Era Double Disruption
Pada 15 September 1835, kapal ekspedisi HMS Beagle berlabuh di Kepulauan Galapagos di Ekuador. Salah satu yang menarik perhatian seorang peneliti muda adalah burung finch di kepulauan tersebut.
kemudian menemukan fakta bahwa bentuk paruh burung finch berbeda-beda bergantung wilayah tempat tinggalnya. Ternyata perbedaan paruh tersebut merupakan bentuk adaptasi terhadap makanan bijibijian yang berbeda-beda di setiap wilayah.
Fakta tentang paruh burung finch ini merupakan salah satu temuan penting yang menjadi basis penyusunan teori evolusi oleh peneliti muda tersebut. Namanya, Charles Darwin. Salah satu konsepnya yang kemudian sangat terkenal adalah survival of the fittest.
Makhluk hidup yang survive bukanlah yang terkuat atau tercepat, melainkan yang paling bisa beradaptasi dengan lingkungan.
Seperti halnya burung finch di Galapagos, kemampuan adaptif sangat kita butuhkan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat perilaku manusia maupun lingkungan berubah. Dinamika perubahan itu makin cepat ketika teknologi informasi merasuk dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Kita pun masuk pada era disrupsi.
Ketika sebagian di antara kita masih mencoba beradaptasi dengan perubahan akibat teknologi, kita dihadapkan lagi pada perubahan besar yang dipicu pandemi Covid-19. Aktivitas bisnis, sekolah, maupun sosial berubah semua. Kini kita menghadapi
double disruption. Ada guyonan yang sering muncul dalam pembicaraan para eksekutif global. Ternyata yang paling berhasil mendorong transformasi digital dalam perusahaan bukanlah CEO (chief executive officer)
ataupun CTO (chief technology officer), melainkan si Covid-19.
Pada era Double Disruption, kemampuan adaptif dan eksploratif makin urgen untuk dimiliki siapa saja. Entah itu pemimpin bisnis, pengambil kebijakan di pemerintah, bahkan orang tua yang harus mendampingi anaknya belajar secara online. Karena itu, kita perlu mengingat nasihat Peter F. Drucker. Pakar manajemen pada era Industri 3.0 yang sebagian pandangannya masih relevan hari ini. Dia pernah berkata seperti ini, ”The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence; it is to act with yesterday’s logic.”
Saya sepakat. Pada era Double Disruption ini, kita tidak bisa lagi berpikir dan bekerja dengan cara-cara lama. Ini persoalan kita, orang sekolahan yang dibentuk dengan alam berpikir yang terstruktur baik, tetapi punya kecenderungan mengulangi atau mengimitasi yang sudah ada.
Lantas, perubahan besar apa yang harus dimitigasi dan bagaimana menyikapinya? Karena itulah, saya berkali-kali menekankan pentingnya melakukan eksplorasi. Bukan eksploitasi atau imitasi, bahkan memperbaiki yang sudah ada dari kemarin saja tidak lagi cukup. Paradox Society
Saat bicara pandemi Covid-19, banyak orang yang menanti-nanti titik
cutoff-nya. Kita bersyukur, instrumen cutoff itu sudah ditemukan, yakni vaksin yang tersedia pada awal 2021 ini. Ketika vaksinasi dijalankan, dampak pandemi kita harapkan atau asumsikan bisa direduksi secara signifikan. Tapi, ini butuh waktu.
Vaksinasi tahap pertama di Indonesia akan dilakukan awal 2021 untuk para petugas kesehatan. Setelah itu, bergiliran untuk petugas publik, lansia, kelompok masyarakat rentan, dan masyarakat lainnya. Vaksinasi Covid-19 ini ditargetkan selesai pada Maret 2022.
Artinya, sepanjang 2021, kita masih harus hidup berdampingan dengan Covid-19. Bukankah otak manusia juga terdiri atas miliaran sel bakteri yang hidup berkoloni? Jadi, maksud saya, ini bukan hal yang baru bagi kita bahwa kenyataannya dituntut hidup berdampingan dengan sel-sel asing baru itu. Apa boleh buat.
Belum lagi, pada akhir 2020 mulai muncul variasi mutasi virus seperti di Inggris yang daya persebarannya 70 persen lebih tinggi daripada virus yang ada sebelumnya. Ini kembali memantik uncertainty pada era pandemi. Karena itu, kuncinya adalah strategi adaptasi.
Bagaimanapun, roda perekonomian harus kembali berputar. Pelayanan publik juga harus dijalankan, tetapi harus dengan cara-cara baru. Bahkan harus bisa melihat celah peluang pada masa pandemi. Ini tidak hanya dilakukan pelaku usaha, tapi juga negara. Mereka berlomba-lomba mencari celah opportunity pada masa pandemi. Ada celah sementara untuk menyambung hidup, tapi bisa juga celah yang agak permanen.
Misalnya, negara tetangga kita, Singapura, yang melihat celah sementara berupa membangun fasilitas storage untuk hub distribusi vaksin di Asia Tenggara.
Pelaku usaha maupun pemerintah daerah harus melakukan hal yang sama. Harus bisa menemukan
opportunity penyambung hidup di tengah pandemi supaya recovery berjalan lebih cepat. Atau celah permanen seperti di sektor pariwisata. Kita tahu sektor itu paling telak dihantam badai pandemi. Tapi, tetap ada opportunity. Jawa Timur maupun daerah lain yang memiliki potensi industri pariwisata harus terus beradaptasi.
Mari kita renungkan bahwa sebagai homo Sapiens, manusia adalah makhluk sosial, yang bergairah untuk bersosialisasi. Itu sulit dibendung. Leisure economy ibarat selimut hangat yang enggan dilepas kelas menengah yang terus tumbuh. Karena itulah, kebijakan lockdown akan sulit dijalankan secara efektif. Bahkan, kini ada istilah pandemic fatigue atau lockdown fatigue.
Lelah di tempat.
Namun, di sisi lain, ketakutan itu tetap ada. Kini, ketika berani pergi, kita juga takut berkerumun, takut berada di ruangan tertutup, takut makan di resto, yang kursinya berdekatan dan sebagainya. Apalagi, vaksinasi sebagai
cutoff pandemi belum bisa menjangkau mayoritas masyarakat dalam waktu dekat. Ini membuat kita hidup di tengah paradox society.
Karena itu, industri yang kegiatan operasionalnya melibatkan banyak orang seperti pariwisata, event, dan sebagainya tetap tidak akan hilang. Syaratnya, harus dijalankan dengan cara-cara baru. Misalnya, mengalihkan aktivitas
indoor ke outdoor, inovasi promosi di weekdays agar tidak terjadi penumpukan saat weekend, atau optimalisasi channel digital. Menurut saya, pariwisata cara baru ini justru akan menjadi pengungkit ekonomi baru. Tapi, sekali lagi, dengan cara-cara baru. Ini opportunity yang harus dieksplorasi daerah dengan potensi wisata seperti Jawa Timur.
The Power of Ecosystem
Sekali lagi, segala caranya saya pastikan sudah berubah. Semoga saja Anda bisa memahami perubahan ini dan saya akan jelaskan secara mudah apa yang saya lihat sebagai fenomena hidup belakangan ini terkait dengan munculnya era Double Disruption ini.
Anda tahu, sejak pandemi datang, siapa pun Anda, entah itu aparat pemerintah, pelaku usaha, ataupun masyarakat, tentu sudah melengkapi investasi baru terkait dengan teknologi digital yang memberi keleluasaan kerja dari ruang dan waktu. Kami menyebut backbonenya sebagai infrastructure
readiness yang meliputi jaringan fiber optik sampai ke terminal-terminal dan pendukungnya, mulai AI,
super apps, big data, IoT, akses internet, lalu fasilitas video conference technology, laptop, tablet, sampai handphone dan mikrofon
untuk aktivitas kerja atau sekolah online. Investasi-ivestasi
intangibles lain juga dilakukan masyarakat dan kaum muda dalam bentuk learning new skills, khususnya yang terkait dengan digital.
Salah satu insight menarik dari laporan e-Conomy SEA 2020, di Indonesia, 56 persen komposisi penambahan konsumen digital berasal dari daerah nonmetro (daerah dan desa). Pada era Double Disruption, gelombang digitalisasi merambat kian cepat ke berbagai daerah dan desa. Artinya, makin banyak yang terkoneksi dengan ekosistem digital.
Opportunity pun terbuka lebar bagi sektor-sektor yang sudah mengadopsi cara kerja digital. Misalnya, kita bisa melihat komposisi konsumen digital baru di wilayah ASEAN, persentase tertingginya ada di sektor pendidikan (55 persen), belanja barang (47 persen),
lending atau pinjaman (44 persen), video streaming (38 persen), pengantaran makanan (37 persen), elektronik (34 persen), musik (34 persen), alat kecantikan (32 persen), dan pakaian (30 persen).
Ibarat arus sungai, ekosistem digital memungkinkan Anda berlayar dalam arus yang lebih deras di bagian tengah sungai. Memang lebih menantang, tapi
opportunity untuk berkembang menjadi lebih besar. Tanpa masuk ekosistem digital, Anda ibarat berada di arus pinggiran sungai. Airnya memang lebih tenang, tapi jalannya akan lambat dan ada risiko tersangkut ranting-ranting comfort
zone yang membuat Anda tak bisa bergerak maju, lalu lama-lama tenggelam.
Karena itu, perlu strategi untuk masuk dalam ekosistem digital. Sebab, pada era Double Disruption ini, kalkulasi bisnis berubah seiring perubahan skala ekonomi. Hotel, kantor, restoran, moda transportasi, kampus, termasuk pabrik, tak bisa lagi menggunakan skala ekonomi yang sama. Sebab, dengan space yang sama, kapasitas dibatasi, tidak lagi bisa full sebagai bagian dari aturan jaga jarak. Pelaku usaha harus menghadapi average out.
Di sisi lain, harga jual juga tertekan karena daya beli masyarakat turun. Pelaku usaha menghadapi dua tekanan sekaligus, yakni kapasitas yang turun dan harga yang turun. Lantas, bagaimana mencapai skala keekonomian? Ini fenomena baru di era 4.0, yakni tak ada lagi yang bekerja dalam pola pikir
economies of scale seperti yang kita pelajari di kampus dulu sebagai basis teori ekonomi normal.
Nah, apa yang dilakukan? Ini soal value creation baru yang tentu saja bisa dinaikkan paradigma digital yang tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu. Inilah ekosistem digital. Misalnya, restoran yang terikat oleh
space & time pada masa lalu yang sebelumnya bisa melayani 100 pembeli kini ruang dalam era pandemi secara otomatis menjadi hanya tinggal 50 pembeli. Sebanyak 50 pembeli lainnya harus dicari melalui ekosistem digital. Inilah keuntungan digitalisasi yang hanya bisa dilakukan melalui metode orkestrasi, bukan traditional marketing atau manajemen.
Tengok saja upaya para pelaku usaha yang mengoptimalkan resources dan market-nya melalui berbagai channel digital seperti GoFood, Grab Food, maupun promosi lewat jejaring media sosial.
Ini secara otomatis menjawab hukum disrupsi teknologi yang selalu memurahkan dan memudahkan sehingga kesannya harga jual turun. Faktanya, cost juga turun.
Dalam ekosistem digital, orkestrasi yang dilakukan sebagian besar start-up memang mengubah model bisnis dengan mengedepankan biaya operasional, bukan biaya modal yang menjadi ciri Industri 3.0.
Bahkan, belakangan resto-resto besar bergerak lebih agresif dengan inovasi dalam skema ekosistem. Sebut saja munculnya cloud
kitchen untuk mempercepat layanan proses produksi dan titik pengantaran makanan agar bisa lebih dekat dengan konsumen.
Itu hanya satu contoh kecil strategi digital yang bisa dijalankan pelaku usaha. Setiap sektor tentu memiliki kekhasan tersendiri dan perlu strategi yang dirancang dengan tepat. Misalnya, untuk skala korporasi, perusahaan tidak perlu mengembangkan platform big data analytic sendiri, tapi bisa masuk dalam ekosistem yang sudah ada dari BUMN telekomunikasi seperti big
box yang disediakan Telkom. Intinya adalah orkestrasi dengan mengoptimalkan potensi di ekosistem digital.
5G dan Cobot
Bagaimana dengan industri manufaktur? Saat ini penggunaan mesin produksi sudah cukup masif. Tapi, saat bicara digitalisasi, kita harus melihat momentum. Salah satu milestone yang akan menjadi lompatan dalam proses digitalisasi adalah teknologi 5G. Dengan teknologi ini, proses transfer data jauh lebih cepat sehingga pemanfaatan teknologi seperti artificial
intelligence maupun big data lebih optimal. Desember kemarin, pemerintah melakukan lelang pita frekuensi untuk menggelar jaringan 5G di Indonesia. Begitu nanti jaringan 5G digunakan, digitalisasi akan bergerak dan langsung melesat. Aplikasi teknologinya kini sudah berderet-deret menunggu jadwal luncur dan harganya diperkirakan terus bergerak turun meski investasi awalnya masih terkesan tinggi.
Estimasinya, dalam periode 1–2 tahun ke depan, pemanfaatan 5G makin masif.
Salah satu industri yang akan sangat bisa mengoptimalkan pemanfaatan 5G adalah manufaktur. Instrumennya adalah cobot atau collaborative robot. Kehadiran robot yang diperkuat teknologi artificial intelligence ini mungkin bisa menggantikan tenaga manusia dalam jumlah cukup signifikan untuk menjawab tantangan
“lockdown” akibat pandemi. Namun, inti pengoperasian 5G terletak pada kemampuan digerakkan dari jarak jauh.
Jadi, selain transformasi digital, teknologi ini jelas merupakan bagian dari mitigasi pandemi.
Baru-baru ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pandemi Covid-19 adalah wake-up
call. Sebab, bumi makin rapuh dan manusia hidup dalam alam globalisasi yang kian kompleks sehingga ancaman kemunculan virus bisa terus berlanjut.
Para pelaku usaha di seluruh dunia pasti tengah mengambil pelajaran. Ketika terjadi pandemi, pabrikpabrik terpaksa berhenti beroperasi untuk mencegah persebaran virus pada pekerja dan masyarakat luas. Konsekuensinya, kapasitas produksi dikurangi karena pekerja harus jaga jarak.
Dengan robot, hal itu bisa dihindari. Robot bisa bekerja berdekatan tanpa khawatir terjangkit virus dan bisa bekerja tanpa batasan waktu seperti manusia. Pekerja yang menjadi operator bisa bekerja di ruangan terpisah sehingga aman dari persebaran virus. Semua hal ini dimungkinkan terjadi lebih cepat dengan hadirnya jaringan 5G.
Proses transisi dalam optimalisasi pemanfaatan jaringan 5G ini mungkin butuh waktu hanya 1 atau 2 tahun. Artinya, inilah waktu yang tersedia untuk melakukan persiapan. Pelaku usaha, tepatnya pemilik pabrik, kini sudah harus memiliki strategi transformasi digital yang solid. Pekerja atau calon pekerja harus meng
upgrade kemampuan di bidang digital. Demikian pula pemerintah pusat maupun daerah yang harus memitigasi potensi lapangan kerja saat
cobot mulai menggantikan peran manusia.
Akhirnya, saya ucapkan selamat tahun baru. Selamat berlayar pada era Double Disruption. Semoga 2021 menjadi tahun yang lebih baik untuk kita semua. (*)