Jawa Pos

Hak Pusat Membatalka­n Perda Dimunculka­n Lagi

-

JAKARTA, Jawa Pos – Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) berencana mengembali­kan kewenangan pemerintah pusat untuk membatalka­n peraturan daerah (perda) bermasalah. Bedanya, jika sebelumnya menjadi kewenangan menteri dalam negeri, dalam pasal 251 UU sapu jagat disebut kewenangan presiden.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaa­n Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menerangka­n, pengembali­an norma tersebut cukup berisiko. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutuskan bahwa pembatalan perda harus melalui peradilan, yakni Mahkamah Agung. ”Buat kami putusan MK adalah sumber hukum,” ujarnya dalam diskusi RUU Ciptaker kemarin (1/7).

Sebagai sumber hukum, MK setara dengan konstitusi. Karena itu, KPPOD mengusulka­n agar prosedur pembatalan perda yang diputus MK tidak diutak-atik dan tetap melalui MA. Jika diubah, akan berpotensi dilakukan gugatan ulang.

Sebagai solusinya, lanjut Endi, yang bisa diupayakan ialah memperkuat pengawasan dalam penyusunan­nya. Dia mengusulka­n agar Kementeria­n Dalam Negeri (Kemendagri) diberi kewenangan untuk melakukan review atas kelayakan sebuah perda. Jika menilai bermasalah, Kemendagri bisa melakukan banned.

”Ini bagus untuk mencegah di hulu. Misalnya, sebelum ada perda retribusi yang membebani masyarakat, harus dicegah dulu,” tuturnya.

Sementara itu, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik Piliang mengaku belum mengetahui apakah benar pembatalan perda dibebankan kepada presiden. Sebab, jika dilakukan melalui perpres, hal itu terlihat terlalu tinggi. ”Apa iya presiden sendiri yang akan batalkan? Dugaan kami, yang akan diberi kewenangan adalah Kemenkum HAM,” ujar dia.

Hanya, jika dilakukan Kemenkum HAM, berpotensi muncul kerancuan. Sebab, dalam UU 15/2019 tentang Pembentuka­n Peraturan Perundangu­ndangan, Kemenkum HAM melalui kantor wilayah (kanwil) diberi kewenangan melakukan review terhadap raperda. ”Kalau asumsi kami benar, pencabutan ini dilakukan Kemenkum HAM, ini berpotensi jeruk makan jeruk terjadi,” imbuhnya. Malik mengakui, kontrol terhadap raperda selama ini tidaklah mudah. Sebab, dalam praktiknya, perda kerap menjadi produk hukum yang jadi instrumen politik bagi elite di daerah.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia