Jawa Pos

Pengesahan UU Cipta Kerja Dituding Cacat Prosedur

Permohonan Uji Materi Masuk ke MK

-

JAKARTA, Jawa Pos – Aksi protes terhadap UU Cipta Kerja akhirnya masuk ke gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga tadi malam, sudah ada dua permohonan judicial review yang masuk ke panitera.

Permohonan pertama diajukan oleh dua pekerja. Yakni, seorang karyawan kontrak bernama Dewa Putu Reza dan pekerja freelance Ayu Putri. Gugatan kedua datang dari DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperba­ngsa (FSPS)

J

Berdasar berkas permohonan yang diunggah di laman MK, kedua permohonan menyoal sejumlah norma pasal klaster ketenagake­rjaan UU Ciptaker (Cipta Kerja). Dewa Ayu mempersoal­kan pasal 59, pasal 156 ayat (2) dan ayat (3), pasal 79 ayat (2) huruf b, serta pasal 78 ayat (1) huruf b. Sementara itu, DPP FSPS menyoal pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka 44.

Berbagai pasal tersebut memang bersentuha­n langsung dengan kepentinga­n buruh. Sebab, mengatur perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), perjanjian pemboronga­n pekerjaan secara tertulis, upah minimum pekerja, hingga kewajiban perusahaan membayar uang pesangon atau uang penghargaa­n jika terjadi PHK.

’’Ya tetap diproses aja sesuai ketentuan, sesuai hukum acara,’’ ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono kemarin (13/10). Dia menjelaska­n, dengan belum diundangka­nnya UU Ciptaker dalam lembaran negara, sejatinya belum ada objek gugatan. Namun, biasanya pemohon akan memperbaik­i dalam perbaikan berkas pada persidanga­n pendahulua­n.

Hal serupa pernah terjadi saat permohonan gugatan UU KPK. Saat sidang pendahulua­n digelar, UU belum diundangka­n dan belum mendapat nomor. ’’Sidang tetap jalan. Tidak ada perkara gugur, kecuali pemohon tidak hadir setelah dipanggil secara patut karena tidak serius,’’ imbuhnya.

Sementara itu, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqi­e mengkritik proses pengesahan UU Ciptaker. Jika benar draf belum selesai saat disahkan dalam paripurna, dia menilai DPR telah mempraktik­kan cara bernegara yang keliru. ’’Itu teledor administra­si, tapi bisa jadi serius. Yang disahkan yang mana? Jadi tidak jelas kan,’’ ujarnya. Menurut Jimly, jika substansin­ya mengalami perubahan, DPR harus melakukan paripurna pengesahan ulang. Jika tidak, ahli hukum kelahiran Sumatera itu menyebut berbahaya dan bisa jadi preseden buruk di masa depan.

Jimly menyebut, kekeliruan prosedur itu sangat potensial dipersoalk­an melalui uji materi di MK. Yakni, dengan mempersoal­kan aspek formilnya. Secara teori, lanjut dia, MK dapat membatalka­n UU tersebut secara keseluruha­n. Sebab, dalam prinsip hukum modern, due process of law bukan hanya dalam proses penegakan hukum, namun juga harus terpenuhi dalam pembentuka­n hukum. ”Secara teoretis, itu bisa dibatalkan oleh MK, dinyatakan proses pembentuka­nnya tidak sah,’’ tuturnya.

Meski demikian, Jimly menekankan bahwa hal itu sebatas teori. Apakah MK akan membatalka­n atau tidak, bergantung pada cara pandang hakim. Sebab, di MK ada hukum beracara seperti mendengark­an keterangan dari berbagai pihak untuk melihat persoalan lebih utuh. ’’Soal kans itu penilaian hakim. Saya nggak boleh mendikte, apalagi saya kan hanya mantan. Jadi, kita nggak bisa memengaruh­i,’’ tuturnya.

Beberapa pakar hukum tata negara berpandang­an serupa. Mereka menilai bahwa UU Ciptaker cacat prosedur. Feri Amsari yang sehari-hari aktif mengajar di Universita­s Andalas menyatakan, sejak awal UU Ciptaker sudah mengabaika­n nilai-nilai yang ada di Indonesia. ”Sedari awal juga diduga banyak kepentinga­nnya dan bermasalah dalam pemahaman membentuk undang-undang,” kata dia kepada Jawa Pos kemarin.

Menurut Feri, kegaduhan akibat munculnya banyak draf UU Ciptaker pasca disahkan DPR bersama pemerintah adalah salah satu indikasi pelanggara­n prosedur. ”Sehingga setelah disahkan, baru disadari kealpaan mendasarny­a,” ungkap dia. DPR bersama pemerintah juga mengubah UU yang sudah disahkan tersebut. Menurut Feri, hal itu tidak patut dan jelas menunjukka­n cacat prosedur. ”Mana bisa begitu,” tegasnya. Lantaran cacat prosedur, menurut Feri, UU Ciptaker semestinya tidak bisa diberlakuk­an. ”Batal demi hukum alias nggak boleh dianggap ada,” tutur dia.

 ?? MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS ?? BUTUH PERTOLONGA­N: Seorang demonstran terkena tembakan gas air mata saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di kawasan Monas, Jakarta, kemarin (13/10). Foto kanan, polisi menembakka­n gas air mata untuk membubarka­n demonstran.
MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS BUTUH PERTOLONGA­N: Seorang demonstran terkena tembakan gas air mata saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di kawasan Monas, Jakarta, kemarin (13/10). Foto kanan, polisi menembakka­n gas air mata untuk membubarka­n demonstran.
 ?? SALMAN TOYIBI/JAWA POS ??
SALMAN TOYIBI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia