Masifkan Simulasi Prokes Coblosan di Daerah
Dinilai Masih Butuh Perppu
JAKARTA, Jawa Pos - Pelaksanaan pemungutan suara akan berlangsung dua bulan lagi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun terus mematangkan persiapan teknisnya. Apalagi, pelaksanaan pemungutan suara dengan protokol kesehatan (prokes) akan menjadi pengalaman pertama Indonesia.
Komisioner KPU Viryan menyatakan, salah satu langkah sosialisasi prokes adalah melalui simulasi pemungutan suara. Prosesnya akan dimasifkan di berbagai daerah bulan ini. ”Mulai Oktober ini kami akan dorong daerah untuk mulai banyak melakukan simulasi,” ujarnya dalam webinar kemarin (8/10).
Viryan menjelaskan, dari hasil pantauan KPU, hingga saat ini masih banyak warga yang belum tahu perubahan teknis pemungutan suara di masa pandemi. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi yang masif dengan memperbanyak simulasi coblosan.
Untuk diketahui, desain TPS nanti berbeda dengan biasanya. Selain dibuat lebih lebar, akan disediakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, tempat pencuci tangan, masker, dan bilik khusus. Sirkulasi kedatangan pemilih juga akan diatur guna menghindari penumpukan.
Viryan menambahkan, di level KPU RI, pihaknya juga akan menggelar simulasi keempat pada Sabtu (10/10). Dalam simulasi di Kota Magelang, Jawa Tengah, itu, sejumlah hal teknis bakal diuji coba sebagai evaluasi atas simulasi ketiga. Di antaranya, membuat pembatas berlapis untuk jaga jarak di TPS dan membuka exit poll.
”Kami buat exit poll dan menanyakan bagaimana masyarakat kalau diatur kedatangan jam sekian-sekian dan seterusnya,” terangnya. Mantan komisioner KPU Pontianak itu juga meminta pemilih dan peserta bisa bekerja sama dalam menerapkan prokes saat simulasi.
Sementara itu, peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menyatakan, KPU perlu mengatur ketentuan bila terjadi pelanggaran prokes ketika proses di TPS berlangsung. Sejauh ini, pihaknya baru melihat pengaturan tersebut di tahap kampanye. Itupun sangat birokratis.
Mantan komisioner KPU itu menambahkan, pihaknya tetap berpendapat agar pilkada ditunda terlebih dulu. Penundaan dibutuhkan demi mempersiapkan regulasi teknis, termasuk ketentuan dalam pelaksanaan coblosan di TPS.
Dalam hal tersebut, ada banyak ketentuan teknis untuk memastikan prokes lebih terjamin. Misalnya, membuka opsi TPS keliling, pemilihan lewat pos, dan memperpanjang waktu pemungutan suara untuk menghindari penumpukan. ”Itu hanya bisa diatur melalui perppu atau revisi UU Pilkada,” imbuhnya.
Dia meyakini, DPR dan pemerintah tidak membutuhkan waktu lama untuk merapikan regulasi teknis itu. ”DPR kita kan sekarang punya keahlian menyelesaikan UU secara cepat,” tuturnya merujuk penetapan UU Cipta Kerja dan UU KPK.