Aturan DP dan Upaya Mengangkat Daya Beli
PEMERINTAH tengah berusaha menggerakkan ekonomi melalui sektor-sektor industri prioritas. Salah satunya sektor otomotif. Pemerintah memberikan relaksasi pajak melalui PPnBM (pajak penjualan barang mewah) untuk mobil baru jenis sedan dan 4 × 2 di bawah 1.500 cc
Kebijakan itu mulai diterapkan 1 Maret hingga 31 Desember 2021.
Sektor properti juga menjadi fokus pemerintah. Mengingat, ada 175 industri yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan sektor properti. Sebagai lokomotif ekonomi nasional, perputaran uang di sektor properti tidak bisa dianggap enteng. Bahkan, mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan sektor otomotif.
Artinya, pemerintah pun harus matang mempertimbangkan stimulus yang benar-benar tepat sasaran. Khususnya dari sisi permintaan. Sebab, sektor properti tidak sepenuhnya kehilangan daya beli di segmen tertentu. Masyarakat hanya menunda.
Berdasar data survei IPW, malah terjadi anomali. Tingkat penjualan rumah di segmen Rp 1 miliar–Rp 2 miliar pada 2020 justru naik 12,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meski, secara umum penjualan sepanjang 2020 turun 31,8 persen.
Berdasar riset dari Realestat Indonesia (REI), penyerapan tenaga kerja di sektor properti mencapai 19 jutaan orang. Belum lagi tenaga kerja dari industri yang terkait langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, penggunaan material di sektor perumahan hampir 100 persen merupakan produk dalam negeri. Mengingat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mewajibkan para pengembang menggunakan produk lokal untuk setiap pengerjaan proyek properti. Kebijakan tersebut untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dengan begitu, produktivitas industri lokal akan semakin meningkat.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor realestat pada kuartal IV 2020 masih tumbuh 1,98 persen. Namun, strategi bertahan yang dilakukan pengembang tidak dapat bertahan terlalu lama lagi. Sebab, permintaan semakin menurun. Ditambah seleksi pengajuan KPR (kredit pemilikan rumah) dari perbankan semakin ketat. Juga, tingginya suku bunga perbankan dan besarnya biaya transaksi.
Total nilai kapitalisasi penjualan properti primer rata-rata berkisar Rp 85 triliun–Rp 100 triliun per tahun. Sebanyak 65 persen didominasi perumahan. Selebihnya terbagi untuk tanah, apartemen, komersial, dan perkantoran.
Penjualan properti sekunder diperkirakan mencapai Rp 115 triliun–Rp 150 triliun. Baik yang dilakukan agen broker master franchise, agen properti lokal, maupun broker tradisional. Nilai itu memberikan kontribusi minimal 61,5 persen dari total keseluruhan transaksi properti. Nilai itu sering kali tidak tercatat. Padahal, nilainya lebih tinggi dari penjualan properti pasar primer.
Yang perlu diingat, properti merupakan kebutuhan primer. Sekaligus investasi yang nilainya selalu tumbuh. Kepemilikan properti juga menjadi salah satu faktor tolok ukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Edukasi terhadap masyarakat untuk mulai memiliki properti seharusnya menjadi prioritas pemerintah.
Melihat berbagai potensi itu, industri properti adalah prioritas penting yang harus diselamatkan pemerintah. Sisi permintaan harus segera digerakkan. Terutama masyarakat menengah dan atas. Sebab, dua kelompok itu masih memilih menyimpan dana mereka di bank dan menunda untuk membeli properti.
Pemerintah perlu segera menurunkan tarif BPHTB (biaya perolehan hak atas tanah dan/ atau bangunan) dan mengurangi PPN (pajak pertambahan nilai) sebagai stimulus di industri properti. Biaya-biaya tersebut cukup tinggi dan memberatkan. Pengurangan biaya dan pajak harus signifikan. Kalau pengurangannya terlalu kecil, konsumen tidak tertarik untuk membeli properti saat ini.
Apresiasi atas upaya pemerintah dan Bank Indonesia mengubah ketentuan rasio uang muka kredit rumah (loan to value/ LTV) kredit dan pembiayaan properti menjadi 100 persen. Dan dibarengi dengan penurunan suku bunga acuan 3,5 persen.
Aturan membeli hunian tanpa uang muka akan meningkatkan minat beli masyarakat. Namun, keputusan tersebut belum sepenuhnya menggairahkan sektor properti. Minat saja tidak cukup. Harus diimbangi daya beli. Sebab, banyak penghasilan masyarakat yang terganggu selama pandemi Covid-19. Di sisi lain, nilai transaksi propertinya tidak berubah.
Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Agas Putra Hartanto