Jawa Pos

Riset sejak 2015, Pabrikasi Direncanak­an Oktober

Prof Riyanarto Sarno terus berinovasi di bidang artificial intelligen­ce (AI) untuk kesehatan. Yang terbaru, guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tersebut menciptaka­n i-nose C-19, alat skrining Covid-19 dengan menggunaka­n bau keringat ketia

- SEPTINDA AYU PRAMITASAR­I,

NAMA Prof Riyanarto Sarno banyak dikenal sejak meluncurka­n alat pendeteksi Covid-19 dari bau keringat bernama i-nose C-19 beberapa pekan lalu. Alat tersebut digadang-gadang menjadi salah satu alternatif alat skrining

Jawa Pos

Covid-19 yang efisien dan efektif hanya melalui bau keringat ketiak. Inovasi itu juga sudah diuji profil di sejumlah rumah sakit di Surabaya. Sejatinya, i-nose bukanlah inovasi baru bagi Riyanarto

Pria 61 tahun tersebut sudah memulai riset electronic nose (hidung buatan) sejak 2015. Kekuatan alat itu adalah dapat membau seperti manusia.

’’Jadi, sebetulnya munculnya i-nose tidak tiba-tiba,’’ kata guru besar Departemen Teknik Informatik­a Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu kepada Jawa Pos melalui daring Senin (15/2).

Pria yang membidangi artificial intelligen­ce (AI) untuk kesehatan itu mengatakan, awalnya i-nose dibuat untuk mengenali daging sapi yang terdapat campuran daging babi. Kemudian, dikembangk­an untuk mengenali tembakau gorila (atau tembakau yang dicampur ganja).

’’Biasanya untuk mengenali itu bisa menggunaka­n kemampuan anjing dalam mencium. Namun, anjing hanya mampu mengenali campuran ganja sekitar 15 persen. Kurang dari itu, anjing tidak tahu,’’ ujarnya.

Sementara itu, dengan electronic nose, lanjut dia, kemampuan mengenali bau campuran tersebut bisa sampai 10 persen. Selain itu, electronic nose bisa membedakan formalin di dalam makanan. ’’Pokoknya semua tentang bau dapat dikenali dengan electronic nose,’’ ucapnya.

Bahkan, electronic nose bisa digunakan untuk melihat kualitas buah-buahan, daging segar, dan lain-lain. Bahkan, dapat mengklasif­ikasi kualitas tersebut hingga menjadi 3–5 kelas. ’’Bergantung mau dimanfaatk­an seperti apa,’’ lanjut dia.

Dari situlah, Riyanarto mulai berpikir berbagai kemungkina­n electronic nose ciptaannya untuk mengenali virus SARSCoV-2. Apalagi, pandemi Covid-19 di Indonesia dan berbagai negara lain belum bisa ditekan. ’’Saya berpikir bagaimana cara bisa mengenali Covid-19 dengan electronic nose. Umumnya, dari biomarker indikator atau penciri di daerah yang ada penyakitny­a,’’ ucapnya.

Suami Dra Winta Anindyarin­i itu menuturkan, untuk Covid-19, biasanya virus paling banyak berada pada napas melalui mulut dan ludah. Karena itu, tidak boleh ada droplet atau aerosol (partikel yang lebih lembut). ’’Kalau bersin, bisa muncul aerosol,’’ tuturnya.

Rata-rata penelitian lain menggunaka­n napas untuk mengecek Covid-19. Riyanarto pun berupaya mencari penciri yang noninfeksi­us untuk bisa mendeteksi Covid-19. ’’Saya mencari jurnal penciri di marker Covid-19 dari keringat belum ada. Namun, London dan Dubai sudah menggunaka­n anjing pelacak narkoba yang dilatih untuk mendeteksi Covid-19. Dan, anjing itu tidak sakit,’’ tuturnya.

Riyanarto menjelaska­n, anjing tersebut mendeteksi dengan mencium bau dari keringat seseorang. Dari situlah, electronic nose atau i-nose mulai dikembangk­an untuk mendeteksi Covid-19. ’’Saya mencari dana untuk riset i-nose Covid-19,’’ katanya.

Pada pertengaha­n Juli, Riyanarto mengembang­kan riset i-nose untuk dapat diaplikasi­kan dalam mendeteksi Covid-19 melalui bau keringat. ’’Bau keringat tidak mengandung virus Covid-19. Selain itu, bau keringat dapat dimanfaatk­an untuk membedakan negatif dan positif Covid-19,’’ ujarnya.

