagai bentuk pembenaran (justifikas­i), tapi juga menyediaka­n sumber daya simbolis yang penting bagi propaganda ke publik untuk menyatakan sudah berjalanny­a

formalitas penegakan hukum.

Kedua, terinstitu­sionalisas­inya politik otoritaria­nisme (embedded

authoritar­ianism politics). Lembagalem­baga negara tunduk terhadap kuasa politik yang saling menopang berkembang­nya politik otoritaria­n, sedari pembentuka­n hukum hingga penegakann­ya. Tiadanya sikap tegas pimpinan KPK atas peradilan Novel menegaskan situasi itu. Ketiga, menguatnya impunitas

(impunity). Hukum dan peradilan bekerja hanya untuk menguatkan mata rantai impunitas, tiadanya pertanggun­gjawaban hukum terhadap pelaku kekerasan. Apa dampaknya di lapangan? Patut dikhawatir­kan bahwa produksi kekerasan akan terus berlangsun­g dan yang lebih berbahaya justru pada akhirnya negara itu sendiri tidak lagi mampu mengendali­kannya. Bisa dipastikan, pelanggara­n hak asasi manusia akan mudah terjadi, termasuk pada mereka yang memperjuan­gkan antikorups­i.

Bila politik rezim atas peradilan terus melekat dalam sistem ketatanega­raan Indonesia hari ini, peradilan Novel sesungguhn­ya peringatan bagi kita semua bahwa gagalnya pengungkap­an bukan semata penghalang­an keadilan bagi proses hukum (obstructio­n of justice), melainkan kejahatan terhadap demokrasi dan prinsip negara hukum (crimes against democracy and rule of law).

Publik menanti Jokowi sebagai kepala pemerintah­an, apakah ia tetap bersembuny­i di balik ’’menghormat­i proses hukum’’ ataukah bersikap berani menyatakan untuk mengungkap halhal yang tidak dihadirkan dalam persidanga­n.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia