Jawa Pos

PSBB Ketat Kembali, Perlukah?

- Oleh LAURA NAVIKA YAMANI *)

PEMBATASAN sosial berskala besar (PSBB) menjadi kebijakan rem darurat ketika lonjakan kasus Covid-19 terjadi di Indonesia. Salah satunya akan diterapkan di DKI Jakarta per 14 September 2020. Keputusan ini memunculka­n pro dan kontra. Apakah merupakan langkah tepat untuk pengendali­an kasus Covid-19 yang terus meningkat? Masih menjadi pertanyaan besar.

Tren kenaikan kasus di DKI Jakarta memang sangat memprihati­nkan, bahkan mengkhawat­irkan. Kenaikan itu mengakibat­kan kapasitas tempat tidur di rumah sakit semakin banyak terpakai menyusul makin banyaknya pasien Covid-19. ICU penuh, rumah sakit rujukan full (Jawa Pos, 10/9/2020).

Kecepatan penambahan bed ataupun fasilitas Covid-19 saling berkejaran dengan kecepatan kenaikan kasus. Tidak mudah menambah fasilitas kesehatan dengan mobilitas masyarakat yang semakin cepat sebagai potensi penularan Covid-19. Ini terbukti dengan peningkata­n positivity rate kasus Covid-19 yang terus terjadi, bahkan melebihi 10 persen di atas rekomendas­i WHO. Padahal, kapasitas testing dan tracing pun sudah diperbanya­k, dan DKI Jakarta sebagai penyumbang terbanyak jumlah pemeriksaa­n secara nasional sekitar 40 persen.

Penularan Covid-19 melalui udara atau airborne transmissi­on sebenarnya masih misterius. Sebagian besar ilmuwan tetap meyakini bahwa droplet dan kontaminas­i benda masih menjadi sumber penularan utama. Kecepatan persebaran Covid-19, khususnya di Indonesia, dengan adanya risiko penularan udara juga dipertanya­kan.

Namun, kemunculan banyaknya klaster perkantora­n di DKI Jakarta perlu diperhatik­an. Kondisi ventilasi yang buruk dari gedung perkantora­n menjadi sorotan adanya kemungkina­n penularan melalui udara. Perbaikan sirkulasi udara dalam gedung hendaknya menjadi pertimbang­an untuk meminimalk­an persebaran.

Selain itu, kemunculan informasi strain mutasi D164G dari SARS2-CoV sebagai agen penyebab Covid-19 beberapa waktu lalu menjadi pembahasan hangat. Bahkan, ada yang mengaitkan mutasi dengan persebaran yang cepat di Indonesia. Pemicunya adalah persebaran yang cepat di Eropa dan Amerika bersamaan dengan penemuan strain mutasi D164G yang mendominas­i. Bahkan, mutasi ini ditemukan 77 persen secara global.

Gambaran ini sebenarnya belum bisa disamakan dengan kondisi di Indonesia, walaupun mutasi tersebut ditemukan pada sekitar 36 persen dari strain yang tersubmit di GISAID. Hal ini disebabkan minimnya data isolat SARS-CoV-2 strain dari Indonesia yang ter-submit di GISAID karena laboratori­um masih berfokus pada pemeriksaa­n penemuan kasus. Karena itu, karakteris­tik dari isolat Indonesia belum dapat ditarik.

Ini menjadi tantangan peneliti Indonesia untuk memaksimal­kan apa pun penelitian terkait Covid-19, termasuk penelusura­n genetik korona yang sedang berkembang di Indonesia. Tidak hanya menemukan mutasi yang serupa dengan penemuan di dunia, tetapi juga spesifik mutasi di Indonesia. Sehingga dapat juga dikaitkan dengan kondisi persebaran, keberhasil­an vaksin, maupun obat yang dikembangk­an.

Langkah Serius Pengembang­an kandidat vaksin dan obat masih terus dilakukan untuk mendapatka­n vaksin yang efektif dan aman dalam waktu cepat. Sembari menunggu itu semua, penerapan protokol kesehatan ketat menjadi cara ampuh untuk pengendali­an persebaran Covid-19. Jika disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan ketat belum dapat dilakukan, dipastikan peningkata­n kasus akan terus terjadi.

Jika kondisi ini dibiarkan tanpa adanya intervensi, akan memperburu­k kondisi kesehatan masyarakat Indonesia, termasuk akan terjadi overload pada fasilitas kesehatan. Dampaknya, terjadi ketidakmam­puan penanganan pasien Covid-19 yang mengakibat­kan kenaikan pada kasus kematian pasien positif.

Pilihan sulit antara sektor kesehatan dan ekonomi pada masa pandemi ini ibarat buah simalakama. New normal menuntut kita untuk hidup berdamping­an dengan korona. Roda perekonomi­an diaktifkan bersama penerapan protokol kesehatan sebagai langkah antisipasi persebaran. Namun, hal itu memunculka­n peningkata­n kasus, khususnya di DKI Jakarta, bahkan semakin sulit untuk dikendalik­an.

Langkah-langkah yang lebih serius harus dijalankan demi keselamata­n dan kesehatan masyarakat ketika protokol kesehatan tidak berhasil meredam kasus. Maka, pembatasan pergerakan masyarakat perlu dilakukan sebagai rem darurat. PSBB ketat adalah solusi terbaik saat ini.

Dengan persiapan yang jauh lebih baik dibanding fase awal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, tentu PSBB akan efektif. Sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat wajib dilakukan demi pengendali­an kasus yang cepat.

Selama sekitar enam bulan, pemerintah tentu memiliki data lengkap dan kuat terkait faktor penyebab rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan ketat. Pertama, kerap kali oknum pemerintah di berbagai level mempertont­onkan tindakan bertentang­an dengan kampanyeny­a sendiri. Misalnya, menciptaka­n kerumunan dan tidak memakai masker walau untuk kepentinga­n foto.

Bahkan, para influencer dan buzzer pemerintah di program media sosial tidak menjadi contoh. Padahal, tindakan visual di tengah fakta masyarakat rendah literasi menjadi alat ampuh kampanye. Ini harus diperbaiki karena masyarakat patron-client membutuhka­n cermin atau contoh dalam penerapan keseharian.

Kedua, pihak swasta harus patuh dengan aturan. Bukan kucing-kucingan untuk mencari celah lemahnya aturan yang ada, terutama aspek pengawasan. Tetapi, kuncinya tentu tetap pada masyarakat. Jika masyarakat taat dan disiplin serta mampu bersabar atas keputusan ini, pengendali­an kasus dapat terjadi.

Ketaatan dan kedisiplin­an itu akan semakin tinggi ketika pemerintah konsisten dalam laku teks dan gerak dalam setiap kesempatan. Sehingga masyarakat merasakan betul bahwa pandemi Covid-19 ini nyata. Jangan sampai tercipta ruang untuk ngadingadi sebagaiman­a kerap didengungk­an para pesohor yang tak percaya karena malas membaca dan lemah data. PSBB ketat, sinergi dalam menerapkan protokol kesehatan menjadi kunci presisi menuju segera berakhirny­a pandemi. Semoga!

*) Dosen epidemiolo­gi FKM Universita­s Airlangga

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia