Bijak Merumuskan Kebijakan
Polemik omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja adalah kesalahan yang berulang. Setahun lalu, pengesahan revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR juga menimbulkan gelombang protes. Masalahnya sama: proses penyusunan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Banyak prosedur yang ditabrak.
Yang paling kentara adalah soal partisipasi publik. Dua produk legislasi tersebut dihasilkan dengan minim melibatkan publik. Telinga legislatif dan eksekutif seperti tidak dibuka lebar-lebar untuk mendengar berbagai pendapat elemen masyarakat terhadap pasalpasal tertentu atau yang mempertanyakan urgensi dan meminta pembahasan RUU itu distop. Yang terjadi, pembahasannya justru tergesa-gesa dan terkesan ditutup-tutupi.
Sebagai sebuah kebijakan untuk publik, dua beleid tersebut –dan sangat mungkin juga pada UU lain– jelas tidak melalui proses yang ideal. Menepikan aspirasi dan partisipasi publik tentu bukan hal yang bijaksana bagi para pengambil kebijakan. Apalagi, itu terjadi di sebuah negara yang mengagungkan demokrasi.
UU memang tidak lahir di ruang hampa. Ada banyak kepentingan. Keputusan yang dipandang baik oleh suatu kelompok belum tentu baik pula untuk kelompok yang lain. Maka, sudah semestinya, bukan hanya pembuat UU yang mendominasi. Kelompok-kelompok masyarakat, akademisi, LSM, serta media perlu tahu dan terlibat.
Suara rakyat wajib dipertimbangkan. Bukan hanya dibutuhkan saat kontestasi lima tahunan. Partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan memiliki urgensi, yakni memperkuat legitimasi dalam pelaksanaan peraturan tersebut.
Dalam konteks UU Cipta Kerja, melempar permasalahan ke Mahkamah Konstitusi dengan mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas mengajukan judicial review terkesan tidak arif. Meski itu jalur konstitusional. Sebab, produk yang hendak diuji dinilai cacat prosedur. Tidak memenuhi syarat pembentukan UU.
Kalau memang niatnya bagus, tidak merugikan buruh, jangan terburu-buru memberlakukan omnibus law. Lakukan langkah koreksi lewat upaya legislative review bersama DPR. Kembali ke proses awal pembahasan dengan membuka ruang dialektika dengan semua elemen masyarakat.
Tidak perlu kaku dalam memberikan batasan waktu. Sebab, tenggat seperti 100 hari harus rampung sebagaimana pembahasan yang lalu hanya akan menggiring pada ketergesagesaan. Apalagi dengan materi omnibus law yang merevisi puluhan UU sekaligus.
Langkah-langkah bijak para pembuat UU diperlukan agar kualitas produk legislasi terjaga. Yang tidak kalah penting, mengembalikan
trust publik yang sempat tergerus. (*)