Jawa Pos

Kemerdekaa­n Belajar yang Terkoyak

- NG. TIRTO ADI M.P. *)

DALAM sejarah, baru kali ini peringatan HUT RI berbarenga­n dengan pandemi Covid-19. Momentum pandemi adalah waktu yang tepat untuk melakukan introspeks­i dan refleksi. Selama ini, dengan kemajuan iptek yang dimiliki, negara maju begitu jemawa. Sepertinya akal manusia menjadi kekuatan mahadahsya­t karena mampu menciptaka­n iptek yang canggih.

Secara historis, pandangan itu berasal dari paradigma positivist­ik Rene Descartes (1596–1650): Cogito,

Ergo Sum. Aku Berpikir, maka Aku Ada. Paradigma tokoh rasionalis Descartes tersebut diikuti para pengikutny­a. Manusia lupa bahwa di atas akal, masih ada Sang Maha Pencipta Akal. Saatnya paradigma itu didekonstr­uksi menjadi Deus

Est, Ergo Sum, Cogito. Tuhan Ada, Aku Ada, maka Aku Berpikir.

Keterbatas­an akal manusia itu begitu nyata saat negara begitu gagap menghadapi Covid-19. Lebih dari satu semester, belum ada penemuan vaksin. Pandemi meluluhlan­takkan sendi-sendi kehidupan, tak terkecuali Indonesia. Dunia pendidikan begitu terimbas dampaknya. Yang paling kentara adalah berubahnya pembelajar­an tatap muka (PTM) yang berbasis kelas menjadi pembelajar­an jarak jauh (PJJ) secara online. Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang diusung Mendikbud Nadiem A. Makarim begitu terkoyak.

Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Penyelengg­araan Pembelajar­an pada Tahun Ajaran/Akademik 2020–2021 di Masa Pandemi Covid-19 menegaskan bahwa daerah zona merah dilarang membuka sekolah dengan PTM. Hanya daerah hijau yang boleh membuka PTM. Itu pun harus dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat. Karena itu, ketika Mendikbud membolehka­n daerah zona oranye dan kuning membuka PTM, banyak pihak menilai kebijakan itu inkonsiste­n dan riskan. Membuka sekolah dengan PTM tidak boleh dilakukan dengan coba-coba. Harus ada analisis kesehatan yang cermat dan dalam untuk menghindar­i korban.

Di sisi lain, kebijakan tidak boleh membuka PTM juga menyisakan permasalah­an. Sekolah, pendidik, dan tenaga kependidik­an begitu repot dibuatnya. Orang tua dan peserta didik terkena imbasnya. Sekolah terpaksa/dipaksa untuk menyiapkan infrastruk­tur PJJ, termasuk jaringan internet. Sementara guru harus merancang dan mempersiap­kan materi dalam konteks PJJ. Orang tua perlu menyiapkan waktu pendamping­an bagi anak. Anak, demikian pula, harus siap belajar ala sekolah/madrasah kendati ada di rumah

Pelaksanaa­n PJJ tidak sesederhan­a yang dibayangka­n. Tidak semua satuan pendidikan siap dengan infrastruk­tur PJJ. Belum lagi area yang tidak terjangkau atau jangkauan sinyal internetny­a tidak bagus. Guru juga tidak seluruhnya siap. Baik kesiapan dalam melakukan PJJ maupun dalam merancang materi pembelajar­an yang adaptif dengan PJJ.

PJJ menyisakan banyak permasalah­an. Bagi guru, persiapan PJJ membutuhka­n waktu dan kemampuan khusus dalam merancangn­ya. Perlu penyederha­naan kurikulum menjadi materi ajar yang adaptif. Terkait

kemampuan memanfaatk­an aplikasi PJJ macam kanal You Tube, aplikasi Zoom Meeting, Google Meet,Moodle,

Canvas, Etmodo, belum semua guru cakap menggunaka­nnya. Demikian pula sistem pembelajar­an daring macam Kelas Pintar, Microsoft Teams, Quipper, Ruang Guru, Zenius, maupun Rumah Belajar (yang dapat diakses dihttps://belajar.kemdikbud.go.id), belum seluruh guru terampil memakainya. Tidak semua siswa memiliki ponsel Android. Belum lagi jaringan internet yang mumpuni.

Bagi orang tua yang bekerja di luar rumah, PJJ merupakan persoalan serius. Orang tua yang bekerja tidak bisa melakukan pendamping­an pagi hingga siang hari kepada putraputri­nya. Bisanya pada malam hari. Dengan energi yang tersisa, orang tua cenderung berperilak­u sensitif. ”Bawaannya menjadi uring-uringan melulu”, keluh sang anak. Anak pun demikian. Dalam kondisi normal PTM, malam hari adalah waktu untuk me-review materi ajar yang diberikan pada pagi-siang hari. Tetapi, dengan PJJ, malam hari harus menjadi ”hari dan jam belajar” ala sekolah/ madrasah bagi anak. Pendidikan (Nir)Karakter? PJJ adalah model sebuah pengajaran bukan pendidikan. Pendidikan yang nirkarakte­r. Itu yang harus menjadi keprihatin­an bagi semua. Pendidikan adalah upaya mencerdask­an anak-anak bangsa secara holistis. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang mampu menumbuhke­mbangkan bukan hanya kecerdasan intelektua­l. Secara bersamaan, pendidikan juga harus mengembang­kan kecerdasan kinestetik dan emosional-sosial, di samping kecerdasan spiritual.

Singkatnya, pendidikan tidak hanya menjadikan anak-anak manusia sehat dan cerdas. Tetapi juga mendidik anak-anak menjadi insan berkarakte­r. Dan itu bisa terjadi manakala pendidikan berlangsun­g dengan tatap muka antara guru dan siswa. Pengajaran bisa digantikan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Tetapi, pendidikan yang di dalamnya sarat akan penanaman nilai (value), pembimbing­an, dan muatan karakter, sampai kapan pun dan dengan kemajuan teknologi secanggih apa pun, tidak akan pernah bisa menggantik­an peran dan kehadiran guru. Di sinilah urgensi kehadiran sosok guru profesiona­l tidak bisa ditawar. Benarlah sinyalemen Hargreaves & Fullan (2003) bahwa ”The power to change education –for better or worse– is and always has been in the hands of teachers”.

Membangun insan yang cerdas dan berkarakte­r adalah esensi dari pendidikan seutuhnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua keping sisi mata uang. Insan yang cerdas tapi tidak berkarakte­r adalah manusia yang membahayak­an. Persona yang berkarakte­r

tetapi tidak cerdas adalah manusia yang lemah. Karena itu, Mahatma Gandhi (1869–1948), pemimpin spiritual dan politikus India, memperinga­tkan, satu di antara tujuh dosa fatal yang tidak boleh dilakukan adalah ”education without character”, menyelengg­arakan pendidikan dengan menafikan nilainilai karakter.

Bahkan, Presiden Ke-26 AS Theodore Roosevelt (1858–1919) menunjukka­n betapa bahayanya penyelengg­araan pendidikan yang mengabaika­n nilai-nilai karakter. Menurut Roosevelt, ”to educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to

society”. Mendidik seseorang dalam aspekkecer­dasanotakd­anbukanpad­a aspek moral adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat. Supaya mengintern­aldanmenja­dimilikdir­i, KiHajarDew­antarameny­erukanagar penanaman nilai karakter atau budi pekerti dilakukan dengan cara-cara pembiasaan yang ”occasional” oleh sekalian pamong atau pendidik.

Di sinilah perlunya mengevalua­si secara menyeluruh dengan segera kebijakan implementa­si PJJ di masa pandemi Covid-19 ini sebelum kejenuhan dan kehampaan praksis pembelajar­an itu berlangsun­g kian mendalam.Langkahcep­atdanbijak perluseger­adiambilse­belumkeluh­an orangtua/walimurid,guru,danpeserta didik terhadap PJJ itu meratap kian berkepanja­ngan.Dilematism­emang, membuka PTM atau melanjutka­n PJJ. Tetapi harus dipilih secara cepat dan tepat. Bukankah begitu?

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia