Melipatgandakan Nilai Desa Melalui Wisata
DI tengah pandemi Covid-19 ini, dua desa melambung tinggi di jagat pariwisata. Keduanya ada di Magelang, Svarga Bumi –yang memikat hati dan mengundang setiap orang berlomba untuk datang dan berada langsung di hamparan pesawahan yang takjub indahnya– dan Butuh Kaliangkrik –pedesaan berlatar Gunung Sumbing yang megah nan menawan bak desa-desa di dataran tertinggi dunia di Nepal. Menggetarkan dan membanggakan, kesan itu yang muncul menyertai munculnya destinasi berbasis pedesaan ini di tengah kelesuan dan tekanan berat sektor pariwisata di titik terendah.
Persis seperti itulah harapan peringatan World Tourism Day yang dirayakan setiap 27 September di seluruh dunia, yang tahun ini difokuskan pada pembangunan pariwisata desa. UN World Tourism Organization (Organisasi Pariwisata Dunia) menetapkan perayaan Hari Pariwisata Sedunia tahun ini ’’Tourism and Rural Development’’.
Presiden Jokowi pada rapat kabinet, Kamis (24/9), juga memberikan penekanan yang sama, pandemi menjadi momentum untuk melakukan transformasi ekonomi desa. Selain integrasi berbagai program kementerian untuk menyelamatkan perekonomian desa, cara dari transformasi itu adalah potensi pertanian dan pariwisata di desa harus ditumbuhkan. Visi desa wisata presiden dapat dimaknai sebagai upaya melipatgandakan nilai desa melalui pariwisata.
Diyakini, sektor pariwisatalah yang dapat menyejahterakan warga desa tanpa mengeksploitasi alam pedesaan yang lestari. Hutan konservasi, pusat sumber mata air, sawah dan ladang, kini semakin dicari jutaan orang sebagai moda wisata yang dirindukan di masa dan pascapandemi. Tak sedikit area pedesaan berbatasan langsung dengan taman nasional, taman wisata alam, dan cagar alam yang menjadi habitat satwa endemik yang langka dan dilindungi.
Kehadiran desa yang menata diri sebagai tujuan wisata kian meningkat nilainya dengan tatanan ecotourism, adventure tourism, dan wellness tourism. Warga kota dan umat manusia umumnya merindukan kesejukan udara, perjumpaan dengan warga desa yang tulus, dan interaksi dengan alam beserta segala isinya dengan mengandaikan diterapkannya protokol kesehatan yang ketat, yang kini dikenal dengan cleanliness, healthy, safety and environmental sustainability (CHSE). Karena itu, pada waktunya nanti, di masa pandemi usai, berwisata ke desa adalah keniscayaan.
Desa berdaya dengan menghadirkan pengalaman berwisata yang aman dan menyehatkan di desa mesti menjadi keyakinan semua pemangku kepentingan, utamanya pemerintah terkait dan warga desa itu sendiri. Melalui wisata, produk buah-buahan, kopi, cokelat, dan hasil pertanian yang dihasilkan di desa tidak sebatas dinilai dengan satuan per kilogram. Sayuran dan tanaman mendapat harga lebih dari sekadar hitungan per potongan. Susu dan produk turunan hasil peternakan yang berlimpah juga terdongkrak naik karena ada nilai lebih yang dinikmati wisatawan dari desa melalui experience dan empathy yang tumbuh menyatu dalam diri wisatawan.
UN World Tourism Organization juga menegaskan, agrowisata merupakan bagian dari wisata pedesaan (2002). Upaya ini memberikan peluang kepada petani/ peternak kita untuk memperluas skala usaha dan mendapatkan
Diyakini, sektor pariwisatalah yang dapat menyejahterakan warga desa tanpa mengeksploitasi alam pedesaan yang lestari. Hutan konservasi, pusat sumber mata air, sawah dan ladang, kini semakin dicari jutaan orang sebagai moda wisata yang dirindukan di masa dan pascapandemi.’’
penghasilan lebih baik.
Champion Pada momen Hari Pariwisata Sedunia ini, patut pula apresiasi ditujukan kepada para tokoh desa yang dengan setia menjaga kelestarian alam. Di Kecamatan Wonosalam, Jombang, misalnya, sebagai salah satu area penting bagi beberapa daerah di Jawa Timur, kelestarian hutan dan mata air yang tersebar di berbagai wilayah desa di kecamatan yang dikenal dengan produk duriannya itu telah dijaga oleh kelompok pelestari hutan. Kesetiaan warga desa menanam pohon dan menjaga hutan bermakna penting bagi ketersediaan air yang berada di hulu Sungai Brantas dan dinikmati warga di area hilir Sungai Brantas. Konservasi yang dilakukan para champion dari warga desa yang setia itu mendapat berkah (bonus) melalui ekowisata.
Kisah heroik serupa juga ditemui di banyak area penting di desa penyangga taman nasional. Warga desa yang karena keterbatasan akses perekonomian untuk menyambung kehidupan seharihari, kerap kali terpaksa oleh keadaan menjadi pemburu satwa liar dan menebangi pohon, kian banyak yang tersadarkan, dan berbalik menjadi para penjaga konservasi. Mereka semua ada di desa. Banyak kearifan dan nilai perjuangan hidup mereka yang layak untuk didengar dan diteladani.
Forest bathing, ecotherapy healing, sarana penyembuhan alami dapat ditemui di desa. Mendengar suara alam, memandang bentang alam, menghirup udara alam, mengonsumsi produk alam di desa, kerap menjadi obat yang mujarab. Karena itu, tak salah bila sebuah nama desa di Bali diberi nama Ubud, berakar dari kata ubad/obat, diilhami kesembuhan umat manusia dalam sejarah desa bertaraf internasional itu. Wisata dapat melipatgandakan nilai desa. Selamat Hari Pariwisata Sedunia 2020.
Dosen hotel & tourism business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya