Butuh Penyeimbang yang Sehat
LANGKAH pembubaran FPI yang dilakukan pemerintah mendapat sambutanyangberagamdarimasyarakat. Ada yang menyambut dengangembira,mengingatsejarah panjangaksivigilante-nya.Adajugayangmemprotes karena langkah tersebut bagaimanapun dianggap bukan langkah yang demokratis.
Namun, sebagian lagi menyebut langkah itu adalah langkah yang sia-sia. Indikasinya, para fungsionaris dan anggota FPI terkesan dingin-dingin saja menanggapi hal tersebut. Dan kemudian, membentuk lagi organisasi sejenis dengan nama yang berbeda tapi singkatannya tetap sama: FPI.
Seharusnya, hal-hal seperti itu tidak perlu terjadi jika pemerintah bisa menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Yakni, menjaga ada suara-suara yang tetap mengkritik dengan benar. Yang oleh orang awam lazim disebut oposisi, meski istilah ini tidak tepat benar.
Sejarah FPI sendiri adalah organisasi yang dibentuk oleh kepentingan politik. Mulai ketika Menhankam/Pangab waktu itu, Jenderal Wiranto,membentukPamSwakarsa.Tujuandibentuknyaadalahmembuatcounterwacanadanaksi demokepadaparamahasiswayangmarakmenjelang Sidang Istimewa MPR 1999 lalu.
Organisasi tersebut kemudian berubah menjadi FPI. Kemudian, tak hanya melakukan aksi vigilante (yang kemudian membuat buruk reputasinya), para pimpinan FPI juga membuat akar seiring dengan meningkatnya daya tawar mereka kepada para elite politik saat itu. Ada banyak cerita di mana para orang tua yang mengadu anaknya tak bisa sekolah yang diinginkan, menghadap Rizieq Syihab, yang lalu menelepon kepala dinas pendidikan, dan anaknya kemudian diterima.
Para pimpinan FPI, tampaknya, sadar betul bahwa modal politik yang mereka punyai bisa digunakan untuk membentuk modal sosial. Singkat kata, FPI bisa besar dengan berselancar meniti arus politik pada tiap zaman.
Di sisi lain, elite pemerintah yang ada sekarang justru terlihat gagal mendapatkan hati masyarakat. Dianggap terlalu oligarki (semua elite politik berjejaring), tidak melihat kepentingan rakyat tetapi pengusaha (percepatan pengesahan omnibus law), dan kemudian gagal dalam mitigasi Covid-19.
Sementara, kritik terhadap kinerja pemerintah diberangus dengan cara penggunaan UU ITE yang berlebihan, juga penggunaan
buzzer-buzzer yang kemudian mereduksi menjadi sekadar debat medsos. Maka, yang terjadi adalah iklim demokrasi yang tak sehat. Diakui atau tidak, inilah yang terjadi sekarang ini di Indonesia.
Sudah saatnya pemerintah menyadari fakta ini, dan kemudian mendorong terjadinya iklim demokrasi yang lebih sehat. Jika tidak, fenomena FPI akan terus terjadi.