Omnibus Law Turunkan IKK
Tidak Yakin Segera Membaik
JAKARTA, Jawa Pos – Ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19 mengikis daya konsumsi masyarakat. Salah satu indikasinya adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) yang turun pada bulan lalu. Pengesahan omnibus law pun akan memperpanjang kondisi tersebut.
IKK September berdasar hasil survei BI tercatat 83,4. Angka tersebut lebih rendah ketimbang bulan sebelumnya yang berkisar 86,9. ”Konsumen masih pesimistis,” kata Direktur Eksekutif-Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko pada Selasa (6/10).
IKK yang rendah itu terdeteksi pada seluruh kategori masyarakat. Mulai kelompok tingkat pengeluaran sampai kelompok usia. Secara spasial, IKK turun pada 13 dari 18 kota survei yang merupakan kota besar maupun ibu kota provinsi. ”Paling jeblok di DKI Jakarta. Kemudian diikuti Denpasar dan Padang,” jelas Onny.
Sementaraitu,padasisiekspektasi, konsumen tidak yakin terhadap kondisi perekonomian. Belum tentu dalam jangka waktu enam bulanmendatang akan membaik. Hal itu disebabkan perkiraan terhadap ekspansi kegiatan usaha, ketersediaan lapangan kerja, dan penghasilan ke depan yang tidak sekuat bulan sebelumnya.
Imbauan diam di rumah dan penjarakan fisik sampai pembatasan sosial berskala besar (PSBB) belum berhasil meredam pandemi. Nyatanya, jumlah pasien masih terus bertambah. Kemarin (7/10), penambahan kasus positif Covid-19 mencapai 4.538 orang. Semangat pemulihan yang tidak sejalan dengan data di lapangan itu justru membuat masyarakat makin skeptis.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut turunnya IKK sebagai indikasi turunnya daya konsumsi masyarakat. Khususnya, kelas menengah atas. Yang rata-rata memiliki pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan. Adanya PSBB jilid 2 dan kasus harian Covid-19 yang masih tinggi menghambat mobilitas.
Menurut dia, stimulus pemerintah selama ini hanya menyasar kalangan masyarakat bawah. Baik melalui bantuan sosial maupun bantuan langsung tunai.
Sementara itu, masyarakat menengah atas belum mendapatkan dorongan untuk berbelanja.
Bhima juga menyebutkan, pengesahan omnibus law membuat stabilitas politik keamanan terganggu. Mengingat, tidak sedikit masyarakat yang menolak pengesahan tersebut turun ke jalan melakukan aksi demo. Hal tersebut berimbas terhadap kepercayaan konsumen.
”Kok jualannya upah murah (kepada investor asing, Red). Bukan upgrade skill dan teknologi. Kalau yang dikejar upah murah, jam kerja panjang ya susah naikin daya beli dan jadi negara maju,” tegas Bhima saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Melemahnya IKK sejalan dengan penurunan indeks percepatan manufaktur (Prompt Manufacturing Index/PMI) dan tren kenaikan simpanan di perbankan. Turunnya PMI, kata Bhima, merupakan langkah antisipasi industri untuk menyesuaikan kapasitas produksi dan pembelian bahan baku dengan rendahnya permintaan.
”Situasi ini diperkirakan berlanjut hingga kuartal IV meskipun ada momen Natal dan tahun baru,” ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.