Catatan Penting Revisi Undang-Undang ITE
WACANA revisi jilid II UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) muncul ke publik setelah Presiden Jokowi meminta masyarakat aktif memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah. Menurut Jokowi, kritik dan masukan masyarakat penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sontak, pernyataan tersebut menuai komentar publik.
Respons yang cukup menohok sempat dilontarkan Jusuf Kalla. JK menanyakan bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi. Publik juga menilai kritik yang selama ini dilontarkan terancam upaya kriminalisasi, khususnya bagi pihakpihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Beberapa di antaranya kasus Jerinx, Ahmad Dhani, Ravio Patra, Gus Nur, dan Ustad Maaher At-Thuwailibi. Beberapa kasus tersebut dapat menjadi representasi bahwa UU ITE dapat menjadi ancaman serius dalam kehidupan demokrasi Indonesia saat ini.
UU ITE juga dinilai belum bisa memberikan rasa keadilan masyarakat. Contohnya adalah kasus Baiq Nuril yang cukup menyorot perhatian publik. Baiq Nuril yang merekam percakapan mesum kepala sekolah tempat dirinya mengajar justru terjerat UU ITE karena percakapan tersebut tersebar di media sosial. Selain Baiq Nuril, kasus Prita Mulyasari juga bisa menjadi representasi belum adanya keadilan dalam UU ITE. Prita terjerat UU ITE karena curhat melalui surat elektronik mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera.
Presiden Jokowi pada waktu rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara beberapa hari lalu menyampaikan akan merevisi UU ITE bersama DPR. Jokowi menilai ada beberapa pasal dalam UU ITE yang multitafsir dan sering kali diinterpretasikan sepihak. Langkah tersebut ternyata juga direspons positif oleh DPR.
Menengok ke belakang, revisi UU ITE sebenarnya sudah pernah dilakukan. Pada 2016, DPR merevisi UU ITE dengan mengesahkan UU Nomor 9 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Namun, UU ITE dianggap belum bisa memberikan rasa keadilan masyarakat.
Terdapat tiga catatan penting yang perlu diperhatikan dalam revisi kedua UU ITE. Yaitu, tujuan pembentukan UU ITE, substansi dalam UU ITE, dan penegakan hukumnya.
Pertama, tujuan utama pembentukan UU ITE adalah pengelolaan informasi dan transaksi elektronik, pembangunan teknologi informasi, serta pemanfaatan atau penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Artinya, penerapan UU ITE di masyarakat harus senantiasa konsisten dengan tujuannya, yaitu menciptakan ekosistem digital yang aman, sehat, produktif, dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sayangnya, penerapan UU ITE saat ini masih jauh dari tujuan itu. UU ITE justru digunakan sebagai alat pemidanaan. Sebagian masyarakat menggunakan UU ITE sebagai ’’senjata’’ untuk saling melaporkan ke polisi. Perbedaan pendapat di ruang digital digunakan sebagai alat bukti untuk memidanakan. Kegaduhan yang terjadi di media sosial dibawa ke meja hijau. Akibatnya, pengadilan hanya dipenuhi kasus yang berkaitan dengan ekspresi dan pendapat di ruang digital.
Selain tujuan pengelolaan teknologi informasi yang tidak tercapai, kondisi tersebut justru membatasi ruang kebebasan berpendapat dan kritik masyarakat. Karena itu, momentum revisi UU ITE yang akan dilakukan harus dimanfaatkan untuk mengembalikan ’’roh’’ UU ITE ke tujuannya, yaitu pengaturan mengenai pengelolaan teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Kedua, dalam konteks substansi, khususnya pasal 27 ayat (1) soal kesusilaan, pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pasal 28 ayat (2) soal ujaran kebencian, memang masih multitafsir. Hal ini disebabkan unsur-unsur dalam pasal tersebut tidak jelas dan dapat diinterpretasikan secara sepihak. Contohnya, unsur ’’penghinaan’’ yang disebutkan dalam pasal 27 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut: ’’Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.’’
Unsur ’’penghinaan’’ dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara klir dan tegas. Penghinaan seperti apakah yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam pasal 27 ayat (3) tidak dijelaskan secara jelas dan hanya diatur dalam satu pasal sehingga multiinterpretasi dalam penegakan hukumnya.
Berbeda dengan pasal penghinaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Unsur-unsur dan jenis penghinaan diatur secara jelas. Mulai pasal 310 hingga pasal 321 KUHP. Substansi yang jelas menutup ruang untuk mult itafsir. Karena itu, perlu di r umuskan kembali beberapa pasal yang multitafsir dalam revisi kedua UU ITE.
Ketiga, penegakan hukum UU ITE. Dalam konteks penegakan hukum, Polri adalah gerbang utama ( main gate) dalam sistem peradilan pidana. Polri dapat menentukan seseorang patut diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak. Polri juga dapat menentukan apakah sebuah perkara berhenti atau dilanjutkan hingga ke pengadilan.
Dalam pernyataannya, Jokowi meminta Kapolri untuk lebih selektif dalam memproses pelanggaraan UU ITE. Setidaknya, apa yang disampaikan Jokowi memiliki makna penting. Selain harus profesional dan tidak boleh tebang pilih, Polri harus mengupayakan restorative justice dalam menangani kasus ITE. Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara pidana melalui dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, dan para pihak terkait guna terciptanya keadilan tanpa proses pidana di pengadilan.
Melalui upaya restorative justice, kasus pelanggaran UU ITE tidak perlu diselesaikan secara represif atau melalui jalur peradilan, khususnya untuk delik aduan seperti penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Karena itu, konsep restorative justice ini perlu diakomodasi dalam UU ITE.
Tiga catatan penting tersebut patut diperhatikan dalam revisi jilid II UU ITE. Semoga revisi UU ITE bisa memenuhi harapan dan nilai-nilai keadilan masyarakat Indonesia di tengah masifnya transformasi digital. (*)
*) Dosen Hukum E-Commerce dan Fintech Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta