Regulasi PSBB Jakarta Tunggu Airlangga
Epidemiolog: (Kapasitas) Rumah Sakit Tak Bisa Direlaksasi Jatim Belum Berencana Tarik Rem Darurat seperti DKI
JAKARTA, Jawa Pos – Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta berlaku mulai lusa (14/9). Namun, hingga kemarin (11/9) Pemprov DKI Jakarta belum mengeluarkan regulasi baru terkait kebijakan tersebut
J
Meski demikian, Gubernur DKI Anies Baswedan menegaskan bahwa rencana penerapan PSBB tetap berjalan. Regulasi belum diumumkan karena pemprov masih ingin mengetahui keinginan pemerintah pusat.
’’PSBB di Jakarta ini belum pernah dicabut. Jakarta masih berstatus PSBB sejak 10 April sampai sekarang. Jadi, ini bukan kami memulai sesuatu yang baru. Sesuai rencana, insya Allah mulai Senin (14/9) dilakukan pengetatan,’’ kata Anies. Dia mengakui, ada beberapa permintaan yang diajukan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. ’’Untuk menghormati permintaan Pak Menko Perekonomian sebagai ketua satgas, detail pembatasan terkait dengan perkantoran akan dibahas besok,’’ terang Anies di balai kota, Jakarta Pusat, kemarin.
Anies pernah menyebutkan bahwa ada sebelas kegiatan esensial yang masih diizinkan beroperasi selama PSBB di Jakarta. Namun, pemerintah pusat menginginkan Jakarta tidak menerapkan PSBB, melainkan pembatasan sosial berskala mikro dan komunitas (PSBMK). ’’Sebelas (kegiatan) tidak ada perubahan, karena itulah yang menjadi kunci. Kemudian Pak Menteri akan membicarakan, mengundang untuk bicara, kami hormati. Karena itu, besok kami bahas detail,’’ lanjut Anies. Setelah pembahasan bersama itu selesai, Anies akan mengumumkan secara detail regulasi PSBB di Jakarta.
Meski demikian, dia meminta kepada perkantoran dan kegiatan usaha untuk mulai mempersiapkan pembatasan. Sebab, kondisi Jakarta saat ini sudah sangat memprihatinkan. Terutama sebelas hari terakhir. Sebab, di rentang waktu tersebut, terjadi lonjakan kasus Covid-19 yang cukup luar biasa. ’’Lompatan kasus aktif di Jakarta itu amat tinggi. Ini yang membedakan kondisi sekarang dengan sebelum-sebelumnya,’’ katanya.
Anies menerangkan, pada 30 Agustus hanya ada 7.960 kasus aktif. Lalu, pada 10 September, angkanya naik tajam menjadi 11.810 kasus. Kenaikan 48 persen dalam 10 hari itu belum pernah terjadi sebelumnya. Anies juga menyampaikan, angka kematian di Jakarta dalam pekan pertama September 2020 sangat tinggi. Bahkan, 17 persen dari seluruh kematian terjadi pada September ini. ’’Dari 1.383 yang meninggal, sebanyak 197 itu terjadi September. Jadi memang, kondisi dalam dua pekan terakhir ini mengkhawatirkan. Ini berbeda dengan situasi sebelumnya. Karena itu, kami berencana melakukan pengetatan selama dua minggu ke depan,’’ tambahnya.
Anies menekankan agar warga di Jakarta menjalankan pembatasan itu dengan tertib. Melakukan semua kegiatan dari rumah. Jika kasus terus meningkat, kemungkinan pengetatan bukan hanya dua pekan, melainkan lebih lama. ’’Saya ingin garis bawahi, jangan harap kemudian setelah dua minggu selesai, tidak. Kalau kecepatan (kasus tambahan) yang luar biasa ini tidak ada langkah untuk memperlambat, ya ini akan jalan terus,’’ tegasnya.
Khofifah Tidak Berniat Tarik Rem
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menggelar rapat koordinasi dengan semua kepala daerah di Jawa Timur kemarin. Rapat tersebut membahas strategi percepatan penanganan Covid-19. Tidak ada bahasan tentang pemberlakuan PSBB lagi atau tidak.
Rapat yang berlangsung di Kota Batu itu dihadiri Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Widodo Iryansyah, Kapolda Jatim Irjen Pol Fadil Imran, serta bupati dan wali kota di Jawa Timur. Khofifah membuka dialog dengan kepala daerah yang hadir. Beberapa pertanyaan disampaikan kepadanya. Mulai kondisi terkini hingga strategi penanganan Covid-19 yang perlu ditindaklanjuti.
Khofifah mengatakan, pada forum tersebut, banyak yang diungkap. Salah satunya, pergub 53 yang memerinci perda tentang penegakan disiplin standar protokol kesehatan pencegahan Covid-19. ’’Semua kami pahamkan untuk diterapkan di masyarakat,’’ katanya.
Khofifah juga menegaskan, saat ini Pemprov Jatim belum berniat menarik rem alias menerapkan PSBB. Justru saat ini pihaknya menjaga keseimbangan antara pencegahan persebaran Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Dikonfirmasi terpisah, ahli epidemiologi UI Pandu Riono menilai keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menerapkan kembali PSBB sudah tepat. ”Gubernur itu paling tahu kondisi di lapangan,” ujarnya kemarin.
Pada dasarnya, status PSBB sendiri tidak pernah dicopot di Jakarta. Hanya, sebelumnya sempat dilakukan transisi menuju era kebiasaan baru. Itu pun dengan catatan di awal, bila kondisi memburuk, restriksi dapat kembali dinaikkan.
Pandu mengakui, peningkatan kasus kembali terjadi seusai mudik Lebaran. Ditambah lagi, banyak libur panjang. ”Karena setiap libur panjang itu berpotensi menimbulkan klaster baru. Apalagi didorong agar berwisata tanpa disertai sosialisasi kepatuhan protokol kesehatan,” katanya.
Alhasil, kasus meningkat drastis. Kondisi itu kemudian mengakibatkan kapasitas rumah sakit penuh. Pandu bahkan menyebutkan, Pemprov DKI Jakarta sampai menambah jumlah rumah sakit pelayanan Covid-19. ”Yang sebelumnya tidak melayani diminta ikut melayani sejak dua minggu lalu. Jadi, ini sudah diantisipasi,” paparnya.
Pandu menilai seharusnya pemerintah pusat tidak menjadi oposisi terhadap kebijakan pemerintah daerah. Terlebih soal PSBB DKI Jakarta. Pusat semestinya mendukung, bahkan membantu ketika kebijakan penanganan pandemi di daerah mengalami kesulitan. Misalnya soal integrasi daerah penyangga ketika restriksi PSBB kembali dinaikkan. ”Pusat bantu. Sinergikan. Bukan bersikap tidak etis dengan seolah-olah mengatakan rumah sakit masih bisa direlaksasi,” tegasnya.
Bahkan, kata Pandu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto harus ikut bertanggung jawab atas meningkatnya kasus positif Covid-19 ini. Sebab, Airlangga terus mendorong orang untuk berwisata. Padahal tidak dibarengi sosialisasi kepatuhan protokol kesehatan yang masif.
”Presiden sudah menekankan kesehatan nomor satu. Bukan ekonomi. Jadi, pembantu-pembantunya jangan ngeyel,” cetus alumnus University of Pittsburgh, Amerika Serikat, tersebut. Jika tetap dilakukan, patut dicurigai ada konflik kepentingan. ”Atau ada lobi-lobi dari pelaku ekonomi,” sambungnya.
Lalu, cukupkah hanya peningkatan restriksi PSBB untuk menurunkan kasus Covid-19? Pandu secara tegas menjawab tidak. Dia kembali menekankan pentingnya meningkatkan surveilans (surveillance). Tracing dan testing diperkuat. Lalu, edukasi penduduk tentang protokol kesehatan diteruskan secara masif.
Kemudian, pemerintah pusat juga harus terbuka bila terjadi klaster baru di kantor kementerian. Bukan menutupi, sehingga sulit untuk dilakukan contact tracing. ”Bukannya malah gak lapor. Itu namanya upaya pembohongan, penyembunyian, tidak mendukung penanggulangan pandemi,” tuturnya.
Selain Jakarta, Pandu berpandangan, seharusnya semua daerah memberlakukan PSBB. Agar penanganan linier. Perjalanan antarwilayah diperketat. Sehingga risiko penularan dapat diminimalkan. ”Ini harus direspons negara. Jika tak segera, kasus akan terus tinggi sampai akhir tahun,” ungkapnya.