Jaga Hubungan Sosial saat Pandemi
PANDEMI secara nyata telah merusak hubungan sosial masyarakat. Anjuran untuk menjaga jarak dan menjauhi kerumunan mengakibatkan interaksi sosial terhambat. Di sisi lain, munculnya stigma terhadap pasien dan penyintas Covid-19 juga menciptakan jarak di masyarakat.
Penyintas asal Samarinda, Nia Oktavia Aksara, mengungkapkan betapa beratnya mendapat stigma di masyarakat. Nia yang sudah dinyatakan sembuh bahkan masih mendapat perlakuan berbeda dari lingkungan sekitar.
”Stigma itu masih berlanjut saat saya sembuh. Mereka meminta saya untuk tetap tinggal dalam rumah. Mungkin mereka takut saya masih bisa menularkan korona. Keluarga juga jadi takut ke luar rumah karena banyak omongan yang tidak mengenakkan,” ujarnya dalam talk show Stop Stigma: Sebar Cinta saat Pandemi di Media Center Graha BNPB.
Dia berharap masyarakat bisa menghentikan stigma terhadap pasien maupun penyintas Covid-19. Pemerintah harus berupaya keras melakukan sosialisasi untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap kondisi kesehatan para penyintas. ”Kami sudah sembuh dan kami ingin diterima kembali seperti semula,” tegasnya.
Penyintas lain, Syefri Luwis, mengaku memiliki pengalaman serupa. Dia yang menjalani isolasi mandiri di rumah juga mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari lingkungan sekitar. Sejak terpapar Covid-19, tetangganya menjadi takut bertemu. Bahkan ketika dia sudah dinyatakan sembuh.
Saat keluar rumah, misalnya, dia melihat beberapa tetangganya langsung masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Karena itu, dia merasa stigma juga menimpa para penyintas, bukan hanya yang masih positif korona. ”Karena itu, saya banyak di rumah saja. Memang menyebalkan sekali,” ungkap warga Pasar Rebo, Jakarta Timur, itu.
Stigma juga dilekatkan kepada tenaga kesehatan. Misalnya, para tenaga kesehatan, termasuk perawat dan dokter di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta, sempat mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan karena menangani pasien Covid-19. Akibatnya, mereka memilih pergi dari indekos dekat rumah sakit tempat mereka bertugas.
Menurut World Health Organization (WHO) dalam terbitannya, Social Stigma Associated with Covid-19: A Guide to Preventing and Addressing Social Stigma,” pandangan buruk terkait Covid-19 dilandasi tiga faktor utama. Di antaranya, Covid-19 merupakan penyakit baru dan masih banyak orang yang belum mengetahuinya sehingga kerap menimbulkan ketakutan.
WHO pun menyebut, stigma bisa mendorong orang menyembunyikan penyakit Covid-19 untuk menghindari diskriminasi, mencegah orang mencari perawatan kesehatan dengan segera, serta mencegah mereka mengadopsi perilaku hidup sehat. Stigma juga dapat merusak kohesi sosial dan mendorong kemungkinan isolasi sosial yang mungkin saja terjadi. Hal itu berpotensi menghasilkan lebih banyak masalah sosial di masyarakat. mood