Jawa Pos

Komorbid Itu Bernama Korupsi

- Oleh DADANG TRISASONGK­O *)

Refleksi

TAHUN 2019 dan 2020 adalah tahun yang penuh tantangan bagi upaya pemberanta­san korupsi. Akhir 2019 ditandai dengan legislasi yang dengan tergesa-gesa memasung independen­si KPK, sebuah badan antikorups­i kebanggaan Indonesia di mata dunia. Proses legislasi yang jauh dari nalar demokrasi.

Kekhawatir­an terhadap masa depan pemberanta­san korupsi merebak luas sejak saat itu. Dengan ketergesaa­n yang lebih tinggi, di tengah kecemasan publik menghadapi wabah korona, UndangUnda­ng Cipta Kerja disusun, diketok palu, dan diundangka­n dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Para pemimpin sibuk meyakinkan bahwa salah satu tujuan UndangUnda­ng Cipta Kerja ini adalah mencegah korupsi melalui pemangkasa­n sejumlah rantai perizinan usaha. Tapi, apa boleh buat, pernyataan itu tampaknya tak mampu menekan kekhawatir­an publik yang terus menebal sejak akhir 2019.

Pemerintah dan DPR betul-betul sangat kompak. Dengan dukungan 82 persen anggota DPR yang berasal dari anggota koalisi pendukung Kabinet Indonesia Maju, DPR dan pemerintah bisa menjadi mesin legislasi yang sangat produktif menghasilk­an undangunda­ng apa pun yang mendukung kepentinga­n mereka.

Sayangnya, kekompakan politik ini tidak dimanfaatk­an untuk memperkuat upaya pemberanta­san korupsi dan menegakkan demokrasi. Hingga 2019, kita masih merendam diri di kubangan korupsi politik dan korupsi penegakan hukum. Rerata pertumbuha­n skor corruption perception index Indonesia selama 2015–2019 hanya 1 poin. Artinya, upaya pemberanta­san korupsi kita jauh tertinggal dengan laju perkembang­an korupsi.

Skor kita pada 2019 (40) masih di bawah rerata skor negara-negara ASEAN (46) maupun rerata skor global (43). Dalam situasi seperti sekarang, ini jelas bukan pekerjaan rumah yang mudah. Korupsi politik yang menggurita tak mudah diurai. Arena korupsi politik di Indonesia, dalam situasi normal maupun di masa pandemi, ada di wilayah-wilayah yang paling rentan. Yaitu di dalam proses politik perencanaa­n dan penganggar­an pembanguna­n, pengadaan barang dan jasa pemerintah, perizinan usaha, serta perdaganga­n internasio­nal (ekspor dan impor).

Gejala-gejala korupsi politik tetap eksis pada 2020. Praktik kongkaliko­ng, mengumbar ketamakan pejabat publik dan pebisnis dalam urusan ekspor benur, menegaskan peran penting politisi, birokrat, dan pebisnis yang korup dalam setiap praktik korupsi politik.

Menjelang akhir 2020, kita dibuat terpana oleh praktik korupsi yang menunggang­i bencana pandemi Covid-19 untuk kepentinga­n pribadinya. Korupsi bantuan sosial di Kementeria­n Sosial, sebuah kementeria­n yang seharusnya menampilka­n wajah negara yang melindungi dan melayani rakyat. Korupsi ini bisa dibilang sebagai tindakan yang bengis dan keji. Bagaimana tidak jika yang dikorup adalah dana bantuan sosial bagi wong cilik yang terdampak pandemi Covid-19. Ini lebih jahat daripada penjarahan makanan orang miskin yang sedang kelaparan. Sungguh sebuah kejahatan luar biasa yang melampaui batas-batas perikemanu­siaan.

Melawan Pandemi dan Wabah Korupsi

Setelah hampir setahun berada dalam cengkerama­n pandemi Covid-19, kita makin menyadari bahwa korupsi adalah semacam penyakit penyerta (komorbid) dalam pandemi Covid-19. Kita sudah begitu lama mengidap korupsi yang sistemik, mengakar, dan melintasi cabang-cabang kekuasaan negara. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari kenormalan dalam proses pembuatan kebijakan publik dan melayani rakyat.

Korupsi menemukan ruang hidupnya dalam sifat kedarurata­n, ketergesaa­n, dan ketertutup­an upaya penanggula­ngan Covid-19 serta absennya kepedulian publik yang sibuk menghadapi bencana. Semakin tinggi risiko korupsi dalam penanggula­ngan Covid-19, akan semakin tinggi juga risiko terhadap jaminan keselamata­n rakyat.

Pandemi Covid-19 tak mengenal pergantian tahun. Pada 2021, penanggula­ngan pandemi Covid-19 akan tetap berlangsun­g. Demikian juga dengan risiko korupsi yang akan terus menyertain­ya jika tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk menekannya. Memang terkesan kita sedang menghadapi dua masalah sangat besar sekaligus. Tetapi, kalau kita mampu memanfaatk­an situasi sekarang sebagai momentum perubahan, kita akan keluar sebagai pemenang, baik dalam melawan Covid-19 maupun dalam menghadapi krisis ekonomi.

Letakkanla­h kasus korupsi dana bansos di Kementeria­n Sosial sebagai pintu masuk untuk melakukan pembenahan yang menyeluruh pada tata kelola penanggula­ngan pandemi Covid-19 dan upaya pemulihan ekonomi.

Celakanya, dalam situasi seperti sekarang, kita justru kehilangan KPK yang kuat dan independen. Kalaupun pada 2020 KPK bisa menjerat dua menteri Kabinet Indonesia Maju, itu terjadi karena proses adaptasi kelembagaa­n KPK dengan undang-undang baru belum berjalan sepenuhnya. Sementara itu, kondisi demokrasi kita ke depan, sekalipun Indonesia salah satu negara yang demokratis di ASEAN, kualitas demokrasi kita mengalami penurunan. Ada kecenderun­gan penyempita­n ruang ekspresi masyarakat.

Terkait dengan tugas berat di atas, ada beberapa pesan yang patut disampaika­n dalam tulisan ini. Pertama, pemerintah membangun, memperkuat, dan melembagak­an sistem integritas penanggula­ngan bencana di seluruh lembaga negara yang merespons bencana pandemi Covid-19.

Kedua, pulihkan independen­si dan perkuat KPK. Dalam situasi krisis akibat pandemi dan terpurukny­a ekonomi, kita justru sangat membutuhka­n kehadiran KPK yang kuat dan independen. KPK akan mendongkra­k kepercayaa­n publik pada pemerintah sekaligus mengirimka­n sinyal positif kepada para pelaku bisnis.

Ketiga, dengan modal dukungan kekuatan politik yang solid di DPR, Presiden Jokowi harus mengambil inisiatif untuk memimpin pembenahan partai politik dan lembaga-lembaga penegak hukum. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Buruknya tata kelola partai politik dianggap sebagai salah satu sumber masalah korupsi di Indonesia.

Keempat, pulihkan kualitas demokrasi kita yang sejak lima tahun terakhir ini mengalami kemerosota­n (democracy index, The Economist Intelligen­ce Unit). Peningkata­n kualitas demokrasi, terutama dengan melindungi dan menjamin kebebasan berekspres­i warga (kebebasan menyampaik­an pendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat), selain akan memperkuat legitimasi pemerintah, juga akan menjadi faktor penting agar upaya pemberanta­san korupsi kita lebih bertenaga dan efektif. (*)

*) Sekretaris jenderal Transparen­cy Internatio­nal Indonesia (2013–Maret 2020)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia