Jawa Pos

Cacing Saja Tahu Maksud Cerita Ini

- *) Sujiwo Tejo tinggal di Twitter @sudjiwoted­jo dan Instagram @president_jancukers

”ADA kok kerbau yang bernama Asu!” bulus berbicara kepada babi. ”Kata ‘Asu’ tak harus berarti umpatan. Ini nama panggilan yang lumrah di daerah kami. Warga di tempat kami biasa-biasa saja menyebut Asu untuk kerbau yang suka malang melintang di kampung sebelah itu.”

”Adakah kerbau yang dipanggil bulus?” si babi geram. Ia melompat berdiri sambil menelan bayinya sendiri. Hidungnya berubah dari merah ke ungu.

”Ya, ada. Bulus dipanggil babi saja juga ada kok.”

”Sudah... Sudah... Tuan Babi, jangan ladeni akal bulus ini berdebat,” sergah cacing.

Babi tahu sekarang. Selama tujuh purnama bulus itu telah mengawasi pikirannya seperti para peneliti telah mengawasi virus korona di bawah mikroskop.

Keluarga kura-kura itu benar, batin si babi. Selama ini tak satu pun nama-nama aneh binatang yang diucapkan, tak satu pun panggilan-panggilan ganjil binatang yang disapakan, yang tak babi pikirkan. Kerbau dipanggil asu termasuk di dalamnya. Tak sejumput pun predikat nyeleneh-nyeleneh para binatang yang luput dari mikroskop perhatian babi. Nabulus mun, belum pernah ia melihat ada babi dipanggil bulus.

Sedangkan bulus itu, dari binatang yang hanya termanguma­ngu sembari merenungi tempurung tubuhnya, kini sekonyong-konyong menjadi binatang yang paling sibuk di dunia. Kesibukann­ya adalah berpikir, mengapa babi itu tidak percaya bahwa ada kerbau yang dipanggil asu, seperti juga ada yang dipanggil babi?

Kelamaan sibuk berpikir tentang babi sehingga muak si bulus melihatnya, babi itu diusirnya. Bulus kembali santuy dengan tempurung tubuh cokelatnya. Babi hengkang dari bawah pohon meranti itu, pergi ke rumah kakaknya di selatan, seekor babi kebiruan yang ternyata malah lebih cerewet dibanding bulus tadi.

”Lebih elok mana, menjadi babi yang dipanggil bulus, menjadi kerbau yang dipanggil asu, atau menjadi babi yang tidak mempunyai panggilan sama sekali?” tanya babi kebiruan itu.

Sebelum babi yang tak terima ada bulus dipanggil babi itu balik kanan, si babi kebiruan menghalang­inya di ambang pintu. Ambang pintu di sini adalah celah berhias banyak anggrek bulan di antara dua pohon kosambi kecil.

”Kenapa sih kamu tak terima ada bulus dipanggil babi? Apa dasarmu merasa bahwa kita ini lebih tinggi statusnya dibanding mereka?” kata babi kebiruan.

Pasangan Raja-Ratu Singa Sastro-Jendro memang telah memaklumat­kan sila kesetaraan di antara seluruh warga rimba raya. Cacing yang di bawah pohon meranti tadi, yang lebih kecil ketimbang bulus, apalagi babi itu, setara dengan keduanya. Hanya bisa berjalan dengan beruget-uget pun, cacing sederajat dengan bulus dan babi yang bisa berjalan merangkak.

Cacing yang tidak mampu duduk-berdiri seperti banteng pun tetap sah menjadi bagian dari peribahasa duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Barangkali karena tamu si babi kebiruan sedang terusik oleh peristiwa belum lama ini. Kekuatan suatu dinasti bulus di barat sungai baru saja dilengserk­an dari panggung sejarah oleh daya dobrak pasukan babi dari selatan bukit. Padahal, mereka yang dari selatan bukit itu hanyalah babi-babi sederhana.

”Apalagi bila para pendobrakn­ya adalah kita, kelas babi yang lebih elite. Berarti kita ini memang lebih tinggi dibanding bulus. Itu kenapa aku tak terima kalau sampai ada babi dipanggil bulus,” ketusnya kepada tuan rumah.

Terus? Ah, cacing yang membuntuti babi itu saja sudah mengerti arah terselubun­g cerita ini. Entah kalau yang merasa bukan cacing walau sudah berakal bulus. (*)

 ?? ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia