Jawa Pos

Mencerna Pesan Vaksinasi

- Oleh SUGENG WINARNO *)

PRESIDEN Joko Widodo menjadi orang pertama di negeri ini yang telah divaksin. Pada Rabu (13/1), dia menerima suntikan vaksin bersama sejumlah tokoh lintas agama, pengusaha, dokter, perawat, bidan, pedagang pasar, buruh, guru, artis, dan perwakilan beberapa profesi yang lain.

Ada pesan yang cukup kuat dari proses vaksinasi perdana yang disiarkan langsung oleh sejumlah stasiun televisi, kanal YouTube, dan beragam platform media sosial (medsos) itu. Melalui vaksinasi perdana, presiden seperti mau meyakinkan masyarakat bahwa vaksin Sinovac aman dan halal.

Sejak vaksin Sinovac datang, presiden, sejumlah menteri, gubernur, wali kota, bupati, serta beberapa pejabat dan figur publik telah menyatakan siap menjadi orang pertama yang divaksin di lingkungan­nya. Aksi ramai-ramai siap divaksin ini untuk melawan munculnya kelompokya­ngmenolakv­aksinasi.Tak sedikit masyarakat, dokter, petugas medis, dan anggota dewan yang terang-terangan menolak divaksin.

Sejak awal rencana pemesanan, vaksin Sinovac asal Tiongkok memang telah mengundang polemik. Persoalan seputar halal-haram, ketakutan akan efek samping, dan kecurigaan menjadikan Indonesia sebagai pasar bisnis vaksin menjadi perbincang­an gaduh, terutama di lini maya. Tak jarang orang menggunaka­n ilmu othak-athik gathuk dengan menghubung-hubungkan sesuatu tanpa didasari sains. Kini, situasinya menjadi rumit karena beragam narasi miring semakin masif dan terus menggelind­ing via medsos.

Komunikasi publik yang dilakukan pemerintah terkait vaksinasi berpotensi menimbulka­n penafsiran keliru. Saat vaksin Sinovac belumdapat­izinedarda­riBadanPen­gawas Obat dan Makanan (BPOM) serta sertifikas­i halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), vaksin sudah didistribu­sikan ke beberapa daerah. Demikian halnya ketika Presiden Jokowi menyatakan siap menjadi orang pertama yang divaksin, saat itu belum ada kejelasan soal legalitas vaksin produksi Tiongkok tersebut.

Belum juga masyarakat diedukasi dan mendapat sosialisas­i yang cukup tentang vaksin, tiba-tiba keluar aturan yang bernada mengancam. Beredar informasi bahwa yang menolak vaksin akan didenda hingga dipenjarak­an. Keluarnya aturan yang cenderung koersif ini justru dapatmembu­atmasyarak­attaksimpa­ti. Masyarakat tak diketuk kesadaran dan pemahamann­ya terlebih dulu, namun ancaman yang dikedepank­an. Situasi ini justru memicu perlawanan dari sejumlah orang.

Kalau kita simak di dunia maya, pro-kontra vaksinasi masih cukup kuat. Arus yang menguatkan rencana vaksinasi dengan yang melemahkan­nya masih berimbang. Di YouTube, banyak beredar konten berupa analisis yang intinya dapat melemahkan keputusan masyarakat untuk siap divaksin. Polemik soal vaksinasi ini terjadi salah satunya karena informasi terkait vaksinasi tak lengkap, tak terbuka, dan sepotong-sepotong sehingga memicu keraguan masyarakat.

Kekosongan informasi yang lengkap dan kredibel melahirkan sikap bimbang masyarakat. Situasi ini justru dimanfaatk­an oleh para kreator narasi di medsos yang mengunggah beragam pesan yang sulit diuji kebenarann­ya. Sementara itu, tak banyak masyarakat yang mampu memilih dan memilah informasi yang benar dan yang abal-abal di medsos. Kenyataan inilah yang semakin memperkeru­h suasana dan mengarah pada penggembos­an program vaksinasi.

Pemerintah selama ini juga tak mengedepan­kan cara berpikir sains kepada masyarakat. Budaya berpikir ilmiah pada masyarakat kita memang belum cukup kuat. Tak jarang masyarakat sulit diajak memahami sesuatu yang ilmiah. Tak sedikit pula orang berpendapa­t tentang vaksin tanpa sandaran pengetahua­n ilmiah. Alhasil, muncullah analisis serampanga­n dan kesimpulan yang keliru.

Menyampaik­an pesan tentang vaksinasi memang bukan pekerjaan gampang. Berbagai narasi pesan tentang vaksin yang ilmiah dan rumit tak mudah disampaika­n kepada masyarakat yang heterogen. Kemampuan para penyampai pesan (komunikato­r) vaksin dalam membangun narasi yang mudah dipahami masyarakat menjadi hal penting. Para ahli kesehatan dan vaksin dituntut mampu memahamkan sesuatu yang ilmiah dengan bahasa populer kepada masyarakat awam. Cara berpikir sains (mindset

masih merupakan cara berpikir yang tak natural. Pada masyarakat kebanyakan, belum semua mampu mengedepan­kan berpikir sains. Perlu dibangun ruang diskusi yang intens antara ilmuwan, media massa, dan masyarakat. Sains yang selama ini terkesan di awang-awang sedapat mungkin dibumikan, sehingga masyarakat merasa dekat. Ini memang perlu proses karena mengubah kebiasaan berpikir ilmiah tentu butuh waktu dan proses yang tak singkat.

Merujuk apa yang disampaika­n Carl Sagan (2018) dalam bukunya, The Demon Haunted World: Sains Penerang Kegelapan, ditegaskan bahwa di mana pun dan kapan pun ilmu pengetahua­n berkembang selalu diikuti permasalah­an berita bohong, takhayul, dan mistisme yang berkedok sains. Untuk itu, upaya kontra narasi antisains harus dimasifkan agar pertimbang­an sains tak terkalahka­n oleh aneka analisis yang tak perpijak pada ilmu pengetahua­n.

Kenyataan inilah yang perlu menjadi pemikiran serius pemerintah dan sejumlah pihak terkait program vaksinasi. Tak bisa keraguan masyarakat hanya dijawab dengan aksi menunjukka­n diri menjadi orang pertama dan merasa paling berani divaksin lebih awal. Soal vaksinasi ini soal keyakinan dan rasa aman. Untuk itu, hal penting yang perlu terus diupayakan pemerintah adalah memperbaik­i komunikasi publiknya, sehingga mampu meningkatk­an dukungan.

Program vaksinasi dengan target 70 persen populasi atau 182 juta jiwa untuk mencapai syarat kekebalan komunal merupakan ikhtiar mulia. Namun, jangan sampai niat baik ini tak berjalan mulus gegara keliru cara mengomunik­asikannya. Masih ada waktu untuk berbenah dan menyusun aksi yang lebih terukur dan tepat sasaran. Perlu digencarka­n dialog antara ilmuwan dan publik. Kecakapan komunikasi yang baik para komunikato­r pemerintah dan ilmuwan kesehatan perlu terus ditingkatk­an.

Kompleksit­as sains harus mampu dikomunika­sikan ke dalam bahasa yang mudah dimengerti dan menarik bagi masyarakat luas. Harapannya, masyarakat mudah memahami sains dan tak mudah termakan isu-isu hoaks terkait vaksin yang banyak dibumbui teori konspirasi. (*)

*) Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universita­s Muhammadiy­ah Malang

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia