Kurang Signifikan jika Melalui Perbankan
Himpunan bank milik negara (Himbara) terus menggenjot restrukturisasi kredit. Sasaran utamanya adalah para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak persebaran virus SARS-CoV-2. Namun, apakah upaya tersebut menimbulkan dampak positif?
PENELITI Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan bahwa hasil restrukturisasi belum terlihat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pertumbuhan kredit pada triwulan II hanya 1,49 persen. Rasio risiko kredit bermasalah atau non
performing loans (NPL) gross tercatat 3,11 persen.
Angka tersebut tentu lebih buruk daripada triwulan I. Tercatat, pertumbuhan kredit 7,95 persen dan NPL gross 2,77 persen. ”Itu menunjukkan bank agak hati-hati dalam menyalurkan kredit. Makanya, pertumbuhan kreditnya turun meski sudah ada dana penempatan pemerintah,” jelasnya kepada Jawa Pos tadi malam (23/8).
Menurut dia, bank khawatir ekspansi keringanan kredit membuat NPL naik signifikan pada semester II nanti. Mengingat, tidak sedikit UMKM atau pelaku usaha yang sulit mendapat pinjaman dari bank. Hal itu juga pernah diungkapkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam peluncuran aplikasi Digiku pada 17 Juli lalu.
Bhima menyorot data realisasi restrukturisasi Himbara. Menurut dia, jika perbankan jor-joran meringankan kredit UMKM, risiko kredit bermasalah pun meningkat. ”Karena UMKM di hampir semua sektor terdampak. Ini harus dievaluasi lebih lanjut. Bank juga
nggak akan mengorbankan NPL atau kredit macet,” ujarnya.
Di mata Bhima, program yang tercantum dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020 itu juga rentan kanibalisasi. Maksudnya, perbankan mengajukan program kredit baru melalui dana penempatan pemerintah kepada debitor UMKM lama. Bedanya, kalau dulu bunga pinjamannya tinggi, sekarang turun.
”Menurut saya sih, selama skemanya memakai perbankan, stimulus masih memiliki kekurangan. Tantangannya memang bank sangat berhati-hati mengoptimalkan manajemen risikonya,” kata alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.
Justru, kata Bhima, stimulus Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah (KemenkopUKM) dana hibah modal usaha adalah yang paling tepat. Yakni, menyasar 12 juta pelaku UMKM yang masing-masing mendapatkan Rp 2,4 juta.
Sementara itu, ekonom Enny Sri Hartati memperkirakan industri tekstil tidak akan bertahan lama hingga akhir tahun ini. Sebab, selama ini tidak ada koordinasi kebijakan antara instansi pemerintah dan pengusaha. Malah, regulasi yang ada membunuh industri.
”Kalau tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk membangun keterkaitan industri dari hulu ke hilir, semua kebijakan hanya retorika,” ucapnya.
Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, pengusaha tekstil, meminta pemerintah turun tangan. Dia berharap ada regulasi yang mengatur importansi pakaian jadi di Indonesia. Para pengusaha tekstil juga membutuhkan bantuan bersifat cepat yang berguna untuk menggerakkan industri. ”Seperti tambahan modal kerja, subsidi bunga, dan subsidi tarif listrik 25 persen atau pemberian diskon tarif listrik pada pukul 22.00‒06.00,” jelasnya.