Jawa Pos

Manjurkah Mantra Vaksin dan Kabinet Baru?

Pandemi Covid-19 sepanjang 2020 memaksa target-target capaian ekonomi harus direvisi. Tantangan diprediksi belum usai pada tahun depan.

- BHIMA YUDHISTIRA Peneliti Indef Oleh

PEREKONOMI­AN global pada akhir 2020 menunjukka­n tanda yang membingung­kan. Pertumbuha­n industri di beberapa negara maju mulai tancap gas. Sebut saja Eropa dan AS setelah terpuruk pada dua kuartal sebelumnya. Vaksin Covid-19 meluncur dan resmi didistribu­sikan kepada publik, pertama di Inggris. Tapi, kekhawatir­an tidak juga berkurang. Pasalnya, gelombang kedua Covid-19 di negara-negara maju juga memaksa dilakukan pengetatan kembali. Pemerintah Kanada dengan tegas mengatakan tidak ada perayaan Natal tahun ini di tempat publik. Baru ada kabar positif soal vaksin, muncul kabar lain lagi, yakni muncul varian baru dari virus korona yang menyeruak di benua Eropa.

Kebingunga­n masal juga menghingga­pi Indonesia. Pemerintah dengan tergesages­a memotong cuti akhir tahun dan menerapkan kebijakan rapid tes antigen, tak terkecuali pemerintah daerah sibuk memperketa­t protokol kesehatan. Pukulan demi pukulan karena maju mundur kebijakan di bidang kesehatan seakan tidak memberi kesempatan bagi pelaku industri pariwisata untuk bangkit. Akibat kebijakan yang berubah pada libur panjang, pelaku usaha perhotelan menelan pil pahit, cancelatio­n atau pembatalan pemesanan kamar tak terhindark­an.

Vaksin yang diharapkan menjadi angin segar dari pemulihan ekonomi nampaknya masih jauh dari kata ideal. Biaya distribusi vaksin dan kesiapan anggaran menjadi tantangan utama pada tahun 2021. Berdasarka­n estimasi kasar, diperlukan setidaknya Rp 75 triliun-Rp 100 triliun untuk mencapai kekebalan 70 persen jumlah penduduk dengan asumsi vaksin digratiska­n. Vaksin bukan sekadar siap diproduksi atau tidak, tapi distribusi vaksin dengan pengaturan suhu tertentu dan kondisi geografis Indonesia bisa dikatakan mahal. Janji vaksin gratis perlu di imbangi dengan kesiapan anggaran.

Berkaitan dengan anggaran vaksinasi, belanja APBN 2021 lebih menitikber­atkan pada pembanguna­n infrastruk­tur Rp 417 triliun atau naik 48 persen dibanding tahun 2020. Disusul belanja pertahanan dan keamanan. Sementara belanja kesehatan hanya dialokasik­an Rp169,7 triliun tahun 2021. Pemerintah kerap berdalih alokasi belanja kesehatan kalah dari infrastruk­tur karena sisa anggaran stimulus kesehatan tahun 2020 bisa ditambahka­n untuk tahun berikutnya. Justru ini yang menjadi pertanyaan, mengapa masih ada sisa anggaran kesehatan? Salah berhitung di awal atau sengaja tidak terserap optimal?

Dengan prioritas anggaran yang bergeser ke pembanguna­n infrastruk­tur, upaya untuk segera memulihkan ekonomi dengan narasi tunggal vaksinasi sangat kecil tercapai. Sebaiknya pemerintah segera mengganti narasi menjadi pembanguna­n infrastruk­tur untuk mencapai pertumbuha­n ekonomi yang tinggi. Logika ini lebih pas menggambar­kan situasi APBN 2021. Padahal faktanya, selama ada pembanguna­n infrastruk­tur, serapan tenaga kerja tidak naik signifikan. Biaya logistik hanya turun sedikit dari 24 persen menjadi 23,5 persen dan masalah utama dari daya tarik relokasi industri tidak terselesai­kan. Permasalah­an yang sifatnya fundamenta­l, yakni ICOR (Incrementa­l Capital Output Ratio) yang masih di kisaran 6-6,5 tidak segera diatasi. Infrastruk­tur hanya bagian kecil dari komponen yang bisa menurunkan ICOR, sementara ekonomi biaya tinggi juga bersumber dari korupsi, dan inefisiens­i bahan baku.

Dengan melihat kondisi ILUSTRASI: AGUNG KURNIAWAN/JAWA POS faktual yang terjadi pada akhir 2020 maka pertumbuha­n ekonomi masih akan rendah tahun berikutnya. Proyeksi pertumbuha­n ekonomi 2021 diperkirak­an hanya mencapai 2,5-3 persen. Pemulihan yang perlahan terjadi tidak lantas membuat ekonomi kembali ke level 5 persen. Setidaknya butuh waktu hingga awal 2022 untuk recovery total. Dalam terminolog­i kurva pemulihan ekonomi, model U-shaped lebih pas menggambar­kan kurva siklus ekonomi yang ekor pemulihann­ya bertahap. Indonesia jelas tidak akan mengalami kurva V.

Akhir 2020 juga ditutup dengan fenomena yang sebenarnya menarik perhatian, kocok ulang menteri. Menteri sosial dan Menteri KKP memang sedang kosong karena dua menteri sebelumnya ditangkap KPK. Menteri Kesehatan juga sebelumnya mendesak untuk diganti karena dianggap belum optimal dalam menangani pandemi Covid-19, meskipun pengganti yang dipilih adalah ex-bankir yang tidak memiliki latar belakang kesehatan. Pergantian menteri di akhir tahun ditanggapi dingin oleh pelaku usaha dan investor. Sebab, pos-pos menteri strategis bidang ekonomi seperti Menko Perekonomi­an dan Menteri Keuangan tidak berganti. Padahal dua pos ini yang dianggap perlu penyegaran dan efektivita­s kebijakan.

Mantra kabinet baru belum mampu memberi sinyal positif dalam jangka pendek. Pada saat pelantikan menteri dan wakil menteri, IHSG justru terkoreksi. Ekspektasi

reshuffle kabinet memang ditunggu, tapi akomodasi politik yang lebih ditonjolka­n pada akhirnya dibandingk­an penilaian kinerja. Masuknya Sandiaga Uno lebih ke faktor meredam oposisi di luar pemerintah­an. Bagi investor, ini bukan bentuk stabilitas politik melainkan dinilai sebagai demokrasi yang terbelakan­g. Justru ada kekhawatir­an saluran demokrasi oposisi yang makin menciut baik di parlemen maupun di luar parlemen akan menimbulka­n riak yang sulit dikendalik­an. Apakah masuknya Prabowo-Sandi memberi kepastian di 2021? Jawabannya belum tentu, karena investor negara maju justru mengharapk­an demokrasi yang sehat, yakni ada check and balances, bukan backward democracy (demokrasi terbelakan­g).

Di saat perhatian publik fokus pada kasus menteri sosial yang terindikas­i melakukan korupsi bansos, ekspektasi publik sempat dibingungk­an dengan penunjukan Risma, wali kota Surabaya aktif sekaligus Menteri Sosial. Belakangan, pemberhent­ian Risma dari jabatan wali kota telah diproses.

Konflik kepentinga­n merupakan awal dari gejala perilaku koruptif. Dus, untuk memulihkan kembali kepercayaa­n publik dan dunia usaha sebaiknya presiden lebih berhati-hati dalam menunjuk sosok pembantuny­a. Harapan saat ini adalah kabinet yang efektif, profesiona­l, dan bisa melakukan penanganan pandemi dengan serius sekaligus memulihkan ekonomi lebih cepat. Jadi, manjurkah mantra vaksin dan kabinet baru? Biar 2021 yang menjawabny­a. (*)

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia