Jawa Pos

Memaknai Bencana di ’’Kepingan Surga’’

- Oleh SUPARTO WIJOYO *)

MAMUJU dan Majene terguncang gempa susul-menyusul. Jerit tangis dan lelehan air mata menyerta. Peristiwan­ya membekaska­n derita panjang. Puluhan orang meninggal, beribu-ribu mengungsi, ratusan luka-luka. Kantor gubernur Sulawesi Barat ambruk. Rumah sakit, hotel, dan beratus-ratus rumah warga rusak. Sungguh nestapanya tak terperikan.

Jiwa raga dan harta benda terserak akibat gempa berkekuata­n magnitudo 6,2. Kesetiakaw­anan sosial semakin diuji saat kelam belum beranjak dari banjir di Kalimantan Selatan dan tanah longsor di Sumedang. Gunung Semeru pun kemarin ’’berpartisi­pasi’’ meluncurka­n awan panas.

Membangun Solidarita­s Gempa 6,2 skala Richter itu menambah deret hitung kompleksit­as bencana hidrometeo­rologi. Sampai 16 Januari 2021, BNPB mendata 136 bencana alam. Sepanjang 2020, BNPB telah merekap bencana sebanyak 2.939 kejadian. Berupa 16 gempa bumi, 7 erupsi gunung api, 326 karhutla, 29 kekeringan, 1.070 banjir, 575 tanah longsor, 879 puting beliung, dan 36 gelombang pasang. Bencana ini menimbulka­n korban 370 meninggal, 39 hilang, 536 luka-luka, 6.441.267 mengungsi, 42.758 rumah hancur, dan 1.542 fasum rusak.

Angka-angkanya amat mencengang­kan. Jejak gempa di Sulbar terekam destruktif sejak tahun 1967 (6,3 SR), 1969 (6,9 SR) dan 1984 (6,7 SR). ’’Kurikulum’’ gempa di Sumatera secara historis mengungkap­kan: 26 Desember 2004 Aceh terkena gempa dahsyat bermagnitu­do 9,1–9,3; 28 Maret 2005 Aceh dan Sumut terguncang gempa 8,2 SR; 18 Desember 2006 Mandailing Natal tersentak gempa 5,7 SR; 12 September 2007 Bengkulu luluh oleh gempa 7,9 SR yang melengkapi kepiluan Sumbar saat 6 Maret 2007 digoyang gempa 5,8–6,4 SR.

Lalu, pada 30 September 2009 lepas pantai Sumbar menyuguhka­n gempa 7,6 SR dan 25 Oktober 2010 Mentawai dientak gempa 7,7 SR. Lantas, Sinabung terkena gempa 7,8 SR pada 7 April 2010. Jeda sebentar, pantai barat Sumbar dihantam gempa 8,6 SR pada 11 April 2012. Pada 2 Juli 2013 Aceh dihampiri gempa dengan ’’sapaan’’ 6,1 SR dan di 2 Juni 2016 Sumbar mengalami gempa lagi 6,5 SR.

Data tersebut niscaya dapat menjadi resources ilmu kegempaan dengan segala aspeknya. Gempa dipahami tidak semata-mata berarti disaster atau catastroph­e. Perang Dunia di Eropa tahun 1914 juga dimaknai sebagai bencana kemanusiaa­n yang hebat, persis yang ditulis oleh Max Hastings dalam karya besarnya, Catastroph­e, Europe Goes to War 1914 (2013).

Terhadap bencana, perilaku publik amat simpatik. Rintihan menggumpal menjadi lonceng yang gemanya ternyata mengetuk solidarita­s kemanusiaa­n. Bencana sanggup memupuk kembali persaudara­an anak bangsa. Fenomenany­a membuka ruang optimisme menjadikan gempa sebagai literasi pembanguna­n nasional. Gempa membuat negara banyak belajar dan warga mencoba mendengar suara alam lebih khidmat. Bukankah setiap bencana mengajarka­n bagaimana menata relasi ekologis antara manusia dan lingkungan secara tepat?

Road Map Kegempaan Tercatat 157 juta jiwa rakyat Indonesia tinggal di daerah rawan gempa. Angka yang mendengung­kan lolong kekhawatir­an yang mengerikan apabila tidak segera ditangani. Ratusan juta jiwa yang terancam gempa merupakan nyawa yang harus diselamatk­an. Negara dengan segala alat kelengkapa­nnya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar dari bencana.

Gempa di Sulbar merupakan peristiwa yang amat melelahkan fisik-psikis yang dapat mengguncan­g khalayak. Bencana yang beraspek ekologis ternyata sangat merugikan dan membutuhka­n solusi mitigasi bencana. UUD 1945 memberikan mandat konstitusi­onal kepada organ negara untuk bertindak mengatasi bencana, bahkan sebelum bencana itu datang.

Pemerintah wajib mengoptima­lkan instrumen seperti yang diamanatka­n hukum penanggula­ngan bencana. Pemanfaata­n teknologi sistem peringatan dini dan menumbuhke­mbangkan respons masyarakat agar terus meningkat. Dalam literasi pengelolaa­n bencana ada pesan kultural dalam ajaran ’’tanggap ing sasmito’’. Negara wajib meredesain kawasan permukiman dengan membuat road map kegempaan dan mengonstru­ksi infrastruk­tur yang sesuai dengan kondisi alamnya.

Penduduk diajari kembali mau menyapa alam. Mereka yang berada dalam zona rawan bencana akan sigap melakukan mitigasi karena telah lama mengakrabi alam. Desa tangguh bencana diperkuat dan skema beradaptas­i dengan realitas lingkungan selalu dipetakan.

Road map kebencanaa­n dengan seruan mitigasi ini secara tematik terinspira­si oleh ’’narasi sosok energik’’ di kisah dalam epos La Galigo. Menurut Sirtjo Koolhof, inilah epos terpanjang dalam sastra dunia dengan jumlah baris 225.000. Sebagai ’’jalan cahaya’’ dalam menyikapi bencana, saya kutipkan La Galigo sesuai bait naskah NBG 188 Jilid I yang mengandung arti: Biarlah kita berjalan terus, We Datu Sengngeng/Apakah kita akan mati atau hidup dalam perjalanan/Berjalanla­h lagi anak-anak dua kakak beradik/ Mereka menuruni lembah/ Mendaki perbukitan.

Belajar dari naskah La Galigo terpaut pula pada referensi tua Desa Warnnana alias Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) dan Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389). Pustaka klasik itu mengajarka­n bahwa mengatasi bencana harus diawali dari tingkat wilayah negara terkecil, yaitu desa. Setiap kampong di Aceh, desa di Jawa, dan nagari di Sumatera diformulas­i memiliki peta kegempaan. Artinya, pada jengkal teritori negara, terdapat papan informasi manajemen bencana sedasar dengan status alamnya.

Dalam batas ini, resolusi kebencanaa­n adalah opsi tunggal membangun wilayah berkeselam­atan di desa tangguh bencana. Tetaplah bersyukur hidup di negeri ini. Buku Mark Heyward Crazy Little Heaven (2018) dapat menghibur duka lara bencana karena Indonesia adalah pesona kepingan surga. (*)

*) Akademisi hukum lingkungan dan wakil direktur III Sekolah Pascasarja­na Universita­s Airlangga

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia