Sekolah Butuh Kejelasan Pendaftar Jalur Inklusi
SIDOARJO, Jawa Pos ‒ Penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur inklusi dikeluhkan sekolah. Sebab, pendaftarannya juga dilakukan secara online. Padahal, asesmen yang menunjukkan bahwa seorang pendaftar termasuk inklusi belum jelas.
Kepala SMAN 1 Porong Nina Dwi Suryani menyebutkan, pada 2019 pendaftaran siswa inklusi berlangsung secara offline. Pendaftar datang ke sekolah. Dengan begitu, sekolah bisa memastikan yang mendaftar benar-benar sesuai kriteria. Misalnya, IQ tidak kurang dari 70. Sebab, tidak semua siswa inklusi bisa diterima di sekolah umum.
”Kami bisa menyeleksi ketunaannya. Kalau IQ kurang dari 70 disarankan ke sekolah luar biasa,” ujarnya. Sebab, guru SMA tidak mempunyai kecakapan khusus untuk menangani. Bahkan, tidak semua sekolah memiliki guru pendamping khusus (GPK). Di SMAN 1 Porong, tidak ada GPK. Yang ada hanya guru mapel yang merangkap GPK.
Jika pendaftarannya offline, akan lebih jelas kondisinya. Misalnya, ada siswa yang tunanetra. Sekolah akan melihat ada atau tidak fasilitas pendukungnya. Begitu pula ketunaan yang lain.
Nah, pada 2020 ini siswa inklusi langsung mendaftar secara online. Sekolah pun sulit melacak siswa tersebut dari SMP mana. ”Mana bisa konfirmasi,” ucapnya. Bahkan, sekolah juga belum bisa melihat hasil asesmen yang dilampirkan pendaftar. ”Sekolah tidak bisa membuka,” tuturnya.
Yang ditakutkan, siswa tidak inklusi mendaftar di jalur tersebut. Di sekolahnya itu pun terjadi. Awalnya, ada sembilan yang mendaftar. Ternyata, yang dua salah klik. ”Orang tua datang karena salah input. Siswa tersebut tidak inklusi, tapi daftar di jalur inklusi, akhirnya ke dinas untuk mengubah,” katanya. Nah, itu terjadi jika ketahuan dan melapor. Bagaimana yang tidak melapor? Padahal, daftar ulang juga dilakukan secara online.