Melempar Tanggung Jawab ke Tikor
Soal Penyaluran BPNT Belum Ada Solusi Konkret
GRESIK, Jawa Pos – Sesuai pedoman umum (pedum) dalam program bantuan pangan nontunai (BPNT), koordinator daerah (Korda) terbilang kepanjangan tangan dari Kemensos. Salah satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Korda adalah melakukan monitoring dan evaluasi (monev) kepada tim koordinasi (tikor).
Nah, boleh jadi karena tupoksi monev tersebut tidak berjalan maksimal, proses distribusi bantuan sembako itu pun karutmarut. Sejak lama penyalurannya menyimpang dari pedum maupun Permensos 20/2019. Mulai distribusi dalam bentuk paketan, disparitas kualitas dan kuantitas sembako, agen atau e-warong tidak sesuai ketentuan, hingga selisih harga sembako yang diduga tidak sampai Rp 200 ribu per paket.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Pemkab Gresik Sentot Supriyohadi ketika dikonfirmasi tidak menampik tugas Korda dalam penyaluran BPNT, antara lain, melakukan monev atau pengawasan. Di bawah Korda, ada tikor kecamatan yang beranggota tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) hingga tenaga pendamping.
’’Termasuk pelaporan. Korda setiap bulan, kalau tidak salah akhir bulan, selalu mengirim laporan ke Kemensos terkait kinerja bawahannya,” ungkap Sentot.
Dalam penyaluran BPNT, tikor memang terbilang organ yang memegang tugas penting. Sebab, setiap bulan tikor menggelar rapat koordinasi teknis penyaluran BPNT di wilayah kecamatan masing-masing. Sesuai pedum, tugas tikor adalah merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, menyosialisasikan, menangani pengaduan, memantau dan mengevaluasi program di tingkat kecamatan, serta melaporkan pelaksanaan program.
Sementara itu, fungsi tikor kecamatan adalah mengoordinasi pelaksanaan program di wilayah kecamatan, menyosialisasikan program di wilayah kecamatan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program di desa/kelurahan, membina perangkat desa/aparatur kelurahan terkait program, serta melaporkan pelaksanaan program kepada Korda.
Saat dikonfirmasi Jawa Pos, Korda BPNT Gresik Suwanto mengatakan, selama ini dirinya tidak pernah dilibatkan atau diundang dalam rapat tikor. Setiap bulan, dia hanya bertugas membuat laporan yang dikirimkan ke Kemensos melalui dinsos. Dalam polemik penyaluran BPNT, Suwanto pun mengaku tidak banyak mengetahui. Malah dia melempar ke tikor. ’’Yang tahu tikor karena langsung di lapangan,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bappeda Gresik Hermanto T. Sianturi sependapat bahwa yang menjadi salah satu poin permasalahan dalam program BPNT adalah keberadaan supplier bayangan. Karena itu, dia menyebut perlu ada perubahan regulasi. Dalam pedum maupun Permensos 20/2019, tidak ada aturan khusus soal supplier.
’’Kalau aturan tentang supplier itu ada, kami bisa menindaklanjuti. Tapi, kalau pemkab membuat aturan sendiri khusus supplier, saya rasa kan tidak bisa mengikat karena ini program Kemensos,” jelasnya.
Dalam pedum memang tidak disebutkan regulasi untuk supplier atau penyedia barang. Hanya ada aturan tentang agen atau e-warong. Di antaranya, agen harus memiliki pemasok barang yang memenuhi sejumlah kriteria. Di antaranya, bisa diandalkan menyediakan barang secara konsisten berkualitas dengan harga yang kompetitif. Kedua, bisa memastikan ketersediaan barang secara berkelanjutan kepada e-warong. Ketiga, e-warong bisa bekerja sama dengan pihak ketiga untuk memastikan harga.
Temuan di lapangan, tidak sedikit pemasok BPNT yang merupakan supplier bayangan atau makelar. Mereka sebetulnya tidak memiliki barang atau komoditas. Hanya menjadi perantara atau calo. Mereka mengambil barang dari tengkulak, kemudian mendistribusikan ke agen atau e-warong dalam bentuk paketan. Namun, keuntungan yang diperoleh makelar itu cukup besar.
’’Saya paham yang dimaksud. Karena itu, langkah kita monev. Dari monev itu bisa diketahui, nama supplier hingga jenis barang dan kualitas. Hasil monev tersebut bisa jadi landasan untuk mengusulkan perbaikan pedum. Atau ditambah regulasi untuk supplier,” kata Hermanto.