Pengetahuan Bahasa Minim, Pemahaman Kalimat Bisa Bias
SURABAYA, Jawa Pos – ”Kurangnya pengetahuan bahasa sering kali mengakibatkan kesalahpahaman,” kata pemerhati bahasa Indonesia Ivan Lanin. Dia mengatakannya saat menjadi narasumber di Surabaya Language Festival (SLF) 2020 Minggu (21/2). Ivan memberikan materi tentang bahasa Indonesia dan penggunaannya pada agenda virtual itu. Ada juga narasumber lain yang berbagi materi tentang bahasa daerah dan bahasa isyarat Indonesia (bisindo). Pada awal diskusi, Ivan menjelaskan asal muasal bahasa Indonesia. Menurut dia, sembilan dari sepuluh kata di bahasa Indonesia diserap dari bahasa asing. Misalnya, bahasa Belanda, Arab, dan lainnya. Contohnya, kata tante yang berasal dari bahasa Belanda atau kata dunia yang berasal dari bahasa Arab. Ivan juga memberi contoh kata yang berasal dari bahasa Indonesia asli, yaitu Anda dan sintas.
Menurut dia, kata Anda dipopulerkan Rosihan Anwar pada 1958. ’’Sebab, bahasa Indonesia belum memiliki kata ganti orang kedua secara formal pada saat itu,” papar alumnus Universitas Indonesia tersebut. Sementara itu, kata sintas dicanangkan dan digunakan untuk menyebut penyintas.
Ivan menjelaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia tak sekadar kata-katanya. Melainkan kalimat, diskursus, sampai pengucapannya. Namun, pengetahuan bahasa Indonesia sebagian orang dirasa masih minim. Itu mengakibatkan pemahaman terhadap sebuah kalimat menjadi bias. Terlebih, tingkat literasi di Indonesia masih rendah.
Karena itu, Ivan menggagas sebuah wadah di media sosial untuk mengedukasi masyarakat tentang penggunaan bahasa Indonesia. ’’Tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan bahasa Indonesia agar bisa menggunakannya dengan benar,” jelas pendiri Narabahasa itu. Dari wadah tersebut, dia juga mengajarkan penggunaan bahasa yang benar. Misalnya, penggunaan akhiran, kata depan, dan lain-lain.
Selain Ivan, ada juga perwakilan Komunitas Bisindo Ika Irawan yang memberi materi bisindo. Menurut dia, perbedaan orang tuli dan normal secara pendengaran tidak hanya dari bahasa yang digunakan. Namun, budayanya juga berbeda. Misalnya, cara berkenalan atau perpisahan. ’’Kami biasa berkenalan dengan panjang. Tanya nama, alamat, usia, bahkan sampai pekerjaan orang tua di awal bertemu,” katanya sambil mencontohkan gerakan bahasa isyarat.
Sebagian budaya di komunitas tuli terkadang dianggap tidak sopan oleh orang yang mendengar. Misalnya, saling menunjuk dan bertatap mata secara langsung dianggap normal untuk orang tuli.
Selain Ivan dan Ika, ada beberapa penutur asli yang memberikan materi tentang budaya dan bahasa daerah. Di antaranya, Nafila yang memberikan materi bahasa Madura serta Ken Setiawan untuk materi Jawa dialek Banyumas.