Tiga Cacat UU Cipta Kerja
MESKI diprotes keras dan menimbulkan kontroversi di ranah publik, akhirnya fraksi-fraksi di DPR RI (kecuali FPKS dan Fraksi Partai Demokrat) menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU baru. Pengesahannya hampir tengah malam, ketika rakyat sedang tidur nyenyak.
Dengan demikian, secara yuridis pemerintah memiliki dasar atau legalitas hukum yang lebih kuat, khususnya dalam memperbaiki iklim investasi yang berdampak pada peningkatanpertumbuhanekonomi, meskipun dengan mengorbankan nasibparaburuh/pekerja.Suara-suara protes yang menolak UU dari publik terhadap DPR dianggap angin lalu.
Catatan Kritis
Namun, ada beberapa pasal yang menjadi sorotan keras. Pertama,
UU yang dulu sempat populer dengan akronim Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) itu mengkhianati norma-norma demokrasi. Salah satunya adalah aspirasi dan partisipasi publik. Proses penyusunannya sangat minim partisipasi publik, terutama bagi kaum buruh. Apalagi dibahas di tengah pandemi sehingga keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatannya sangat terbatas.
Aspirasi dan kepentingan buruh yang seharusnya diakomodasi justru dikhianati di ujung. Para anggota dewan dan pemerintah lebih mendengar dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan pengusaha.
Kedua, pembahasan UU terlalu dipaksakan untuk memenuhi target waktu yang diminta bapak presiden, yakni 100 hari. Pembahasan dan penyusunan dengan sistem ”kejar tayang” mengakibatkan banyak pasal dalam UU yang bermasalah dan dipermasalahkan masyarakat.
Ketiga, pembahasan RUU Ciptaker sama sekali tidak memiliki sensitivitas moral dan sosial. Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah dan DPR seharusnya lebih berfokus pada pengendalian persebaran virus yang masih menimbulkan banyak korban jiwa. Tetapi, mereka justru lebih lebih asyik membahas RUU Cilaka itu. Dengan kata lain, UU Ciptaker dapat dinilai cacat prosedur atau telah mengkhianati aturan main yang termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sementara itu, selain cacat prosedur, UU Ciptaker mengandung cacat substansi. Pertama, tidak ada batasan jenis-jenis pekerjaan yang di
outsourcing-kan. Semua bidang kegiatan atau kerja bisa dimodel seperti itu. Ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya makin bebas.
Kedua, masalah aksi demo buruh. Pihak perusahaan bisa langsung mem-PHK atau bahkan menuntut ganti rugi jika buruh melakukan demo ilegal. Klausul tersebut yang menyulut kemarahan buruh. Ketiga, masalah usulan kontrak kerja antara buruh atau pekerja dan perusahaan yang makin memberikan ketidakpastian bagi nasib buruh.
Keempat, masalah dana pensiun pekerja atau buruh juga bisa dihapuskan. Perusahaan berhak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh atau pekerja yang akan memasuki masa pensiun.
Kelima, pihak perusahaan berhak melakukan PHK bila pekerja atau buruh melakukan pelanggaran berat meskipun tanpa melalui proses hukum atau peradilan. Dan masih banyak lahir klausul atau pasal dari draf racikan pemerintah ini yang menyulut amarah para buruh atau pekerja.
Keenam, masalah status pekerja. UU Ciptaker menghapus pasal 59 UUK (Nomor 13 Tahun 2003) yang mengatur syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Di UUK, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) bagi pekerja maksimal bisa sampai dua tahun dan boleh diperpanjang setahun. Di UU Ciptaker, aturan PKWT dihapus. Dengan penghapusan pasal itu, tidak ada batasan aturan seorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya, bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup atau sewaktu-waktu di PHK secara sepihak.
Ketujuh, menghapuskan kewajiban memberikan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di-PHK karena surat peringatan. Padahal, dalam UUK pasal 161 disebutkan, pekerja/ buruh yang di-PHK karena mendapat surat peringatan memiliki hak mendapatkan pesangon. UU baru juga bisa menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di-PHK karena peleburan atau pergantian status kepemilikan perusahaan. Bahkan, UU baru juga menghapus uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh meninggal.
Kedelapan, pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan, kecelakaan, atau cacat akibat kecelakaan kerja ketika di-PHK tidak lagi mendapatkan pesangon. Kesepuluh, lebih memberikan kemudahan bagi tenaga kerja asing di Indonesia (pasal 42-44).
Tiga Cacat
Lahirnya UU Ciptaker ini secara nyata telah melabrak etika dan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasar hukum. Negara ini surplus politisi, tapi defisit negarawan (demokrat sejati). Para elite negara bukan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi yang dilandasi kedaulatan rakyat, tapi demo-crazy: demokrasi tanpa aturan main atau demokrasi semau gue atau demokrasi gila, dengan mengangkangi konstitusi.
UU Ciptaker setidaknya mengandung tiga cacat secara kumulatif, yakni catat etik-moral, cacat sosial, dan cacat hukum. Cacat moral: lahirnya UU lebih karena kemauan, kepentingan pemerintah dan penguasa, tanpa konsultasi publik secara memadai. Tidak menghormati tata kelola sistem demokrasi dan suara rakyat dianggap tidak ada.
Cacat moral melahirkan cacat sosial: melawan aspirasi publik dan karenanya UU tersebut kehilangan daya legitimasi sosial di mata masyarakat serta melahirkan social distrust. Selanjutnya, secara yuridis, UU itu secara materiil dan formil dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, sangat wajar jika ada elemen masyarakat, khususnya NU dan Muhammadiyah, yang sudah berencana mengajukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi karena menilai UU Ciptaker secara formil dan materiil bertentangan dengan UUD 1945.
Dosen Sosiologi Hukum FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, pengurus Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Jawa Timur