Kekerasan Seksual-Komitmen Melindungi Anak
TINDAK kekerasan seksual hingga kini masih menjadi ancaman yang paling mengerikan dan terus menghantui anak-anak di Indonesia. Selama masa pandemi Covid-19, mulai Januari hingga Juni 2020, menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, telah terjadi 1.848 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Angka itu sungguh sangat memprihatinkan.
Bisa dibayangkan, hati siapa yang tak cemas ketika setiap hari membaca dan menyaksikan berita tentang anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual. Di berbagai daerah, berita tentang anak korban kekerasan seksual seolah bersaing dengan berita persebaran dan dampak Covid-19.
Pada Juli, misalnya kita dikejutkan kejadian seorang petugas di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur berinisial DA yang tega melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak, NV. Anak yang seharusnya mendapat perlindungan dan mencari rumah aman bagi dirinya justru menjadi korban ulah bejat petugas pelayanan.
Kasus lainnya yang tak kalah memprihatinkan adalah tindak kekerasan FAC, 65, seorang warga negara Prancis yang dituduh melakukan eksploitasi seksual dan ekonomi terhadap ratusan anak di bawah umur. Polisi menemukan bukti paling tidak ada 305 video yang diduga berasal dari 305 anak berbeda. Kebanyakan korban tindak kekerasan seksual FAC adalah anak-anak jalanan yang memang rentan menjadi korban tindak kekerasan seksual.
Hukuman bagi Pelaku
Berbagai kasus tindak kekerasan seksual memang sering kali berhasil diungkap aparat kepolisian dan para pelaku juga sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, yang masih menjadi bahan perdebatan publik adalah apa sebetulnya yang harus dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kejadian tindak kekerasan seksual yang mengancam anak-anak?
Di Indonesia, kita tahu kasus kekerasan seksual hingga kini masih menjadi momok yang paling menakutkan bagi anak-anak. Komnas Perempuan melaporkan, jumlah tindak kekerasan seksual sepanjang 2019 mencapai 406.178 kasus. Sepanjang 2020, daftar jumlah tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa dipastikan akan terus bertambah setiap harinya. Korbankorban baru terus bermunculan, seolah para pelaku tidak pernah takut dan jera melakukan aksi bejatnya yang menghancurkan masa depan anak-anak.
Dari segi komitmen dan payung hukum yang tersedia, pemerintah sebetulnya telah melakukan banyak hal. Pemerintah sejak 2016 menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, tepatnya pada 25 Mei 2016. Bahkan, hanya dalam tempo enam bulan kemudian, perppu itu telah disetujui DPR RI untuk disahkan
sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 pada 9 November 2016.
Dalam ketentuan aturan yang terbaru, sebetulnya telah diatur tambahan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak, mereka tidak hanya diancam pidana mati dan pidana seumur hidup, tetapi juga pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan ketentuan mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Khusus untuk ancaman hukuman kebiri bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak, meski secara resmi telah dicantumkan dalam ketentuan hukum yang berlaku, penerapannya di lapangan masih menjadi kontroversi. Tidak sedikit pihak yang menolak pemberlakuan hukuman kebiri kimia karena dianggap melanggar hak asasi manusia.
Alih-alih berempati dan membayangkan korban adalah anakanak yang telah rusak masa depannya, sejumlah pihak menolak penerapan hukuman kebiri karena berbagai alasan. Hukuman pidana kurungan di balik jeruji penjara umumnya sudah dianggap cukup. Hukuman kebiri di mata sebagian orang dinilai lebih kejam daripada penderitaan anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan.
Cara pandang sebagian pihak yang tidak setuju hukuman kebiri kimia itu tentu mengecewakan keluarga korban. Tetapi, karena sampai saat ini ketentuan teknis pelaksanaan hukuman kebiri kimia juga belum terbit, banyak korban dan keluarga korban yang akhirnya lebih memilih menerima nasib.
Self-enforcement
Di Indonesia, diakui atau tidak, hingga kini sikap masyarakat memahami tindak kekerasan seksual umumnya masih mendua. Di satu sisi, ada pihak yang benar-benar concern untuk peduli dan menempatkan anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual sebagai pihak utama yang harus dilindungi dan menjadi pertimbangan dalam memutuskan segala sesuatunya. Tetapi, ada pihak lain yang terkadang menempatkan anak sebagai korban sekaligus pihak yang ikut menstimulasi terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak.
RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), misalnya, yang semula diharapkan dapat menjadi payung hukum yang lebih jelas untuk melindungi agar anak tidak menjadi korban tindak kekerasan justru telah dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Kehadiran sebuah aturan yang lengkap untuk melindungi dan menghapus tindak kekerasan seksual dinilai belum perlu. Sebab, telah ada berbagai aturan lain yang sudah mengakomodasi persoalan itu seperti KUHP, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU Perlindungan Anak.
Lebih dari sekadar kasus hukum, tindak kekerasan seksual sebetulnya adalah sebuah ancaman yang sifatnya multidimensi. Kekerasan seksual yang kerap menimpa anak perempuan (dan perempuan) sesungguhnya terjadi karena kekurangseriusan semua elemen untuk mencegah hal itu.
Hukum yang jelas dan tegas memang tidak diperlukan sepanjang komitmen dan self-enforcement norma sosial untuk melindungi anak bisa tegak dengan sendirinya. Tetapi, sepanjang masyarakat masih gamang dan bersikap mendua menghadapi kasus kekerasan seksual yang mengancam anak-anak, kepastian hukum merupakan prasyarat yang harus dipenuhi. Dengan payung hukum yang jelas, ruang gerak aparat penegak hukum akan lebih terarah dan hak-hak anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual akan dapat dipenuhi secara adil. *) Guru besar dan dosen Sosiologi Anak FISIP Universitas Airlangga