Jawa Pos

Kawan-Kawan Juga Manusia yang Ingin Beribadah

Al Falah tak cuma menjadi rumah para waria untuk beribadah dan belajar agama, tapi juga berkegiata­n sosial. Bantuan mengalir selama pandemi ini dan sebagian selalu disisihkan untuk warga sekitar.

- M. HILMI S., Jakarta  WINDA A.I.P., Jogjakarta, Jawa Pos

OMBAK terbesar sudah berhasil dia lalui. Jadi, ketika ada gelombang lain menghajar, Shinta Ratri tetap tegar berdiri.

Ombak terbesar itu terjadi empat tahun silam. Saat pondok pesantren (ponpes) khusus waria yang dia dirikan dan kelola diprotes sekelompok masyarakat dan diminta tutup.

’’Saya berusaha tetap tenang ketika itu dan akhirnya bisa mendapatka­n kembali hak untuk membuka kembali kegiatan pesantren,’’ katanya pada webinar seri ketiga dalam rangkaian Festival

Inklusi 100 Persen pekan lalu.

Sementara itu, gelombang yang tak kalah keras menghantam adalah pandemi Covid-19 yang kini terjadi. Musibah yang sangat mengganggu keseharian Al Falah, ponpes yang dia dirikan pada 2008.

’’Itu belum dampak ekonomi kepada para santri,’’ ujarnya tentang 42 santri yang mondok di Al Falah.

Tapi, ketenangan dan ketegarann­ya berbuah

Bantuan sembako dari sejumlah lembaga dan rekan mengalir ke ponpes yang berada di Kotagede, Jogjakarta, tersebut. Donasi itu pun lantas dibagikan ke para santri.

Namun, tidak semua. Sebagian tetap disisihkan untuk warga sekitar pesantren. Tujuannya, semakin merekatkan hubungan sosial pesantren dengan tetangga lingkungan sekitar.

Satu dekade lebih Shinta gigih mempertaha­nkan pondok pesantren serta membela hak komunitas waria agar tetap menjalanka­n ibadah itu membuahkan penghargaa­n. Sebagaiman­a dilansir Jawa Pos

pengabdian dan komitmen itu pula yang membawanya diganjar penghargaa­n sebagai pembela HAM (hak asasi manusia) dari Front Line Defenders, organisasi internasio­nal untuk perlindung­an pembela HAM yang berbasis di Republik Irlandia.

Front Line Defenders pun memberikan bantuan 6.500 euro (sekitar Rp 100 juta) lewat program Save and Security. ’’Ya, kita menjaga ini saja. Nanti Oktober baru saya berangkat ke Irlandia,’’ katanya kepada

dalam kesempatan berbeda.

Selama pandemi ini, lanjut Shinta yang juga waria, para santri Al Falah tidak bisa berkumpul secara penuh di dalam pesantren. Banyak yang pulang atau memilih indekos tidak jauh dari pesantren.

Pada awal-awal pandemi dahulu, seluruh kegiatan pembelajar­an di pesantren berhenti total. Baik yang bersifat agama maupun nonagama.

Tetapi, sejak sekitar dua bulan lalu, kegiatan yang bersifat agama kembali dilaksanak­an. Misalnya, mengaji Alquran.

’’Karena tidak mungkin kita tidak melakukan apa-apa,’’ jelas Shinta yang berusia 58 tahun.

Kegiatan mengaji di Al Falah berjalan di bawah bimbingan Ustad Arif Nuh Safri. ’’Pesantren ini saya pikir pantas dan layak untuk menjadi ruang mereka biar lebih nyaman dalam menghamba sama Allah,’’ jelas Arif kepada Jawa Pos Radar Jogja.

Arif menyaksika­n sendiri betapa besar keinginan para waria yang menjadi santri untuk belajar agama. ’’Setiap manusia, apa pun status dia, pasti memiliki keinginan yang kuat dekat dengan Tuhan dalam benak hatinya,’’ katanya.

Itu pula yang menyemanga­ti Shinta. Para waria, kata dia, kerap mengalami diskrimina­si berlapis-lapis. Dari keluarga maupun lingkungan. Urusan beribadah, hak dasar setiap manusia, saja juga tak gampang. Mereka sering dicibir, diteriaki, atau dibicaraka­n secara bisik-bisik.

’’Itu membuat para waria tidak nyaman beribadah di tempat umum,’’ ujarnya.

Itu belum termasuk konflik batin yang dialami saat merasa tak nyaman dengan fisik lelaki mereka. Shinta tentu juga mengalamin­ya.

’’Krisis identitas saya alami saat SMP,’’ kenangnya.

Dia mengaku sejak kecil lebih sering bergaul dengan anakanak perempuan. Dia benarbenar mengalami sebuah pertanyaan besar bahwa dirinya siapa saat itu.

Dia bahkan secara diam-diam sempat mempelajar­i cara duduk dan berjalan kakak perempuann­ya. Tetapi, saat itu cukup sulit menerapkan­nya.

Tak bisa dia lupakan juga pengalaman memilukan temannya yang sama-sama mengalami krisis identitas. ’’Ada yang sampai mau masuk ke dalam sumur. Beruntung masih bisa diselamatk­an,’’ katanya.

Al Falah dia dirikan setelah diawali keinginan mencari wadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual sebagai manusia biasa.

Bagi dia, waria juga makhluk Tuhan yang berhak diperlakuk­an sama seperti warga lain, termasuk dalam hal beragama.

Kini 12 tahun sudah Al Falah menjadi rumah bagi kalangan waria di Jogja dan sekitarnya. Di sana para santri tidak cuma belajar agama, tapi juga berkegiata­n sosial lain seperti bakti sosial, sekolah sore (belajar memasak, hidroponik, kreasi hijab), dan kegiatan inklusi.

’’Harapan saya, dengan ini kesejahter­aan atau kemapanan secara ekonomi mereka meningkat. Karena kami percaya kemapanan hidup itu berbanding lurus dengan kesempatan beribadah,’’ kata Shinta.

 ?? DWI ’’OBLO’’/DFAT/TAF/PROGRAM PEDULI ?? PENGABDIAN: Shinta Ratri (kiri) membaca Alquran di pesantren yang didirikann­ya.
DWI ’’OBLO’’/DFAT/TAF/PROGRAM PEDULI PENGABDIAN: Shinta Ratri (kiri) membaca Alquran di pesantren yang didirikann­ya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia