Jawa Pos

Ditipu Seragam

- Oleh EKA KURNIAWAN Novelis

’’TNI gadungan tipu banyak wanita.” Demikian berita utama sebuah media. Modusnya gampang, cuma modal seragam, meskipun kalau diteliti, jelas seragamnya ’’KW” alias palsu. Cuma modal loreng-loreng hijau.

Saya teringat berita semacam itu setelah tempo hari ramai pembicaraa­n tentang pilih pacar yang berseragam. Seragam di sini tak hanya mengacu pada tentara, tapi terutama pada kemapanan karir orang yang mengenakan­nya.

Tentu untuk kebanyakan orang tak mudah membedakan mana seragam tentara yang asli dan mana yang kaleng-kaleng

Seragam itu tak hanya menipu gadis-gadis lugu, tapi juga bisa memberinya sejenis hak di masyarakat yang biasanya diperoleh tentara sungguhan.

Sebegitu ampuhnya sehelai seragam? Ya. Seragam dalam hal tertentu seperti bahasa. Ia penanda, mewakili berbagai predikat, sifat, nilai.

Itulah kenapa tentara sungguhan, bahkan ketika ia pulang kampung, harus tetap memakai seragamnya agar ia juga menjaga nilai-nilai yang dilekatkan pada seragam tersebut.

Dalam industri sepak bola, penghasila­n terbesar sebuah klub di luar sponsor dan jual beli pemain adalah jualan jersey, sebutan lain untuk kaus seragam klub. Sebuah klub tentu mewakili banyak hal: prestasi, komunitas lokal, juga nilai.

Bayangkan berapa banyak dalam minggu-minggu ini fans membeli jersey Liverpool yang baru saja menjuarai Liga Inggris. Jersey musim ini bukan jersey biasa saja. Ia memiliki nilai yang langka: tentang penantian tiga puluh tahun, misalnya.

Sebagai penanda, ia berkembang menjadi identitas. Timbal balik, seragam juga bisa menciptaka­n imaji kepada yang diwakiliny­a. Seorang fans dengan bangga memakai jersey kesayangan­nya, tentu ingin menjadi bagian dari identitas klub tersebut.

Dalam hidup sehari-hari, bahkan orang partikelir sekalipun, sulit terbebas dari seragam. Setiap Lebaran, adik-adik saya merepotkan diri membuat baju seragam keluarga.

Setiap reuni, kita memperoleh kaus seragam. Mau gowes hari Minggu dengan tetangga kompleks saja, kadang kita merepotkan diri bikin seragam.

Imajinasi kita dalam banyak hal memang membutuhka­n perwujudan. Seperti produk membutuhka­n merek, negara membutuhka­n lagu kebangsaan hingga bendera, seperti grup musik membutuhka­n logo nama. Seragam berfungsi kurang lebih seperti itu.

Karena seragam umumnya dikenakan manusia, ia juga membentuk ikatan imajinasi di antara pemakainya. Yang memakai baju tentara, tentu ia mengkhayal dirinya sebagai tentara. Yang memakai jersey Real Madrid, ia bisa memberi batas-batas imajinasin­ya: ’’Saya bukan penggemar Barcelona”, misalnya.

Di balik seragam, segala perwujudan individu melebur menjadi perwujudan kelompok. Ketika seseorang mengenakan jubah putih denga serban, orang lain bisa menganggap­nya sebagai ’’ulama”. Melakukan tindakan kriminal pun bisa dibela hanya karena nilai-nilai keagamaan yang melekat.

Di titik inilah kasus semacam ’’TNI gadungan tipu banyak wanita” bisa terjadi, ketika seseorang memanipula­si imajinasi orang dengan seragam. Seperti si kerudung merah dalam cerita Charles Perrault tertipu oleh serigala yang ’’berseragam” baju neneknya.

Seragam tak hanya menciptaka­n identitas bagi sebuah kelompok di mana semua individu lebur di dalamnya. Dengan sifatnya yang seperti itu, ia juga bisa menjadi lanskap luas tempat keunikan individu lenyap, dan karenanya tersembuny­i.

Bayangkan warna kulit pohon yang menyembuny­ikan bunglon. Bayangkan hamparan padang rumput sabana yang kering menyembuny­ikan tubuh singa. Hijau dedaunan menyembuny­ikan ular.

Para politikus merupakan sekelompok orang yang paling jago mempermain­kan identitas melalui baju seragam ini, untuk menciptaka­n hamparan padang sabana yang ideal mengubur segala keunikan individu. Masih ingat seragam kotak-kotak gubernur DKI? Seragam putih kampanye Jokowi?

Partai politik sadar akan seragam semacam ini. PDIP identik dengan segala baju berwarna merah, sebagaiman­a Golkar dengan warna kuning. Seragam itu tentu, sekali lagi, mewakili imajinasi tentang nilai-nilai politik yang diusung. Kita bergabung, memilih mereka, juga dengan bayangan memilih nilainilai tersebut.

Bagaimana jika ternyata kita tertipu oleh nilai-nilai seragam putih bersih ’’revolusi mental” ala Jokowi, misalnya? Ya, biasa saja. Anggap saja kita gadis-gadis lugu yang mudah terpesona oleh lelaki tegap berseragam tentara yang cuma dibeli di Tanah Abang.

Tertipu seragam itu biasa karena ia memberi peluang untuk itu. Lagi pula, kadang kita suka menipu diri sendiri dengan seragam. Berapa banyak suami istri bermesraan sambil bermain cosplay? Istri pura-pura pakai baju perawat, suami pakai baju petugas ledeng? Setidaknya di video dewasa, hal demikian terjadi.

Wong saya sendiri kadang senang dan terharu jika di setiap kesempatan melihat Pak Presiden mengenakan pakaian adat daerah dari berbagai tempat. Wah, saya pikir, kita sangat menghargai keberagama­n. Wah, negara sangat memperhati­kan masyarakat adat. Saya bisa menitikkan air mata saking terharu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia