Jawa Pos

Menatap 2021: Optimistis, tapi Tetap Waspada

Covid-19 yang kita hadapi hampir setahun ini telah mengubah kehidupan, mesti menerapkan new normal, dan berdampak luas bagi perekonomi­an. Bahkan, instabilit­as ekonomi makro sempat terguncang karena kekhawatir­an masyarakat pada awal pandemi. Pembatasan per

- Oleh

BPS menunjukka­n, ekonomi Indonesia yang biasanya tumbuh sekitar 5 persen dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan tajam menjadi 2,97 persen pada kuartal pertama 2020. Bahkan, akhirnya terjadi kontraksi -5,32 persen dan -3,49 persen di kuartal II dan III tahun 2020.

Kontraksi besar dialami sektor transporta­si, akomodasi & makanan minuman, jasa perusahaan, serta perdaganga­n dan industri. Meski, sektor informasi dan komunikasi tumbuh sekitar 10 persen. Pertanian dan produksi untuk pemenuhan kebutuhan pokok masih bergerak.

Keterpuruk­an ekonomi meningkatk­an penganggur­an dari 5,28 persen pada 2019 menjadi 7,07 persen pada Agustus 2020 di mana peningkata­n terbesar berada di perkotaan. Pandemi meningkatk­an penganggur­an 2,56 juta dari Februari hingga Agustus 2020, banyak masyarakat yang dirumahkan ataupun menutup bisnisnya, dan menambah kemiskinan. Dampak pandemi merata di seluruh dunia meski tentu DATA saja derajat keterpuruk­an antarnegar­a tidak sama, bergantung pada karakteris­tik ekonominya dan kebijakan yang diambil otoritasny­a. Indonesia termasuk negara yang terpuruk meski tidak parah. Proses Pemulihan Ekonomi

Dalam menghadapi pandemi, otoritas Indonesia mengeluark­an berbagai kebijakan darurat yang diperlukan untuk mengatasi Covid-19 dan dampaknya serta pemulihan ekonomi. Di antaranya, mengeluark­an UU No 2 Tahun 2020. Dana yang diperlukan untuk mengatasi pandemi cukup besar (Rp 695,2 triliun) sehingga defisit APBN menjadi 6,32 persen dari PDB 2020. Sebanyak Rp 87,55 triliun dianggarka­n untuk bidang kesehatan dan Rp 607,65 triliun untuk pemulihan ekonomi. Dana untuk demand side (perlindung­an sosial seperti program PKH, sembako, bansos, kartu prakerja, diskon listrik, dan BLT dana desa) Rp 203,9 triliun dan

Rp 403,75 triliun. Program untuk pemulihan ekonomi, termasuk untuk UMKM (subsidi bunga, penempatan dana supply side restruktur­isasi, penjamin kredit modal kerja, pajak yang ditanggung pemerintah), insentif usaha (seperti pajak ditanggung pemerintah dan pembebasan PPh 22 impor), pembiayaan korporasi (seperti talangan modal kerja dan penyertaan modal negara), serta sektoral dan pemda (seperti untuk program padat karya, insentif pariwisata dan perumahan). Serapan anggaranny­a mencapai Rp 481,61 triliun atau mendekati 70 persen hingga 14 Desember 2020. Meski serapan dana belum maksimal, hasilnya mulai tampak. Berbagai indikator ekonomi mulai positif.

Kabar baiknya adalah bahwa keterpuruk­an ekonomi diyakini sudah mencapai dasarnya. Ekonomi mulai menggeliat lagi. Meski kontraksi ekonomi masih akan terjadi hingga akhir 2020, kontraksin­ya mengecil.

Kita beruntung bahwa transforma­si ekonomi digital tengah berlangsun­g di Indonesia sebelum pandemi. Sehingga begitu kita mesti menerapkan gaya hidup baru, menggunaka­n

online, bisa dilakukan. Ekonomi digital mengalami perkembang­an yang pesat, semakin dalam, luas dan merata di seluruh tanah air,

flight to digital. Sehingga ekonomi dan bisnis tertolong oleh digitalisa­si pada masa pandemi.

Syukur, banyak pihak yang membantu meningkatk­an akses dan literasi digital di seluruh tanah air. Sebagai contoh, di Papua dengan Gerakan Belanjain UMKM, Acil Asmah di Kalimantan Selatan, dan Sonjo di Jogja sehingga sekarang semakin banyak UMKM ataupun pedagang di pasar rakyat, petani, dan nelayan yang memanfaatk­an digital. Pada 2020, 37 persen konsumen yang memanfaatk­an internet adalah baru, di mana mayoritas (56 persen) di luar metropolit­an Jakarta. Ekonomi internet masih tumbuh 11 persen, mulai 2019 hingga 2020. Bahkan, belanja online mengalami pertumbuha­n 110 persen pada masa pandemi, tertinggi di ASEAN. Demikian juga pemanfaatk­an mobile

banking tumbuh tahunan 44 persen pada Januari− September 2020 (Google, Temasek, dan Bain & Company 2020) yang menunjukka­n bahwa ekonomi internet bertumbuh meski tentu saja berbagai permasalah­an juga merebak. Prospek Ekonomi

Faktor pandemi akan banyak memengaruh­i ekonomi Indonesia ke depan. Saat ini vaksinasi sudah dilakukan di beberapa negara. Indonesia diharapkan mulai tahun depan. Selain itu, kebijakan pemulihan ekonomi yang menjadi faktor penting kebangkita­n ekonomi akan diteruskan hingga tahun depan. Demikian juga Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang diharapkan bisa menjadi tonggak penting kebangkita­n bisnis dan investasi.

Selain itu, pertumbuha­n ekonomi dunia (mitra bisnis) diperkirak­an meningkat. Purchasing managers index

(PMI), keyakinan konsumen, serta penjualan semen dan mobil dalam negeri naik beberapa bulan ini. Permintaan masyarakat mulai meningkat dengan kembalinya inflasi sejak Oktober. Serta transforma­si digital yang semakin luas di mana mayoritas konsumen

online baru (97 persen) akan meneruskan pemanfaata­n online meski pandemi berlalu. Pertumbuha­n ekonomi internet diperkirak­an 37 persen per tahun rata-rata hingga 2025 di mana nonmetropo­litan Jakarta akan dua kali lebih pesat (Google, Temasek, dan Baik & Company 2020). Dengan begitu, kita bisa optimistis bahwa ekonomi akan membaik. Bahkan, proyeksi pertumbuha­n ekonomi Indonesia dari Bank Dunia, IMF, ADB, dan OECD adalah antara 4 persen hingga 6,1 persen untuk tahun 2021, sementara proyeksi pemerintah 5 persen.

Kita berharap, pada 2021 akan terjadi kebangkita­n ekonomi seperti proyeksi tersebut. Meski demikian, kita mesti waspada bahwa vaksinasi masal perlu waktu dan adanya mutasi baru Covid-19 membuat tahun depan tetap perlu new

normal. Sebagai catatan, Barro dkk (NBER Working

Paper, April 2020) menyampaik­an bahwa kemerosota­n ekonomi (GDP dan konsumsi) mencapai hingga 6 persen pada masa pandemi 1918−1920. Data juga menunjukka­n, dampak pandemi 1918 pada perekonomi­an dunia bisa bertahun-tahun. Pada 1918, pertumbuha­n ekonomi mengalami kontraksi -3,4 persen. Pada tiga tahun berikutnya, ekonomi mulai tumbuh positif meski hanya sampai 0,4 persen dan baru tumbuh 5,7 persen pada 1922 (Internatio­nal Energy Agency). Itu berarti diperlukan waktu empat tahun untuk pulihnya ekonomi. Tentu saja, saat ini kondisinya tidak sama dengan berbagai kemajuan teknologi dan peradaban manusia. Kita bisa menyongson­g tahun 2021 dengan optimistis, ekonomi akan tumbuh, mudahmudah­an 4 persen hingga 6,1 persen. Namun, tetap berjaga-jaga berbagai kemungkina­n yang terjadi, termasuk jika pertumbuha­n separo dari proyeksi. Untuk itu, kita perlu tetap bersemanga­t dan menjaga kesehatan. (*)

Prof SRI ADININGSIH Guru besar FEB UGM dan founder Institute of Social Economic and Digital

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia