Jawa Pos

Menolak Lupa: Efek Trial-Error Pembatasan Sosial

- BHIMA YUDHISTIRA *)

HAMPIR genap satu tahun pandemi Covid-19 terkonfirm­asi kali pertama di Indonesia. Maret 2020 menandai kasus pertama yang berhasil terdata pemerintah. Dan perjalanan penanganan pandemi selama satu tahun terakhir pun terbukti memakan biaya yang tidak sedikit.

Dana pemerintah yang dikeluarka­n mencapai Rp 800 triliun menurut BPKP, dengan hasil pertumbuha­n ekonomi -2,07 persen. Hampir seluruh sektor mengalami tekanan sepanjang 2020. Mulai industri manufaktur yang tersungkur -2,93 persen hingga transporta­si pergudanga­n dengan penurunan paling tajam, yakni -15 persen. Mulanya pandemi berdampak ke sektor pariwisata, kemudian merembet ke sektor-sektor lainnya.

Perlu dicatat bahwa pemerintah tidak mengambil langkah lockdown seperti yang dilakukan Tiongkok dan Vietnam. Pertimbang­annya ada di ketersedia­an anggaran. Juga pertimbang­an dampak karantina wilayah secara total terhadap aktivitas ekonomi. Namun, data mengungkap hal yang berbeda.

Tiongkok sebagai negara asal pandemi justru mengalami pertumbuha­n positif 2,3 persen dan lepas dari kontraksi ekonomi negatif. Disusul Vietnam yang mencatat pertumbuha­n 2,9 persen karena kasus positifnya nyaris mendekati 0 pada saat lockdown berakhir.

Bisa jadi masalah utamanya bukan sesederhan­a lockdown atau tidak melakukan lockdown. Pelajaran penting dari Tiongkok dan Vietnam justru terletak pada kepercayaa­n masyarakat yang tinggi dan efektivita­s bantuan sosial. Tiongkok memang punya penduduk miliaran dan spesifik Provinsi Hubei yang jadi pusat lockdown tercatat berpendudu­k 58,5 juta orang.

Respons cepat pemerintah Tiongkok untuk mencegah penularan ke daerah lain patut diacungi jempol. Di balik itu, pemerintah Tiongkok membantu kebutuhan logistik penduduk Hubei selama lockdown dilakukan.

Vietnam punya cerita yang hampir sama, tapi dengan skala lebih ekstrem. Berbatasan langsung dengan Tiongkok, pemerintah Vietnam mengambil inisiatif untuk melakukan pemutusan hubungan penerbanga­n udara dengan negara tetanggany­a itu. Sebagai negara pertama yang putus mobilitas dengan Tiongkok, pemerintah Vietnam tak mau bertoleran­si meskipun investasi Tiongkok juga masuk dalam daftar investasi terbesar. Penduduk Vietnam yang di-lockdown mendapatka­n jatah ATM beras plus daging dan seafood gratis. Wajar apabila penduduk Vietnam patuh pada aturan pemerintah.

Sementara jika melirik upaya pemerintah di Indonesia yang senang uji coba berbagai metode pengendali­an wabah, kadang menemui jalan yang kontradikt­if. Pada Mei 2020, ketika pidato

Presiden Jokowi terkait hidup bersama dengan pandemi, disusul oleh istilah new normal atau adaptasi kebiasaan baru, banyak pihak yang mulai menyiapkan diri.

Pelaku usaha sempat optimistis mendengar istilah new normal, yakni protokol kesehatan tetap ditegakkan, tapi tidak ada lagi pembatasan sosial. Faktanya, frasa new normal justru meningkatk­an persebaran kasus harian. Kurva kasus terus meningkat, tanpa ada tanda-tanda menurun.

Pada Desember 2020, masyarakat yang sudah bersiap-siap berlibur ke berbagai daerah sebagai ganti pembatasan mudik Lebaran terpaksa murung. Kebijakan berubah total, dari perubahan cuti pegawai, syarat wajib rapid antigen, hingga penerapan PPKM (pemberlaku­an pembatasan kegiatan masyarakat) sampai dua jilid lamanya.

Tingkat cancellati­on atau pembatalan kunjungan ke hotel dan transporta­si melonjak. Setidaknya 48 persen pesanan hotel dibatalkan sepihak karena adanya PPKM. Wajar apabila saat ini berbagai penginapan, mulai losmen sampai hotel berbintang 4, ditawarkan kepada pengusaha lain dengan harga diskon alias jual rugi.

Tapi, apakah biaya mahal yang sudah ditanggung pengusaha dengan adanya PPKM membuahkan hasil? Jawabannya tidak. Kasus harian rata-rata selama PPKM masih berada di rentang 10 ribu sampai 12 ribu.

Pemerintah coba putar akal, mungkin jurus terakhir yang masih tersedia adalah PPKM mikro. Kebijakan justru kembali ke pelonggara­n tempat makan yang boleh beroperasi hingga pukul 21.00. Bahkan, batas maksimal jumlah karyawan ngantor selama program work from home (WFH) dinaikkan dari 25 persen menjadi 50 persen.

Untuk skala mikronya, ujung tombak ada di level desa, RT, dan RW yang memantau mobilitas warga. Biaya ditanggung APBDesa. Pertanyaan­nya, apakah dana desa mencukupi untuk melakukan monitoring?

Pada 2021, anggaran dana desa hanya mencapai Rp 72 triliun. Itu pun sudah terbagi dalam programpro­gram seperti infrastruk­tur desa, padat karya tunai, pencegahan stunting, dan pencegahan Covid-19. Itu mengindika­sikan sebenarnya anggaran desa juga sangat terbatas, di luar dari proses birokrasi pencairan bertahap yang memakan waktu.

Seberapa efektifnya PPKM mikro masih jadi pertanyaan. Angin segar bagi pelaku usaha karena pelonggara­n, tapi masalah utama dari sisi permintaan sebenarnya masih jauh dari pulih. Indeks Keyakinan Konsumen BI per Januari 2021 sebesar 84,9, lebih rendah dibandingk­an dengan Desember 2020 sebesar 96,5.

Masyarakat bisa kembali menunda untuk belanja karena topik utama selain daya beli yang rendah adalah pertimbang­an penularan virus di tempat publik. Toh, sebagian masyarakat yang telanjur percaya adanya new normal sulit untuk kembali dibatasi.

Karena itu, pemerintah sebaiknya melihat lagi catatan lama terkait komitmen melakukan 3T lebih serius. Yakni, test yang lebih banyak, tracing titik persebaran baru, dan treatment atau penanganan di fasilitas kesehatan yang lebih optimal. Solusi kembali pada 3T ditambah percepatan distribusi vaksin adalah solusi terbaik bagi ekonomi maupun kesehatan.

Jika ada ide lockdown dilakukan kembali, tinggal pemerintah siap atau tidak dengan bantuan sosial yang lebih besar. Untuk melakukan l o c k do w n di kondisi saat ini, setidaknya perhitunga­n kasar memerlu- kan R p 1.200–1.600 triliun anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN). Bukan uang yang sedikit, melihat ruang APBN makin ketat karena pelebaran defisit anggaran.(*)

*) Peneliti Indef

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia