PPATK Nilai RUU Perampasan Aset Mendesak
JAKARTA, Jawa Pos – Wacana terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mencuat. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menyampaikan urgensi perbaikan kinerja pemberantasan kejahatan ekonomi dengan menggunakan UU Perampasan Aset.
Dian menjelaskan, pihaknya telah menyampaikan urgensi UU tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkum HAM) Yasonna H. Laoly beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, Dian menjelaskan masih rendahnya tingkat pemberantasan tindak pidana ekonomi, termasuk korupsi, narkoba, dan perpajakan.
”Salah satu penyebabnya, faktor penjera dan deterrent (pencegah, Red) masih sangat tidak memadai,” ujarnya kepada Jawa Pos. Dian menjelaskan, perampasan seluruh aset tindak kejahatan ekonomi merupakan faktor penjera atau pencegah yang harus dilakukan untuk memaksimalkan tingkat keberhasilan.
Untuk diketahui, wacana RUU Perampasan Aset sejatinya muncul sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Draf akademik RUU tersebut sudah selesai waktu itu. Namun, sejalan dengan habisnya masa kepemimpinan SBY, gaung wacana RUU tersebut nyaris tidak pernah muncul lagi.
Dian menambahkan, kejahatan ekonomi merupakan kejahatan canggih
dengan segala bentuk rekayasa keuangan (financial engineering) dan rekayasa hukum (legal engineering). Karena itu, cukup sulit membawa pidana kejahatan ekonomi ke pengadilan maupun melakukan penyitaan aset secara konvensional.
Nah, kesulitan itulah yang membuat pemulihan aset kerugian negara atau kerugian sosial-ekonomi dari berbagai kejahatan ekonomi selama ini masih rendah. ”Sehingga belum cukup membantu keuangan negara dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.
Dian menambahkan, UU Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang ada saat ini masih sangat terbatas dalam mengusut tindak pidana ekonomi. Itu disebabkan UU tersebut kurang progresif dalam hal penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana.