Rumit, Berbisnis di Indonesia
Perlu Tingkatkan Daya Saing Manufaktur
JAKARTA, Jawa Pos – Berbisnis di Indonesia tidak gampang. Itulah yang tecermin pada laporan Global Business Complexity Index (GBCI) Rankings 2020. Dalam laporan tersebut, Indonesia menduduki peringkat pertama daftar negara paling rumit untuk berbisnis.
Kemarin (16/10) data itu dirilis lembaga riset dan konsultan TMF Group. Indonesia mengungguli sembilan negara lain sebagai yang paling sulit menumbuhkan bisnis dalam daftar top ten. Alasan utamanya adalah regulasi yang kini berlaku di Indonesia. Total, ada 77 negara yang indeks kompleksitas bisnisnya juga disurvei. Indeks kompleksitas bisnis merupakan indikator untuk mengukur susah gampangnya berbisnis di negara tersebut.
”Posisi Indonesia sebagai pasar paling kompleks secara global disebabkan undangundang yang tradisional (kuno,
Red),” ujar Managing Director TMF Group Indonesia Alvin Christian.
Menurut TMF, UU Ketenagakerjaan yang ada sejatinya ditujukan untuk melindungi tenaga kerja dari eksploitasi. Namun, regulasi itu juga membuat perusahaan sulit mengambil tindakan tegas terhadap karyawan yang berkinerja buruk. ”Peraturan ini dianggap kuno oleh orang luar dan tetap menjadi salah satu faktor utama yang menghalangi investasi asing masuk,” jelas Alvin.
Menurut TMF, hal lain yang menjadi penghambat bisnis di Indonesia adalah daftar negatif investasi (DNI). Lewat DNI, pemerintah membatasi persentase kepemilikan asing pada sektor industri. Namun, menurut TMF, Indonesia sudah mengonversi DNI menjadi daftar positif investasi.
”Presiden (Joko Widodo) sangat ingin mendorong investasi asing masuk. Kini pemerintah berupaya memberikan berbagai kemudahan,” kata Alvin.
Dia menyebut Indonesia sebagai pasar yang menarik dan menguntungkan. Namun, memang perlu ada kelonggaran dan kemudahan untuk menambah daya tarik tersebut.
Ekosistem bisnis Indonesia yang jelimet, menurut Alvin, sebenarnya bukan hal baru. Dalam indikator ease of doing business (EoDB) yang dipublikasikan Bank Dunia, kemudahan berbisnis di Indonesia stagnan pada peringkat ke-73.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani menegaskan, selain meningkatkan investasi, Indonesia perlu memberikan kemudahan berbisnis atau EoDB. Menurut dia, Omnibus
Law Cipta Kerja bisa menjadi salah satu medium untuk mempermudah langkah tersebut. ”Investasi dalam maupun luar negeri meningkat. Ujungnya adalah penciptaan lapangan kerja,” ungkapnya.
Rosan menuturkan, saat ini yang harus didorong adalah investasi yang masuk berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Sebab, berdasar data BKPM 2016, setiap investasi Rp 1 triliun yang masuk menimbulkan penyerapan tenaga kerja sampai 2.021 orang. Namun, pada 2019 setiap Rp 1 triliun investasi yang masuk hanya menyerap sekitar 1.200 tenaga kerja.
”Investasinya meningkat, tapi penyerapan turun. Sebab, yang bersifat manufaktur yang penyerapannya tinggi tidak masuk ke Indonesia,” jelas Rosan.
Menurut dia, investor pada sektor manufaktur lebih memilih negara-negara ASEAN yang lain. Karena itu, Indonesia perlu memperbaiki daya saing dengan negara-negara ASEAN. Salah satu caranya adalah reformasi investasi.