Tantangan Diplomasi Indonesia terhadap Myanmar
HARI-hari ini Indonesia dihadapkan pada kesulitan menghadapi situasi di Myanmar. Kedubes Indonesia di Yangon ”diserbu” para demonstran prodemokrasi pendukung Aung San Suu Kyi. Mereka menuduh Indonesia mendukung kudeta militer dan menerima usulan pemilu setahun lagi yang diajukan oleh pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing. Indonesia dianggap tidak lagi prodemokrasi sebagaimana citra yang dibangun selama ini.
Pihak Indonesia melalui jubir Kemenlu sudah menjelaskan bahwa ini adalah kesalahpahaman. Jakarta menginginkan dialog dan penyelesaian masalah sesuai dengan hukum yang berlaku di sana. Indonesia mencoba mengajak negara-negara anggota ASEAN yang lain, seperti biasanya, untuk mengambil satu pernyataan dan langkah bersama dalam menghadapi masalah tersebut.
Sebagai primus inter pares, memang banyak negara yang melihat sikap Indonesia. Berbagai negara menginginkan Indonesia mengambil sikap tegas. Tegas untuk menyatakan kudeta itu tidak sah dan meminta pemerintah militer menerima hasil pemilu 8 November 2020. Menlu RI Retno Marsudi diminta membawa pesan itu seandainya berkunjung dan bertemu pemimpin junta di sana.
Ini tentu bukan suatu hal yang mudah. Dalam kasus Myanmar, Indonesia mempunyai posisi yang unik. Indonesia adalah negara yang paling dapat diterima oleh Myanmar, baik oleh pihak militer maupun pejuang prodemokrasi. Pihak militer Myanmar sejak lama sebetulnya mengidolakan sistem dwifungsi ABRI seperti zaman Pak Harto. Ketika membuka diri untuk Pemilu 2010, mereka mendesain terlebih dulu sistem pemilu yang memberikan posisi 25 persen kursi ke militer, baik di DPR maupun Senat. Hampir persis seperti yang dilakukan Pak Harto. Kalangan militer juga mem-back
up partai, mirip seperti di Indonesia saat militer mendukung Golkar di zaman rezim Soeharto. Mereka membuat Union Solidarity and Development Party (USDP). Hanya, partai ini kalah dalam pemilu. Jauh sekali dibanding kesuksesan Golkar di Indonesia.
Dalam Pemilu 2020, mereka hanya memperoleh 26 kursi di DPR dan 7 di Senat. Menurun 4 kursi di kedua lembaga itu dibanding Pemilu 2015. Jumlah tersebut jauh dibanding perolehan partainya Suu Kyi, National League for Democracy (NLD), yang memperoleh 258 dan 138 kursi.
Namun, berbeda dengan Myanmar, Indonesia kemudian meninggalkan sistem dwifungsi dan memilih jalan demokrasi pada 1998. Indonesia juga menjadikan demokrasi tema baru dalam politik luar negerinya, termasuk di ASEAN. Jakarta mendorong pembentukan ASEAN Charter yang menghargai HAM dan demokrasi. Indonesia juga memelopori terbentuknya komisi HAM ASEAN.
Upaya diplomasi Indonesia dan ASEAN terhadap junta militer
Myanmar dimulai sejak 1997, ketika negara itu diterima menjadi anggota ASEAN. Penerimaan tersebut dipandang aneh karena menjadi sebuah masalah. ASEAN dikecam dunia internasional karena dianggap mendukung rezim militer. Namun, sebagaimana diketahui, ASEAN mempunyai cara sendiri yang konstruktif dan tidak konfrontatif dalam memengaruhi Myanmar. Pemerintahan militer melunak dan mulai membuka diri. Masuknya Myanmar dalam ASEAN menciptakan kondisi bahwa pilihan bagi militer Myanmar sangat terbatas. Para pemimpin junta diyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bertahan dengan legitimasi yang makin rendah di dunia internasional. Hal ini mendorong perubahan yang menghasilkan konstitusi baru pada 2008 dan berpuncak pada penyelenggaraan pemilu pada 2010, 2015, dan 2020.
Kalangan prodemokrasi di Myanmar mungkin lupa dengan proses diplomasi Indonesia dan ASEAN yang unik itu. Mereka mungkin tidak mengikuti bahwa
megaphone diplomacy yang mengecam dan menekan bukan cara ASEAN. Hal itu justru akan menambah kekerasan karena mengisolasi pemerintahan militer. Junta militer akan mencari aliansi-aliansi baru, seperti dengan Tiongkok, untuk memperkuat kontrol terhadap rakyat sipil.
Sementara itu, bagi negaranegara Barat, sikap Indonesia dan ASEAN ini dianggap plinplan dan tidak jelas. Mereka ingin ASEAN mengeluarkan pernyataan resmi mengutuk kudeta. Atau kalau perlu mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan ASEAN. Padahal, cara Indonesia untuk tetap menjaga kedamaian di negara itu adalah dengan mencegah pertumpahan darah dan terus membuka dialog.
Belajar dari pengalaman sebelum ini, Indonesia perlu mengingatkan Myanmar bahwa tindakan junta akan kembali menyulitkan ASEAN dalam kerja sama internasional. Negara-negara Barat dulu sempat mengancam akan mengakhiri bantuan ke negara-negara ASEAN bila mereka tidak mengecam junta militer Myanmar. Di berbagai pertemuan internasional, berbagai negara selalu menanyakan masalah Myanmar ke ASEAN. Jadi, ia menjadi semacam duri dan masalah bagi ASEAN.
Walaupun ASEAN masih memegang prinsip-prinsip kedaulatan dan tidak campur tangan pada urusan negara lain, tiap-tiap negara punya pandangan sendiri-sendiri. Ada yang sangat tajam mengecam kudeta tersebut. Ada yang menganggap itu urusan dalam negeri Myanmar. Ada juga yang masih diam. Ini merupakan tugas berat Indonesia untuk membangun kata sepakat dan sikap bersama.
Menlu Indonesia dalam bulan ini sudah mengunjungi beberapa negara ASEAN, seperti Brunei dan Thailand, untuk membangun sikap bersama. Dibanding dengan diplomasi ASEAN terhadap Myanmar pada 1990-an, kini Indonesia lebih punya banyak amunisi untuk menekan Myanmar. Selain kudeta militer semakin tidak
legitimate, kelompok prodemokrasi di Myanmar sudah semakin kuat. Mereka juga sudah merasakan kebebasan dan tidak ingin proses demokratisasi dibalik.
Tantangan bagi diplomasi Indonesia adalah memastikan bahwa pintu dialog tetap terbuka antara militer dan pendukung prodemokrasi, sehingga tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih besar. Indonesia perlu meyakinkan anggota-anggota ASEAN agar mengambil sikap bersama yang lebih tegas bahwa pengambilan kekuasaan secara paksa bukan cara ASEAN. Bahwa hal ini bertentangan dengan Piagam ASEAN yang bertujuan memperkuat demokrasi, pemerintahan yang baik, mempromosikan, serta melindungi HAM dan kebebasan dasar. (*)