Tolak Diskriminasi Pendidikan
KOMITMEN menyerap aspirasi masyarakat melalui reses telah dilakukan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Hj Anik Maslachah SPd MSi beberapa waktu lalu. Dari hasil eksplorasinya di lapangan, dia mengungkap banyak keluhan terkait pendidikan di Jawa Timur.
Anik yang mewakili dapil Sidoarjo memaparkan, dalam pasal 5 UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. ”Tidak boleh ada diskriminasi dalam pendidikan,” ujarnya kepada Jawa Pos, Kamis (25/2).
Sayang, payung hukum itu tak berjalan mulus di lapangan. Misalnya, perbedaan perlakuan dalam Program Indonesia Pintar (PIP). ”Sekolah di bawah naungan Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) hampir 100 persen siswanya mendapat bantuan PIP. Sedangkan siswa madrasah paling banter hanya 20–30 persen dari jumlah siswa,” ungkap Anik.
Dia menawarkan dua solusi. Madrasah yang saat ini menjadi kewenangan Kementerian Agama (Kemenag) beralih ke Kemendikbud. Dengan demikian, tidak ada perbedaan kebijakan antara sekolah umum dan madrasah. Opsi kedua, porsi kebijakan harus sama antara Kemendikbud dan Kemenag terkait isu pendidikan.
Diskriminasi terhadap madrasah juga terlihat dalam penyaluran dana BPOPP (biaya penunjang operasional penyelenggaraan pendidikan). ’’Siswa yang sekolah di bawah naungan diknas mendapat BPOPP, tapi siswa madrasah tidak dapat,” papar Anik.
Hal lain lagi dia temukan dalam reses, yakni terkait dengan bantuan kuota internet dari Kemendikbud yang nilainya mencapai Rp 9 triliun. Saat itu,100 persen siswa sekolah yang berinduk di diknas mendapat bantuan kuota internet. Sebaliknya, madrasah yang berinduk di kemenag tidak mendapat bantuan tersebut.
Isu lain yang berhasil dia tampung adalah kesejahteraan guru SMA/SMK. Ada perubahan kesejahteraan guru setelah terjadi alih wewenang dari pemkab/ pemkot ke pemprov. ”Dulu mereka dapat dana kesejahteraan, namun saat ini berbeda. Padahal, guru SMA/SMK tuntutannya cukup tinggi. Saya harap ini mendapat perhatian serius,” kata Anik.
”Kesejahteraan guru SMA/SMK harus sama dengan guru TK, SD, dan SMP. Perlu ada good will dari pemerintah. Misalnya, pemerintah kabupaten/kota menggunakan dana sharing dari pemprov untuk menjamin kesejahteraan guru SMA/SMK. Itu solusi dari saya,” lanjut sekretaris DPW PKB Jatim itu.
Tak mau problem di masyarakat menguap begitu saja, Anik terus mengawal hingga menginisiasi untuk berjuang ke kemenag agar terjadi keseimbangan kebijakan yang sama antara pendidikan di sekolah maupun madrasah pada Maret mendatang. Dia juga berharap pendidikan di Jawa Timur tetap mengutamakan pendidikan vokasional. Anak dididik untuk peka terhadap peluang, memiliki skill, dan siap kerja sehingga tidak menambah jumlah pengangguran di tengah situasi pandemi sekaligus bonus demografi Jatim.
”Saya berharap pemprov bersama pemerintah pusat merekonstruksi kembali komposisi kebutuhan sekolah antara akademik dan vokasional. Yakni, vokasional 70 persen, akademik 30 persen dengan payung hukum pergub,” tuturnya.