Revisi Pagu APBN, Belanja Atasi Pandemi Lebih Luas
JAKARTA, Jawa Pos – Untuk kali kedua, pemerintah merevisi pagu APBN 2020. Setelah yang pertama lewat Perpres 54/2020, pagu APBN diubah melalui Perpres 72/2020 yang diundang-undangkan pada
Kamis (25/6).
Dalam perpres tersebut, secara resmi pendapatan negara tahun ini dikoreksi menjadi Rp 1.699,9 triliun
Turun Rp 60,8 triliun jika dibandingkan dengan koreksi pertama sebesar Rp 1.760,9 triliun.
Begitu pula belanja negara yang menjadi lebih besar, yakni Rp 2.739,1 triliun. Dengan demikian, pembiayaan anggaran pun membengkak menjadi Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen produk domestik bruto.
Dalam perpres itu dijelaskan, penerimaan perpajakan tahun ini diprediksi hanya Rp 1.404,5 triliun. Jauh dari target awal yang dicanangkan tahun lalu sebesar Rp 1.865,7 triliun. Sementara itu, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) diperkirakan sebesar Rp 294,14 triliun dan hibah senilai Rp 1,3 triliun.
Untuk pengeluaran, belanja pemerintah pusat diperkirakan membengkak menjadi Rp 1.975,24 triliun. Termasuk di dalamnya adalah tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp 358,88 triliun. Dana transfer daerah akan terpangkas menjadi Rp 763,9 triliun. Termasuk di dalamnya tambahan belanja penanganan Covid-19 Rp 5 triliun.
Di awal pengesahan APBN, dana transfer daerah mencapai Rp 784,9 triliun.
Dengan defisit yang lebih besar, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemerintah bisa melakukan belanja lebih luas untuk merespons dampak pandemi korona. Di antaranya untuk penggunaan bansos, bantuan pada UMKM, insentif dunia usaha, hingga mendorong sektor keuangan, perbankan, serta korporasi.
”Akan terus dimonitor detail perkembangannya per minggu,” ujarnya kemarin (27/6). Menurut Sri Mulyani, jika skema tersebut berhasil, pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga bisa membaik.
Mengenai program pemulihan ekonomi nasional (PEN), Sri Mulyani menyebutkan, masih banyak kendala di lapangan. Misalnya, realisasi program PEN untuk sektor kesehatan sampai 27 Juni 2020 baru tercatat 4,68 persen.
Menurut Ani, sapaan Sri Mulyani, proses administrasi dan verifikasi yang rigid masih menjadi kendala besar dalam implementasi stimulus fiskal. ”Makanya, masih muncul permasalahan kenapa tenaga kesehatan belum mendapatkan kompensasi, padahal APBN-nya sudah diberi alokasi,” bebernya. Insentif untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan yang cukup banyak terealisasi, yakni mencapai 22,74 persen.
Ani mengatakan, realisasi yang cukup bagus itu terjadi karena pemerintah baru saja menempatkan dana di Himbara senilai Rp 30 triliun. Di sisi lain, jika dilihat dari penyaluran subsidi bunga ataupun restrukturisasi kredit, masih dibutuhkan akselerasi. ”Bulan Juli mungkin akan terlihat untuk progres subsidi bunga,” urainya.
Sementara itu, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memproyeksikan penerimaan pajak pada 2020 bisa terkontraksi lebih dari 10 persen dibanding realisasi tahun lalu. Artinya, outlook yang sudah dimasukkan dalam Perpres 72/2020 bisa kembali meleset.
Sebagai informasi, penerimaan pajak tahun ini sesuai Perpres 72/2020 ditargetkan senilai Rp 1.198,8 triliun. Target itu mencatatkan penurunan 10 persen dibanding realisasi tahun lalu senilai Rp 1.332,1 triliun.