Adaptasi, Kata Kunci Seni Hadapi Pandemi
WIG putih, dress putih elegan, serta high heels dengan warna senada dikenakan Fira Sasmita demi menduplikasi Marilyn Monroe. Fira tampil sebagai Monroe pada Februari lalu ketika didapuk sebagai pranatacara.
Namun, jika permintaan jadi pranatacara datang saat ini, Fira tidak akan seribet empat bulan lalu. Dia tidak perlu berdiri berjamjam dengan high heelsnya, menjahit kostum, atau mencari wig putih ala ikon pop Amerika Serikat tahun 1960-an itu.
’’Kalau memandu acara sekarang, misal webinar, e-conference, persiapannya simpel dan tak seribet sebelum pandemi Covid-19. Kostumnya pun biasa, yang tidak sampai megrongmegrong begitu,” kata Fira saat dihubungi kemarin (27/6). ”Kalau MC daring, yang terlihat di monitor cuma muka atau mentok-mentok hanya setengah badan,” tambah Fira.
Benar saja, saat pandemi Covid-19 belum mereda, Fira lebih eksis di dunia maya. Jika sebelumnya Fira kerap diminta menjadi pranatacara pada acara andrawina atau peluncuran produk, kini alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu lebih sering memandu acara webinar atau e-conference. Tapi, Fira juga sesekali diundang menjadi pembicara lewat aplikasi-aplikasi media sosial yang memiliki fitur meeting room.
Yang terbaru, Fira menjadi salah satu pembicara pada event UGMtalk yang disiarkan di kanal YouTube PIKA UGM pada Rabu lalu (24/6). Bersama komedian Anang Batas, musisi Paksi Raras, pelaku seni Dibyo Primus, Fira pun berbicara tentang strategi berekspresi pekerja seni di masa pandemi Covid-19.
Sore itu semua sepakat bahwa pandemi Covid-19 memang membawa dampak yang luar biasa secara ekonomi maupun sosial. Banyak tawaran pekerjaan yang dibatalkan ataupun ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.
Menghadapi masa pandemi yang sudah empat bulan terjadi di tanah air ini, mereka sepakat bahwa para seniman tidak bisa hanya berdiam diri dan bergantung pada bantuan pemerintah. Mereka juga harus mengikuti jalannya tren era kenormalan baru dan tetap berkarya. ’’Rencana-rencana yang di-pending ini justru saya nilai menjadi tantangan baru untuk para pelaku kreatif seperti saya,” tutur Paksi.
Dalam pandangan Paksi, jika seseorang sudah memutuskan untuk terjun di bidang seni, mau tidak mau mereka mempunyai tanggung jawab untuk punya kreativitas yang tinggi dan bisa menemukan solusi.
’’Jadi, nggak usah menunggu pemerintah dan ada keputusan apa dari negara, ya kita bergerak dulu. Saya merasa tanggung jawab seorang seniman adalah membangun masyarakat sekitarnya,” ucap alumnus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu.
Di era pembatasan jarak, lalu meminimalkan keluar rumah, memakai masker, Paksi mencoba untuk beradaptasi dengan halhal tersebut. Termasuk bagaimana eksis di dunia digital seperti saat ini.
Di sisi lain, Anang berkomentar pandemi Covid-19 membuat seniman bermigrasi ke dunia daring. Dan di dunia daring ini, seniman harus saling bantu. ’’Berkolaborasi dan bersinergi antar seniman harus dilakukan untuk saling mengisi kebutuhan di era saat ini,” ujar Anang.