Jawa Pos

Mimpi 4.0, Bangun Masih 0.1 EKA KURNIAWAN

Dulu, saya sering diajak ayah untuk belanja kain batik. Kalau tidak ke Solo, biasanya ke Pekalongan.

- EKA KURNIAWAN Penulis dan novelis, nomine The Man Booker Internatio­nal Prize 2016

TIBATIBA terpikirka­n, kenapa kota-kota itu terkenal dengan industri batiknya? Bisakah kita mengklonin­g kota-kota itu sehingga menciptaka­n lebih banyak kota batik di tempat lain?

Pertanyaan itu muncul sebab tergelitik oleh dengung gagasan tentang menciptaka­n sejenis Silicon Valley ala Indonesia. Pertanyaan sejenis bisa dimunculka­n: mungkinkah kita menciptaka­n pusat perfilman macam Hollywood? Distrik khusus animasi macam Akihabara di Tokyo?

Balik lagi ke batik. Sebagai pemilik konfeksi kecil, ayah saya pernah mencoba bikin batik sendiri di rumah. Masalahnya, di Pangandara­n tempat kami tinggal, tak gampang memperoleh beragam kebutuhan untuk membatik. Kain, malam, pewarna, ya harus bolakbalik beli juga ke Solo atau Pekalongan.

Demikian pula ketika ingin membuat cetakan untuk batik cap. Bisa saja ada tukang las atau patri, tapi ya belum tentu mahir membuat cetakan tembaga sesuai motif yang dikehendak­i. Sebuah keahlian yang umumnya tumbuh karena ada industri di tempat tersebut.

Yang lebih parah, pengetahua­n ayah saya soal membatik juga tidak seberapa. Hanya modal tanya-tanya setiap kali dia berkunjung ke para perajin langganann­ya di kota-kota itu. Mau mempekerja­kan orang? Tetangga kami juga tak punya pengalaman. Mendidik mereka juga bukan perkara sehari–dua hari.

Kenapa kota seperti Pekalongan bisa menjadi surga bagi perajin, pengusaha, juga pembeli batik? Sekilas tengok saja, kita tahu mereka memiliki sejarah panjang. Ada yang menyebut sejak awal abad ke-18, bahkan sejak abad ke-17.

Maka, saya tak heran jika dulu pernah melihat seorang perempuan tua di sana masih meluangkan waktu untuk membuat titik-titik batik di dapurnya. Mencicil satu–dua jam sehari. Entah hobi atau pesanan, yang jelas, saya tahu keterampil­an tersebut sudah mendarah daging dalam dirinya.

Artinya, mengklonin­g keunggulan sebuah kota tidaklah sesederhan­a, ’’Kalau di Pekalongan orang bisa bikin pabrik batik, kenapa di Pangandara­n tidak?’’ Tak hanya modal materi plus keinginan, tapi yang jauh lebih penting adalah kita juga harus menduplika­si modal sosial, sejarah, pengetahua­n, dan tradisi. Gak gampang.

Tentu saja kita boleh bermimpi setinggiti­ngginya. Bahkan harus. Kadang-kadang saya juga mengkhayal kok, misalnya membayangk­an sepanjang Jalan Cikini, Jakarta, merupakan deretan gedung pertunjuka­n dan kita bisa menonton beragam acara macam di Broadway.

Memang kita punya ilustrator-ilustrator hebat, komikus yang bekerja di studio-studio komik Amerika. Tapi, membayangk­an memiliki semacam distrik animasi model Akihabara tentu tak hanya selesai dengan menyiapkan gedung, komputer-komputer grafis berkecepat­an tinggi, serta anak-anak muda terampil.

Industri animasi Jepang tak hanya ditopang oleh itu. Di belakangny­a ada industri manga yang sangat kuat dengan pembaca jutaan. Juga industri game. Di belakang industri manga ada sejarah panjang seni grafis, terulur antara lain hingga seni cetak cukil kayu di masa lampau. Dengan mudah kita melihat jejak garis cukil kayu Hokusai dan sejawatnya di garis-garis manga maupun anime.

Hal yang sama juga terjadi jika kita membayangk­an sejenis alih teknologi, atau bahkan hasrat mengklonin­g sebuah iklim industri teknologi tinggi macam Silicon Valley. Yang kita butuhkan bukan sekadar tempat, kemudian orangorang genius dari berbagai bidang dikumpulka­n.

Seperti bagaimana kita bisa melihat sejarah panjang tradisi batik di Pekalongan, kita dengan gampang juga melihat bagaimana teknologi-teknologi terkini lahir di Silicon Valley. Itu bukan sekadar sebuah tempat dengan orang-orang pintarnya. Itu sebuah sejarah, antara kebutuhan teknologi militer Amerika dan tradisi riset serta keilmuan universita­s-universita­s macam Stanford.

Maksud saya, jika kita ingin mengklonin­g keberhasil­an atau kehebatan seseorang, sekelompok masyarakat, sebuah kota, sebuah bangsa, ya harus lihat jejak panjangnya. Dalam perkara berhasrat bersaing di era teknologi digital di masa depan, kita gak bisa mengabaika­n diri bahwa harus punya fondasi yang kukuh.

Orang pintar di negeri ini lahir dari waktu ke waktu. Kita pernah punya presiden yang bahkan bisa bikin pesawat terbang. Mengumpulk­an mereka juga gampang. Kasih mereka duit dan tempat, terus disuruh bikin sesuatu juga bisa. Pak Habibie pernah memegang industri pesawat, tapi tetap saja kita belum berada di level persaingan dengan Boeing atau Airbus.

Mari kita jujur: mereka adalah outlier. Yang kita butuhkan bukanlah sekelompok kecil orang genius. Yang kita butuhkan adalah masyarakat luas yang bakal mendukung iklim semacam itu.

Beresi dulu sekolahsek­olah. Beresi dulu universita­s-universita­s agar menjadi ladang riset yang unggul. Hingga pada akhirnya, kita memiliki masyarakat yang memang tergila-gila pada sains, teknologi, teknik, serta ilmu pengetahua­n secara umum.

Ibaratnya, kita boleh dan harus bermimpi melompat ke dunia 4.0, atau bahkan sudah 5.0, tapi jangan lupa bangun dan bertanya, sudah kukuh belum langkah 0.1? Tanpa fondasi, percayalah, mimpi gampang ambruk.

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/ JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/ JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia