Jawa Pos

Demi Indonesia, Saya Siksa Diri Sendiri

- RIZKY AHMAD FAUZI, Jakarta, Jawa Pos

Pada saat cedera yang didapat semasa aktif menjadi lifter terus menyiksany­a, Citra Febrianti harus melewati jalan berliku untuk mendapatka­n haknya. Bonus itu akan digunakan untuk melunasi utang pengobatan cedera dan, bila cukup, untuk membeli rumah.

TAK sekali-dua kali keluarga atau teman bertanya kepadanya, ’’Hari ini hujan nggak.” Dan, Citra Febrianti bakal menjawab tanpa ragu.

’’Awal-awal dulu dibilang sok tahu. Ternyata jawaban saya selalu benar,” tutur mantan lifter nasional tersebut.

Itu bukan linuwih (kelebihan) bawaan sejak lahir. Dia tidak menceritak­annya dalam nada bangga. Malah sebaliknya: ada getir di sana.

Akarnya ada pada cedera tulang lumbal yang dialaminya sejak masih aktif di angkat besi. Tulangnya terasa nyut-nyut ketika temperatur mulai turun, tanda alam yang kerap menyertai tiap kali hujan akan datang

Dari sana kemampuann­ya menebak hujan tadi berasal.

’’Seperti sakit gigi, tapi di bagian tulang,’’ kata perempuan kelahiran Lampung, 22 Februari 1988, itu kepada Jawa Pos yang menghubung­inya dari Jakarta Senin pekan lalu (21/12).

Sakit itu terasa lebih menyiksa karena berkelinda­n dengan panjangnya perjuangan perempuan 32 tahun tersebut mendapatka­n haknya: bonus sebagai peraih perak Olimpiade 2012.

Citra dipastikan meraih perak Olimpiade 2012 setelah Internatio­nal Olympic Committee/ Komite Olimpiade Internasio­nal (IOC) mengirim surat resmi pada 19 November 2020. Intinya, IOC mengonfirm­asi bahwa Citra resmi menempati peringkat kedua di kelas 53 kg atau naik dua peringkat.

Itu terjadi setelah peringkat pertama Zulfiya Chinshanlo dari Kazakhstan dan peringkat ketiga Cristina Iovu dari Moldova didiskuali­fikasi akibat kasus doping pada 2016.

Artinya, Citra berhak atas bonus Rp 400 juta dari pemerintah. Di Olimpiade 2012 itu, tradisi emas Indonesia dari bulu tangkis terhenti. Badminton yang sejak Olimpiade 1992 tak henti menyumbang­kan emas bahkan tak meraup satu medali pun ketika itu.

Justru angkat besilah yang mengharumk­an Merah Putih. Dua kolega Citra di sektor putra yang sama-sama dibina di Lampung, Triyatno (kelas 69 kilogram) dan Eko Yuli Irawan (62 kilogram), masing-masing meraih perak dan perunggu.

Tak mudah bagi Citra bisa tampil di ajang empat tahunan tersebut. Masalah di leher yang dialami peraih perak SEA Games 2011 itu membuat pengurus PB berencana tak memberangk­atkannya.

Slot di kelas 53 kilogram akan diisi Sinta Darmariani. Namun, pelatihnya, Edi Santoso dan Imron Rosadi, tetap ingin Citra menjadi wakil Indonesia. Sebab, secara total angkatanny­a lebih baik daripada Sinta.

Akhirnya dua-duanya diberangka­tkan. Jalan tengahnya, sesampai di London, keduanya dites dengan didampingi tim dokter. ’’Pas dites, saya bisa angkat maksimal,’’ kenangnya.

Karena lebih unggul, Citra kemudian diputuskan jadi wakil dan didaftarka­n. ’’Sinta nangis di kamar mandi. Akhirnya saya temui, saya bilang, maaf Sinta akhirnya saya yang kepilih,” ujarnya.

Sinta akhirnya legawa. ’’Kata Sinta, kamu buat yang terbaik saja dan tunjukin ke mereka semua,” lanjutnya.

Pada 2016 kabar bahwa emas Chinshanlo dan perak Iovu dicabut IOC resmi tersiar. Sejak saat itu pula, perjuangan PNS di Dispora Pemerintah Provinsi Lampung itu untuk mendapatka­n haknya dimulai. Tapi, sungguh berliku. Seperti pada 2018. Saat itu, sudah ada pengaduan dan laporan ke berbagai instansi terkait.

Tapi, dia menyebut sama sekali tidak ada proses. ’’Dari Kementeria­n Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) saat itu ada kontak, tapi mereka tidak punya wewenang. Harus melalui PB PABBSI (induk olahraga angkat besi). Akhirnya menunggu sampai tidak tahu bagaimana ceritanya,’’ katanya.

Padahal, kesulitan hidup yang dia hadapi makin mendesak dari hari ke hari. Sang suami yang sempat membawanya ke Turki kena PHK (pemutusan hubungan kerja) pada 2017. ’’Saya putuskan pulang 2018 karena sudah tidak ada pemasukan. Akhirnya PNS ini, tapi gajinya seberapa sih, Rp 1 juta untuk dua anak,’’ bebernya.

Pada saat yang sama, cedera semakin menyiksany­a. Cedera itu juga yang membuat penampilan terakhirny­a di Asian

Games 2014 di Incheon, Korea Selatan, tak maksimal. Bahkan bisa dibilang ketika itu, dia dipaksakan tampil.

Tapi, hingga saat itu pun, dia belum tahu bahwa tulang lumbalnya patah. Sebab, selama bertahun-tahun, dia tidak pernah diperiksa secara detail.

Setelah 2014, kondisinya semakin parah dan akhirnya dia memutuskan memeriksak­an kondisinya dengan menggunaka­n uang pribadi.

Dokter yang memeriksan­ya pun geleng-geleng kepala melihat kondisinya yang sudah memprihati­nkan. ’’Tulang sudah kayak gini nduk, kamu masih bisa ngangkat,’’ katanya menirukan dokter.

Dari MRI, Citra melihat sendiri tulangnya benar-benar keluar dan patah, bukan sekadar keseleo. ’’Patah dua dan penyempita­n sarafnya itu buat saya sakit,’’ ujarnya.

Itulah yang membuat tulangtula­ngnya ngilu tiap kali cuaca agak dingin, seperti menjelang, selama, atau sesudah hujan. Itu juga yang membuatnya harus melilitkan bed cover ke kaki untuk meredam dingin agar bisa tidur.

’’Sampai begitunya pengorbana­n saya untuk membela nama negara dan itu tidak ada pengobatan bertahun-tahun, lho,’’ ucapnya dengan suara agak terisak.

Bahkan, kepada media pun, tak pernah rasa sakit itu dia ceritakan. Dia tanggung sendiri pada saat semua orang menuntutny­a berprestas­i tinggi.

’’Kalau sekarang saya ngomong, itu karena capek. Demi Indonesia, saya siksa diri sendiri,’’ kata Citra, lalu menangis.

Fokus ke angkat besi juga membuatnya kehilangan pendidikan. Dia hanya lulus SMA lewat paket C. Yang juga berlalu tanpa bisa dia nikmati adalah masa kecil dan remaja. Waktunya habis hanya untuk latihan dan kompetisi.

Pedihnya, giliran dia menuntut haknya berupa bonus sebagai perebut perak Olimpiade, hanya dijawab tunggu dan tunggu. Padahal, kesulitan hidup tak bisa menunggu lebih lama.

Keadaan semakin sulit akibat deraan pandemi Covid-19. Karena itu, akhirnya 4 November lalu, ditemani suami dan kedua anaknya, dia nekat pergi ke Jakarta. Mendatangi kantor PB PABBSI.

Tapi, tak ada jawaban memuaskan. Pengurus masih menunggu pernyataan resmi. Karena sudah kepalang tanggung di Jakarta, Citra bertanya kepada beberapa kawan mengenai proses pencairan bonus.

Dia kemudian diarahkan ke kantor KOI (Komite Olimpiade Indonesia). Baru di kantor yang berada di FX Senayan itulah, Citra dibikinkan surat bahwa dia naik ke peringkat kedua. Pihak KOI sendiri menyatakan tidak mengetahui permasalah­an tersebut karena tidak ada laporan.

’’Saya bingung kan. Katanya PB sudah melayangka­n surat. Surat apa?’’ keluhnya.

Apa yang menjadi haknya, bonus Rp 400 juta itu akhirnya diserahkan Menpora Zainudin Amali di Wisma Kemenpora Senin pekan lalu. ’’Ini patut menjadi pelajaran bagi semua atlet dan pelatih agar terus jujur dan tidak main-main dengan doping,” kata Zainudin.

Ngilu bawaan cedera mungkin masih akan dirasakann­ya. Menebak turunnya hujan juga mungkin masih bisa dilakukann­ya. Tapi, Citra bersyukur sekali perjuangan panjangnya berbuah.

Sebagian dari uang yang bertahun-tahun dia tunggu itu akan digunakan untuk melunasi utang pengobatan­nya. Selain itu, Citra yang selama ini numpang di kediaman orang tua berharap bisa membeli rumah. ’’Uang Rp 400 juta dulu pada 2012 itu besar banget. Untuk tahun sekarang, tahu sendiri rumah sudah mahal ya. Tapi, tetap bersyukur banget,’’ katanya.

 ?? HUMAS KEMENPORA ?? PANTANG MENYERAH: Citra Febrianti dan Zainuddin Amali setelah penyerahan bonus di Wisma Kemenpora, Jakarta (21/12).
HUMAS KEMENPORA PANTANG MENYERAH: Citra Febrianti dan Zainuddin Amali setelah penyerahan bonus di Wisma Kemenpora, Jakarta (21/12).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia