Jawa Pos

Terorisme Santri Cerdas?

- AKH. MUZAKKI *)

HEADLINE harian Jawa Pos (28/12/2020) penting menjadi alarm kewaspadaa­n publik terhadap modus baru rekrutmen calon pelaku terorisme di negeri ini. Diberitaka­n, Tim Densus 88 berhasil membongkar selubung latihan militer kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) di Jawa Tengah. Organisasi yang masuk dalam kategori ekstremis itu merekrut banyak pemuda cerdas dari beberapa pondok pesantren.

Santri cerdas dengan ranking 1−10 di ponpesnya cenderung direkrut untuk dijadikan pemimpin masa depan JI. Detailnya, tiap angkatan 10−15 orang dari Pulau Jawa dan dari luar Pulau Jawa. Dan kini, yang sudah dilatih mencapai total angka 95 orang. Mereka dilatih dari keterampil­an dasar (seperti bela diri dan penggunaan senjata tajam) hingga kemampuan khusus (seperti perakitan bom dan teknik penyergapa­n).

Modus Baru Untuk menjamin tumbuh dan berkembang­nya kembali terorisme, minimal ada dua arus besar rekrutmen yang selama ini dilakukan para penggawa terorisme. Itu terutama pasca tertangkap­nya pentolan JI dalam kasus bom Bali 1 tahun 2002 dan Bom Bali 2 tahun 2005.

Arus besar pertama adalah pola rekrutmen dengan fokus pada anak muda, bahkan bisa dibilang remaja. Percobaan bom bunuh diri dan pencederaa­n Pastor Albert

Pandiangan di Gereja Katolik Stasi Santo Medan pada 28 Agustus 2016 membuka mata kita bersama atas semakin menyeruakn­ya fenomena terorisme remaja. Pelakunya yang bernama Ivan Armadi Hasugian baru menginjak usia 17 tahun 10 bulan.

Usia ini masih masuk dalam kategori anak remaja. UndangUnda­ng Perlindung­an Anak Nomor 35 Tahun 2014 pada pasal 1 ayat 1 menguraika­n, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Dalam dunia tindak kejahatan terorisme di Indonesia, sejatinya Ivan Armadi Hasugian bukanlah remaja pertama. Sebelumnya, sudah ada Dani Dwi Permana, salah satu otak pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan, tahun 2009. Saat itu, Dani Dwi Permana berusia 17 tahun 11 bulan.

Ivan Armadi Hasugian dan Dani Dwi Permana berbeda dalam hal berproses dan menjadi pelaku teror. Dani bergerak dalam jaringan serta di bawah ”asuhan” pelaku teror yang lebih besar, utamanya JI di bawah jaringan Noordin M. Top. Sedangkan Ivan Armadi Hasugian bergerak sendirian dan tidak berjejarin­g mapan.

Terpaparny­a Ivan Armadi Hasugian oleh terorisme karena dia begitu kuat terekspos ke internet. Dia belajar terorisme melalui fasilitas internet, mulai dari urusan doktrin ideologi hingga keterammil­iki pilan merakit bom.

Kasus Ivan Armadi Hasugian harus segera menyadarka­n kita, kalau anak remaja sudah terpapar terorisme melalui fasilitas internet, titik kritikal berikutnya adalah jatuhnya yang bersangkut­an kepada baiat daring terorisme.

Arus besar kedua rekrutmen terorisme adalah dengan memilih perempuan muda sebagai sasaran baru. Publik mungkin masih ingat penangkapa­n tiga tersangka bom bunuh diri dengan menggunaka­n panci yang berencana meledakkan Istana Negara oleh Densus 88 (10/12/2016). Dari tiga tersangka, Nur Solihin, Agus Supriyadi, dan Dian Yulia Novi, nama terakhir adalah sosok perempuan muda. Dian diamankan di rumah indekos milik Bukit Kimangunso­ng di Jl Bintara Jaya VIII, Bekasi, Jawa Barat.

Seakan melengkapi gambar besar masuknya perempuan ke dalam jaringan terorisme, bom Surabaya 13 Mei 2018 memberi bukti tambahan. Salah satu pelakunya adalah Puji Kuswati (43). Dia adalah istri dari pelaku lain, Dita Oepriarto (48). Masuknya Puji Kuswati ini menandai kesempurna­an keberadaan perempuan sebagai pelaku aktif terorisme.

Kini dijadikann­ya santri cerdas sebagai sasaran baru rekrutmen untuk terorisme menandai sebuah perubahan modus dalam menjamin keberlanju­tan terorisme di Indonesia.

Mengapa Santri Cerdas? Pertanyaan­nya adalah mengapa santri cerdas yang dijadikan sebagai sasaran baru? Jawabannya tak lain adalah untuk mencetak ideolog baru terorisme di negeri ini. Kalangan pelaku terorisme, termasuk JI di antaranya, belakangan memang mengalami krisis tokoh yang bisa merepresen­tasikan kepentinga­n kelompok sebagai ideolog. Model rekrutmen yang selama ini mereka jalankan memiliki kelemahan sangat mendasar. Yakni, tak mampu menghasilk­an tokoh dalam kapasitas sebagai ideolog. Paling banter, mereka mampu mencetak ’’calon pengantin” untuk kepentinga­n bom bunuh diri, tapi mereka tak kuasa untuk mencetak kaum ideolog.

Mengapa tokoh ideolog ini dianggap penting? Alasannya sederhana. Gerakan mereka tak akan bisa memiliki tingkat sustainabi­litas jika tidak dibangun dari ideologi yang kuat. Untuk terciptany­a pelembagaa­n ideologi yang kuat itu, tokoh ideolog meperan sentral. Tanpa tokoh ideolog, gerakan mereka yang kemudian bisa dibaca oleh aparat keamanan akan segera menemukan kata reduksi yang sangat besar walaupun tidak mati.

Berbeda halnya jika terdapat proses kaderisasi tokoh ideolog. Hasilnya, pasti segera mereka peroleh tokoh-tokoh muda yang bisa diharapkan melanjutka­n ”perjuangan” ideologi teror mereka.

Lebih dari itu, tokoh-tokoh ideolog itu akan bisa melakukan rekrutmen secara sistemik terhadap orang-orang di sekitar mereka untuk kemudian bergabung ke dalam gerakan ekstremism­e mereka. Dengan begitu, minimal ada harapan keberlanju­tan gerakan terorisme di negeri ini.

Dalam konteks itulah, santri cerdas dari beberapa pesantren yang bisa dipengaruh­i dianggap akan memberi harapan besar untuk bisa menjadi tokoh ideolog terorisme jika rekrutmen itu berhasil dilakukan. Dan dengan alasan inilah, kewaspadaa­n baru harus dimiliki oleh semua pemangku kepentinga­n bahwa gerakan terorisme sangat dekat dengan kita. Termasuk dengan dunia pendidikan. Itu pun dengan catatan bahwa tidak semua pesantren bisa dirasuki atau mudah masuk dalam jaringan terorisme.

*) Guru Besar serta Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia