Tembak Saya, Yang Mulia
DILIPUT media, seorang mantan menteri yang dijerat KPK dalam kasus suap berkata begini: ”Sekali lagi, kalau memang saya dianggap salah, saya tidak lari dari kesalahan. Saya tetap tanggung jawab. Jangankan dihukum mati, lebih dari itu pun saya siap. Yang penting demi masyarakat saya.’’
Jadi, andai nanti divonis bersalah, dia tidak akan banding? Termasuk jika dijatuhi hukuman mati, dia akan meminta penasihat hukumnya untuk langsung menerima putusan majelis hakim? Kalau demikian adanya, ini bakal menjadi preseden positif. Mengurangi beban Mahkamah Agung. Semoga bisa diteladani para tersangka atau terdakwa korupsi lainnya.
Tapi, ”ultimatum” siap dihukum mati sebetulnya bukan barang baru. Pada 2011 ada juga terdakwa korupsi yang koar-koar siap ditembak mati. Setahun kemudian, politikus lain yang juga diciduk KPK beretorika, ’’Siap digantung di Monas.’’
Faktanya, dua orang penting yang sesumbar siap dikirim ke liang lahad itu divonis bersalah, tapi tidak ada satu pun yang diganjar hukuman mati. Juga, keduanya tidak berinisiatif menembak atau menggantung diri mereka sendiri.
Akal sehat mengatakan tidak ada manusia, pelaku kejahatan sekalipun, yang punya kesanggupan diterjang pelor, dijerat tambang, disuntik zat kimia mematikan, diberi semburan gas beracun, ataupun dikenai metode hukuman mati lainnya. Apalagi disodorkan sebagai hidangan hidup bagi anjinganjing yang kelaparan, seperti konon dipraktikkan penguasa Korea Utara. Namun, akal sehat sedemikian rupa perlu dikoreksi. Apa pasal?
Tercatat dua narapidana pada dua kasus berbeda. Michael Passaro dihukum mati karena membakar diri dan darah dagingnya sendiri. Di momen maut, Passaro keluar dari mobil yang telah diamuk api. Anak perempuannya, berumur 2 tahun, tewas dalam kondisi terikat.
Di luar kelaziman, Passaro sama sekali tidak mengajukan guilty plea. Pun tidak melakukan upaya hukum yang lebih tinggi guna mengoreksi vonis juri maupun mengubah hukuman yang akan dia terima. Passaro eksplisit meminta agar dijatuhi hukuman mati. Passaro mengatakan, dirinya mencari kematian justru agar bisa selekasnya berkumpul kembali dengan putrinya dan istrinya. Passaro bukan kriminal bergangguan jiwa.
Pada lain masa, ada Timothy McVeigh, pelaku terorisme di Oklahoma. Dia menerima hukuman mati dengan sepenuh hati. Tanpa kepanikan, amarah, ataupun ’’pikir-pikir dahulu’’. Menjelang pelaksanaan eksekusi berupa suntik mati, McVeigh sangat kooperatif. Dia menatap ke arah kamera. Dengan gestur sedemikian rupa, semua saksi seolah bertatapan langsung dengan si teroris. Tidak ada kata-kata yang McVeigh ucapkan sebagai kalimat terakhir. Dia sebatas menyerahkan sebait puisi karya pujangga William Ernest Henley, ’’Aku adalah tuan atas nasibku. Akulah sang kapitan atas nyawaku.’’
Para pelaku kejahatan dengan tabiat seperti Passaro dan McVeigh disebut sebagai pesakitan yang menjalani eksekusi mati secara sukarela. Uniknya, sejumlah praktisi hukum berusaha agar para terpidana seperti itu tidak jadi dieksekusi. Alasannya, kematian tidak menyakitkan, tapi sesuatu yang dicari para terpidana. Mengeksekusi mereka sama artinya dengan menyenangnyenangkan para pesakitan tersebut. Dan itu kontras dengan esensi hukuman mati sebagai perlakuan paling menyengsarakan atas kelakuan jahat yang tak terampunkan.
Salah satu nama yang disebutsebut sebagai pelopor ’’relawan’’ eksekusi mati adalah Gary Mark Gilmore. Tak berapa lama setelah moratorium hukuman mati dicabut, dalam persidangan, Gilmore menolak didampingi penasihat hukum. Kemungkinan banding juga dikesampingkannya. Gilmore dengan penuh keikhlasan meminta agar dihukum mati.
Permintaannya dikabulkan. Sebelum tim eksekutor menembak jantungnya, Gilmore berseru heroik, ’’Let’s do it.’’ Sejak itu, data Death Penalty Information Center menunjukkan peningkatan jumlah terpidana yang sukarela dihukum mati. Dalam kurun 1977 hingga 1992, ada 22 consensual execution. Sementara antara 1993 dan 2002, angkanya naik ke 75.
Peningkatan minat para terpidana mati untuk segera dieksekusi, menurut kajian, diakibatkan oleh sekian banyak alasan. Ada yang disebabkan si terpidana membenci dirinya sendiri. Lainnya, penebusan dosa. Terpidana lain merasa tugasnya sebagai orang tua sudah selesai; anakanak sudah besar dan hidup layak, tak lagi mereka harus bertemu secara rutin.
Satu alasan lagi di balik consensual execution adalah begitu beratnya penderitaan yang terpidana alami selama menunggu antrean. Bukan karena usia tua maupun sakit kronis. Dari situ bisa dipahami, tidak semata eksekusi mati yang memunculkan kengerian. Proses hukum yang meletihkan dan masa-masa penantian eksekusi yang tanpa kepastian juga menjadi impitan hidup tersendiri. Dan itulah yang ingin dilewati para terpidana dengan meminta agar hari pelaksanaan hukuman mati didatangkan lebih cepat.
Pengacara Harus Bagaimana? Anggaplah para pelaku kejahatan korupsi di tanah air bersedia dijatuhi hukuman mati. Bahkan boleh jadi ke depan ada terdakwa rasuah yang gagah berani meminta kepada majelis hakim tipikor agar dijatuhi hukuman maksimal tersebut. Mendampingi klien dengan aspirasi semacam itu, apa yang sepatutnya dilakukan penasihat hukum para terdakwa tersebut?
Tampaknya ada dilema di sini. Pada satu sisi, penasihat hukum tentu diikat etika untuk bekerja maksimal sesuai ekspektasi klien mereka. Pengacara profesional pastinya senantiasa meyakinkan klien mereka bahwa harapan itu bisa diperjuangkan menjadi kenyataan. Tapi, pada sisi lain, bisa dinalar, setiap pengacara terpanggil untuk menjauhkan klien mereka dari ancaman sanksi pidana seberat-seberatnya, apalagi hukuman mati.
Alhasil, kita berharap para pelaku korupsi tidak akan mencla-mencle terkait kesanggupan mereka untuk menerima (apalagi meminta) hukuman cabut nyawa. Seiring dengan itu, pengacara para pelaku tersebut patut menyimaknya baikbaik, lalu mengikhtiarkannya dengan sepenuh jiwa.
Wallahu a’lam. (*)
*) Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne