Ex-Travesty dan Karakter Perempuan dalam Ludruk
SURABAYA, Jawa Pos – Bunyi gamelan mengiringi seorang pesinden yang menyanyikan tembang campursari. Suaranya menggema di ruang terbuka kompleks Benteng Kedung Cowek, Surabaya. ”Ludruk ini sudah menjadi jalan hidup saya, terlebih bisa melestarikan tradisi juga,” kata pesinden yang akrab disapa Kristin itu.
Adegan tersebut menjadi prolog film dokumenter Ex-Travesty karya Teater Kaki Langit Surabaya. Film pendek itu mengangkat tentang kesenian ludruk yang kerap menghadirkan tandak atau peran perempuan yang biasanya dimainkan sosok laki-laki. Film tersebut baru saja meraih penghargaan.
Film berdurasi 15 menit itu menampilkan aktivitas dua tandak ludruk Surabaya. Yakni, Kristin dan Arimbi. Mereka menunjukkan bagaimana menyiapkan sebuah peran sebelum di panggung. Baik saat latihan dialog maupun caranya berdandan. Di film itu, Kristin menunjukkan kemampuannya menjadi sinden, sedangkan Arimbi menjadi seorang nenek.
Mereka juga menanggapi aktivitas mereka yang kerap dianggap tidak normal oleh sebagian orang. Bagi Arimbi, menjadi tandak bukanlah hal yang tabu. ”Tetapi, bagian dari seni peran yang menuntut kreativitas seorang aktor,” imbuhnya. Di menit-menit pertengahan dan akhir, seniman ludruk Meimura juga menyampaikan tanggapannya. Terkait dengan sejarah tandak pada kesenian ludruk. Dia juga menyampaikan harapan agar kesenian tersebut tetap lestari di Surabaya. Sebab, banyak nilai budi pekerti di dalam ceritanya. ”Serta jangan memberikan stigma tidak normal pada tandak,” katanya.
Tanggapan Meimura itu disetujui Yusril Ihza, sutradara film Ex-Travesty. Menurut dia, hal itu mencerminkan makna yang diangkat dalam film tersebut. Bahwa, keadaan new normal adalah keadaan normal yang tidak pernah dianggap normal. Sebagaimana yang terjadi pada seniman tandak ludruk asal Surabaya itu. ”Mereka akan tetap berada pada kehidupan yang tak pernah dipahami sebagian orang,” ujar Yusril.
Saat perekaman, mereka mengambil area kompleks Benteng Kedung Cowek, Surabaya. Seluruh kru berasal dari anggota Teater Kaki Langit asal Surabaya. Prosesnya kurang dari sebulan. Namun, mereka berhasil meraih penghargaan 10 besar pada Festival Film Dokumenter New Normal yang diadakan Dewan Kesenian Jatim pada Agustus lalu.