Krisis Komunikasi Legalisasi UU
wacana teks yang dibubuhkan dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja memiliki cacat struktur dalam bahasa? Mengingat perbedaan yang cukup jauh terkait tafsiran butir-butir pasal yang diutarakan pemerintah dengan tafsiran masyarakat sebagai objek UU tersebut. Jangan-jangan apa yang dibaca pemerintah dan yang dibaca masyarakat berbeda walau judulnya sama.
”Memang belum ada draf final yang beredar.” Begitulah cuitan lantang menteri komunikasi dan informatika untuk meyakinkan publik bahwa draf RUU Cipta Kerja yang tersebar di masyarakat pasti menyimpang. Alasannya, belum ada draf final yang disampaikan ke publik. Ini terkait simpang siur draf RUU Cipta Kerja dengan berkas sejumlah 1.028 halaman dan 905 halaman.
Bahkan, pertarungan isi poinpoin draf RUU Cipta Kerja menjadi hiasan lini massa media sosial saat ini. Turunnya aksi penolakan di berbagai daerah di Indonesia seolah gambaran masyarakat yang terprovokasi oleh draf RUU yang salah. Bahkan, para menteri Kabinet Kerja II beramai-ramai mengutarakan, jangan mudah termakan oleh hoaks RUU Cipta Kerja tersebut.
Jika melihat peristiwa di atas, tampaknya kita berhak untuk bertanya: bagaimana cara kita mengetahui draf RUU yang valid tersebut? Lantas bagaimana mekanisme pengesahan UU itu? Adakah peran masyarakat ketika perencanaan RUU tersebut?
Akomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan UU sesungguhnya sudah tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Dalam bab X pasal 88 terkait penyebarluasan RUU dijelaskan, proses penyebarluasan harus dilakukan sejak penyusunan prolegnas. Hal tersebut untuk memberikan informasi dan masukan dari masyarakat.
Bahkan, dalam bab XI terkait partisipasi masyarakat dijelaskan, masyarakat berhak memberikan masukan, baik lisan maupun tulisan. Tidak cukup hanya itu, RUU semestinya dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. Dengan demikian, seharusnya tidak wajar perbedaan persepsi terkait isi RUU tersebut jika mekanisme ini berjalan dengan baik.
Keterlibatan masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penciptaan UU. Sebab, seluruh hasil dari ciptaan itu akan bermuara pada proses kesejahteraan masyarakat. Keberadaan aspirasi masyarakat dalam pembentukan UU akan meningkatkan legitimasi, transparansi, serta responsivitas sehingga UU yang dihasilkan akan melahirkan kebijakan yang akomodatif.
Apabila suatu kebijakan tidak aspiratif, dapat muncul kecurigaan mengenai kriteria dalam menentukan ”siapa mendapatkan apa”. Keadaan sebaliknya, apabila proses pengambilan kebijakan dilakukan dengan cara terbuka dan didukung informasi yang memadai, akan memberikan kesan transparan. Dengan demikian, legitimasi dari kebijakan yang diambil akan bertambah.
Tampaknya pemerintah dan DPR harus mengatur bagaimana distribusi komunikasi publik yang akan dilakukan dalam RUU Cipta Kerja tersebut sehingga publik tidak lagi dibingungkan dengan draf isi narasi yang misterius. Secara garis besar, akomodasi terhadap literasi pembuatan kebijakan UU harus dilakukan pemerintah dan DPR. Bahkan, jika usul tersebut berasal dari presiden, distribusi RUU itu harus dilakukan pemerintah dengan menunjuk instansi pemrakarsa.
Dalam kasus RUU Cipta Kerja, hal ini seperti menjadi bias. Pemerintah dan DPR sewajarnya memikirkan the goals which the communicator sought to archive bagaimana draf RUU tersebut dapat tersampaikan dengan mudah kepada masyarakat sebagai objeknya. Pemilihan strategi komunikasi harus menjadi bagian dalam legalisasi UU untuk menjembatani ”cultural gap” terhadap produk UU yang dianggap baik oleh pemerintah bagi masyarakat, tetapi masyarakat menganggap sebaliknya.
Jika melihat narasi para pejabat tinggi negeri ini yang mengutarakan diksi bahwa draf UU yang beredar di publik adalah hoaks, hal tersebut menjadi tamparan bagi pemerintah sendiri dan DPR. Itu menunjukkan betapa minimnya produk strategi komunikasi publik yang dilakukan sesuai amanat UU dalam proses penyebarluasan pembentukan UU. Pemerintah dan DPR seharusnya sudah siap dengan berbagai krisis komunikasi yang muncul ketika pengesahan UU Cipta Kerja ini sehingga respons yang dimunculkan dari gaduhnya UU Cipta Kerja ini tidak membuka aib baru dari proses pembentukan UU tersebut.
Communication-persuasion menjadi elemen penting mutakhir terhadap pelibatan masyarakat dalam proses perancangan perundang-undangan. Proses ini akan memberikan variabel komunikasi meliputi berbagai komponen komunikasi yang akan dilakukan ke masyarakat. Komponen tersebut berupa sumber rancangan kebijakan, prolegnas, pembicaraan tingkat I, pembicaraan tingkat II, dan pengesahan.
Tidak cukup hanya itu, DPR dan pemerintah semestinya juga memiliki message frames sebagai bentuk kerangka kerja untuk mengemas pesan yang sedemikian rupa menarik dalam kerangka memancing reaktansi masukan masyarakat. Sehingga kepekaan masyarakat terhadap berbagai RUU yang dicanangkan pemerintah akan meningkat. Lebih penting lagi, tidak akan ada dualisme isi tafsir UU yang sudah disahkan. Ataupun kemisteriusan isi dari UU yang disahkan dengan berbagai problematikanya.
Hal ini dilakukan untuk strategi peningkatan literasi publik terhadap RUU di negara kita. Tugas tersebut jelas melekat terhadap DPR dan pemerintah untuk memfasilitasinya. Penunjukan strategi komunikasi publik menjadi bukti kesungguhan dari upaya ini. Semoga berbagai upaya pembentukan kebijakan yang akan dilakukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jika melihat narasi para pejabat tinggi negeri ini yang mengutarakan diksi bahwa draf UU yang beredar di publik adalah hoaks, hal tersebut menjadi tamparan bagi pemerintah sendiri dan DPR. Itu menunjukkan betapa minimnya produk strategi komunikasi publik yang dilakukan sesuai amanat UU dalam proses penyebarluasan pembentukan UU.”