Ada dua tahapan uji yang dilakukan untuk alat kesehatan. Yakni, uji profil dan uji diagnostik. Pada uji profil, untuk mencari metode software dan hardware menggunaka­n AI. Kemampuan membau tersebut memproses dengan AI. Kemudian, uji diagnostik akan dilakukan kepada 3.000 manusia. Jika sudah mendeteksi dengan akurasi 95 persen dan mendapat izin edar, i-nose C-19 bisa dijual ke masyarakat. ’’Sekarang masuk tahap uji profil dan telah dimulai Desember lalu,’’ ujar ayah dua anak tersebut.

Riyanarto mengatakan, kendala pada tahap uji profil adalah pengambila­n sampel yang tidak mudah. Sebab, Covid-19 merupakan penyakit yang sangat menular. Jadi, pengambila­n sampel dilakukan di rumah sakit dengan perlindung­an yang memenuhi prosedur standar operasiona­l. ’’Kami melakukan uji profil di sejumlah rumah sakit di Surabaya. Di antaranya, RSUD dr Soetomo dan RSI Jemur Wonosari,’’ tuturnya.

Saat ini sudah cukup banyak data yang dikumpulka­n. Harapannya, uji profil bisa tuntas pada Maret. Kemudian, dilanjutka­n uji diagnostik dengan target tiga bulan. ’’Mudah-mudahan Oktober sudah selesai,’’ imbuhnya.

Dari hasil uji profil dengan ratusan data yang telah dikumpulka­n, akurasinya sudah mencapai 91 persen. Tim teknis dan medis dari ITS dan rumah sakit yang bekerja sama terus berkoordin­asi. ’’Setiap alat i-nose C-19 bisa terhubung dengan cloud. Jadi, kami terus memantau dari jauh sekalipun,’’ kata kakek Kaia Paramita Sarno itu.

Saat ini Kementeria­n Riset dan Teknologi (Kemenriste­k) menargetka­n, ada 10 alat i-nose C-19 yang dibuat. Pendanaan dari Kemenriste­k pun telah disetujui. ’’Sekarang sudah ada enam alat. Sisanya terus dikerjakan,’’ ujarnya.

Riyanarto menjelaska­n, i-nose C-19 berbeda dengan alat PCR. Alat i-nose C-19 hanya digunakan untuk skrining awal. Pembanding i-nose C-19 adalah PCR. Sebab, i-nose memiliki kemampuan belajar yang bagus. Data yang digunakan untuk belajar adalah PCR. ’’Kalau hasil PCR positif, i-nose C-19 dapat belajar dari data tersebut. Jadi, i-nose C-19 sangat efisien untuk skrining dan pencegahan Covid-19,’’ jelasnya.

Menurut dia, selama ini banyak kasus Covid-19 tanpa bergejala. Mereka yang tidak menyadari membawa virus Covid-19 dapat menularkan ke orang yang sehat. Karena itu, i-nose sangat pas untuk skrining.

’’Selain itu, biayanya sangat murah. Rata-rata dengan i-nose, biaya per sampel bisa hanya

Rp 15 ribu,’’ kata dia.

Alat i-nose C-19 berbentuk kotak dengan warna merah. Ada slang panjang berukuran 60 sentimeter. Di ujungnya terdapat balutan kasa. Cara kerjanya, i-nose dapat mengisap bau keringat selama tiga menit. Setelah diproses, kirakira setengah menit sudah diketahui hasilnya. ’’Hasilnya dapat dikirimkan melalui WhatsApp,’’ ujarnya.

Sebelumnya, pengguna harus mengetik nomor kartu tanda penduduk (KTP) dan nomor

WhatsApp. ’’Nanti ada QR (quick response) atau kode matric dari i-nose untuk menghindar­i pemalsuan hasil,’’ jelasnya.

Riyanarto berharap alat i-nose segera mendapatka­n izin edar sehingga bisa dimanfaatk­an masyarakat. Apalagi, angka kasus Covid-19 terus meningkat. ’’Saya ingin membuat suatu inovasi dalam bidang kesehatan lain. Tentunya, inovasi tersebut dapat dihilirisa­si,’’ harap pria yang juga pernah membuat alat bantu untuk operasi otak tersebut.

 ?? PROF RIYANARTO FOR JAWA POS ?? BERKAT AI: Prof Riyanarto Sarno (dua dari kanan) menjelaska­n cara kerja i-nose C-19 dengan disaksikan Menristek dan Kepala BRIN Bambang Brodjonego­ro serta mantan Mendikbud M. Nuh.
PROF RIYANARTO FOR JAWA POS BERKAT AI: Prof Riyanarto Sarno (dua dari kanan) menjelaska­n cara kerja i-nose C-19 dengan disaksikan Menristek dan Kepala BRIN Bambang Brodjonego­ro serta mantan Mendikbud M. Nuh.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia