Satu Pasien Positif, Lacak 20 Orang
Kendalikan Covid-19, Tes Masal Juga Lebih Masif Tim Gabungan Surabaya Raya Kejar Target Dua Pekan
SURABAYA, Jawa Pos – Masih tingginya kasus Covid-19 di Jawa Timur (Jatim), terutama kawasan Surabaya Raya, direspons dengan pembentukan tim gabungan bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo
Targetnya, tim gabungan bisa menurunkan angka Covid-19 dalam waktu dua minggu sesuai tenggat yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Konsep pembentukan tim tersebut memang didasarkan pada arahan presiden saat berkunjung ke Gedung Negara Grahadi pada Kamis (25/6). Lalu, pembentukan tim itu dipaparkan di depan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian di Hotel JW Marriott Jumat (26/6). ”Bahwa tujuan besarnya adalah untuk mengendalikan persebaran Covid-19,” kata Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Kasus Covid-19 di Jatim memang belum menunjukkan penurunan. Berdasar data Kemenkes
hingga kemarin (27/6) masih ada penambahan 277 kasus baru yang terkonfirmasi positif. Dengan begitu, angka kumulatif jumlah penderita di Jatim mencapai 11.178 orang. Jumlah itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan DKI Jakarta yang mencapai 10.994 orang. Berdasar data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya menjadi penyumbang terbanyak.
Khofifah mengakui bahwa angka persebaran di Surabaya Raya masih cukup tinggi. Sesuai arahan Presiden Jokowi, kata dia, koordinasi ketiga daerah sangat diperlukan. ”Sesuai arahan Bapak Presiden, kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Jadi harus bersinergi,” tegasnya.
Salah satu rencana kerja tim gabungan tersebut ialah memasifkan kembali tes masal dan pelacakan kepada orang-orang yang berisiko. Selain itu, proses isolasi hingga perawatan pasien akan lebih ditingkatkan. Tim Covid Hunter dari dinas kesehatan di daerah juga akan diterjunkan di klaster utama Surabaya Raya. ”Untuk satu pasien positif, tracing minimal harus 20 orang. Ruang isolasi juga nanti akan kami tingkatkan menjadi lebih luas dan nyaman. Termasuk keberadaan rumah sakit darurat juga nanti lebih dioptimalkan,” paparnya.
Khofifah menyadari, banyak rumah sakit yang sudah kelebihan kapasitas. Karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan relaksasi yang bertujuan memisahkan pasien sesuai kondisinya. Terapi yang diberikan juga harus melibatkan pakar.
Saat ini mesin PCR yang ada di Jatim memiliki kapasitas 2.250 tes per hari. Dalam sepekan, jumlah spesimen yang bisa diperiksa mencapai 13.500. Rencananya, kata Khofifah, ada penambahan mesin PCR dalam dua minggu ke depan. ”Termasuk reagennya sesuai kebutuhan,” ucapnya.
Terkait prakondisi memasuki new normal, Khofifah meminta tiga daerah yang masuk dalam wilayah Surabaya Raya mempertimbangkan untuk menutup beberapa aktivitas yang dianggap cukup krusial. Di antaranya gedung bioskop, studio, taman, serta tempat hiburan indoor. Pasar-pasar yang juga berpotensi menjadi tempat persebaran pun harus benar-benar diperhatikan. Karena itu, diperlukan monitoring ketat terhadap tempattempat yang dianggap berisiko. ”Di samping itu, perlu membuat zonasi di tiap kecamatan berdasar 15 indikator epidemiologi dan tidak bisa asal-asalan membuka sejumlah aktivitas umum,” tuturnya.
Yang tidak kalah penting adalah sosialisasi kepada masyarakat terkait pentingnya menjalankan protokol kesehatan. Tokoh agama, ulama, relawan, serta pengusaha perlu dilibatkan. Imbauan terkait pemakaian masker dan kebiasaan mencuci tangan harus lebih dimasifkan lagi. ”Ini penting kita lakukan karena riset membuktikan bahwa bila 60 persen populasi menggunakan masker kain, rate of transmission (RT) bisa di bawah 1 dan kurva bisa turun,” jelas mantan menteri sosial itu.
Secara terpisah, Mendagri Tito Karnavian menilai langkahlangkah yang akan dilakukan pemerintah di Jatim sudah cukup detail dan berbasis data epidemiologi. Namun, masalah koordinasi dan eksekusi di lapangan masih belum maksimal. Khususnya di lapisan masyarakat paling bawah.
Mantan Kapolri itu menilai ada kemiripan antara kondisi yang terjadi di Surabaya Raya dan Jabodetabek. Sebab, tidak ada batas alam antardaerah. Jadi, meski Sidoarjo dan Gresik sudah optimal melakukan penanganan, ancaman persebaran akan muncul lagi kalau Surabaya tidak optimal. ”Karena itu, penanganan Covid-19 di Surabaya Raya ini harus benar-benar terintegrasi,” tuturnya.
Upaya peningkatan penanganan Covid-19 di Jatim juga perlu melibatkan para pebisnis. Hal tersebut dianggap penting karena pemerintah daerah memiliki keterbatasan. Dengan gotong royong, penanganan Covid-19 di Jatim bisa lebih cepat. ”Tentu pemerintah pusat akan terus memberikan dukungan kebutuhan untuk pemerintah daerah. Tapi, teman pebisnis kami juga minta gerak. Jika Jatim aman dan menjadi hijau, recovery ekonomi bisa cepat dilakukan,” terangnya.
Menko Polhukam Mahfud MD mengakui bahwa langkah-langkah yang dibuat Pemprov Jatim sudah tersusun dengan baik. Namun, pelaksanaan di lapangan masih perlu dioptimalkan. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Covid-19 ini belum bisa ditaklukkan.
Kunci keberhasilan ada pada sinergi gugus tugas pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Antardaerah harus saling membantu mengisi kekosongan peran dalam kegiatan penanganan.
Sementara itu, hasil rapid test yang menjadi salah satu kewajiban yang harus ditunjukkan warga untuk bepergian dengan transportasi umum dipersoalkan. Aturan tersebut dinilai menyusahkan dan justru tidak efektif.
Jumat (26/6), advokat Muhammad Sholeh dan Tomi Singgih mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Yang digugat adalah Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 7/2020, tepatnya dalam ketentuan huruf F ayat (2) huruf b. Mereka menilai aturan dokumen hasil rapid test bertentangan dengan lampiran Bab III Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ MENKES/382/2020 tentang protokol kesehatan Covid-19.