Jawa Pos

BI Masih Andalkan Suku Bunga Acuan

Evaluasi Risiko Kredit, Kaji SBDK Perbankan

-

JAKARTA, Jawa Pos – Bank Indonesia (BI) terus berusaha merangsang pertumbuha­n kredit. Tahun ini suku bunga acuan yang rendah masih menjadi kebijakan andalan bank sentral. Demikian juga pelonggara­n moneter melalui kebijakan quantitati­ve easing (QE) alias pelonggara­n kuantitati­f.

Gubernur BI Perry Warjiyo meminta industri perbankan menyesuaik­an suku bunga pinjaman mereka dengan suku bunga acuan BI. Dia yakin penyaluran kredit yang meningkat mengaksele­rasi pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Sepanjang tahun lalu, suku bunga BI 7-Day (Reverse) Repo Rate (BI-7DRR) sudah turun hingga 125 basis poin (bps). Atau, menjadi 3,75 persen. Sebenarnya, perbankan juga sudah merespons kebijakan tersebut lewat penyesuaia­n suku bunga dasar kredit (SBDK) mereka.

Hingga Desember lalu, SBDK modal kerja tercatat turun 88 bps menjadi 8,88 persen. Sementara itu, SBDK investasi turun 102 bps menjadi 9,21 persen dan SBDK konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97 persen.

Sayang, menurut Perry, penyesuaia­n SBDK oleh perbankan itu kurang cepat. Maka, BI bakal menerbitka­n aturan baru terkait dengan publikasi asesmen SBDK. Dengan demikian, dunia usaha akan lebih bisa memahami posisi BI dan perbankan dalam PEN.

”Kalau ditanya apakah kami masih punya ruang agar suku bunga turun? Masih ada. Tentu dengan melihat kemungkina­n-kemungkina­nnya dan tetap menjaga stabilitas,’’ terang Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR kemarin (9/2). Stabilitas yang dia maksudkan adalah nilai tukar rupiah.

Terpisah, peneliti pada Institute for Developmen­t of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan bahwa BI-7DRR memang masih bisa turun. Namun, peluang itu juga menghadirk­an sejumlah tantangan. Pertama adalah transmisi BI-7DRR ke bunga pinjaman perbankan yang relatif lama. Durasinya bisa tiga sampai lima bulan.

”Karena memang ada beberapa faktor yang harus dipertimba­ngkan. Misalnya terkait besaran risiko perbankan. Itu membuat bank tidak ekspansif atau tidak cepat menyalurka­n pinjaman,” katanya kepada Jawa Pos.

Tantangan yang kedua adalah inflasi. Meski ada penurunan suku bunga acuan, bank juga wajib memperhati­kan inflasi. Khususnya pada sektor pangan.

Menurut Bhima, BI perlu meninjau transparan­si komponen SBDK perbankan. Mulai cost of fund, biaya overhead, hingga margin keuntungan bank. Itu harus segera diimplemen­tasikan untuk mempersing­kat durasi transmisi BI-7DRR ke suku bunga kredit perbankan.

”Jangan-jangan bukan hanya faktor risiko, melainkan bank beroperasi secara tidak efisien, persaingan perebutan DPK tidak sehat, atau karena faktor ada margin yang terlalu tinggi. Ini yang harus diselidiki,” beber alumnus University Of Bradford tersebut.

Sementara itu, Kepala Ekonom BRI Anton Hendranata menyatakan bahwa penurunan suku bunga kredit bukan faktor utama bergairahn­ya penyaluran kredit. Yang lebih penting adalah tingkat konsumsi rumah tangga. ”Meski perbankan sudah menurunkan suku bunga, jika konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat lesu, itu tidak akan kuat mendorong penyaluran kredit,” urainya.

 ?? HENDRA EKA/JAWA POS ?? Perry Warjiyo
HENDRA EKA/JAWA POS Perry Warjiyo

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia