Mimpi 4.0, Bangun Masih 0.1 EKA KURNIAWAN
Dulu, saya sering diajak ayah untuk belanja kain batik. Kalau tidak ke Solo, biasanya ke Pekalongan.
TIBATIBA terpikirkan, kenapa kota-kota itu terkenal dengan industri batiknya? Bisakah kita mengkloning kota-kota itu sehingga menciptakan lebih banyak kota batik di tempat lain?
Pertanyaan itu muncul sebab tergelitik oleh dengung gagasan tentang menciptakan sejenis Silicon Valley ala Indonesia. Pertanyaan sejenis bisa dimunculkan: mungkinkah kita menciptakan pusat perfilman macam Hollywood? Distrik khusus animasi macam Akihabara di Tokyo?
Balik lagi ke batik. Sebagai pemilik konfeksi kecil, ayah saya pernah mencoba bikin batik sendiri di rumah. Masalahnya, di Pangandaran tempat kami tinggal, tak gampang memperoleh beragam kebutuhan untuk membatik. Kain, malam, pewarna, ya harus bolakbalik beli juga ke Solo atau Pekalongan.
Demikian pula ketika ingin membuat cetakan untuk batik cap. Bisa saja ada tukang las atau patri, tapi ya belum tentu mahir membuat cetakan tembaga sesuai motif yang dikehendaki. Sebuah keahlian yang umumnya tumbuh karena ada industri di tempat tersebut.
Yang lebih parah, pengetahuan ayah saya soal membatik juga tidak seberapa. Hanya modal tanya-tanya setiap kali dia berkunjung ke para perajin langganannya di kota-kota itu. Mau mempekerjakan orang? Tetangga kami juga tak punya pengalaman. Mendidik mereka juga bukan perkara sehari–dua hari.
Kenapa kota seperti Pekalongan bisa menjadi surga bagi perajin, pengusaha, juga pembeli batik? Sekilas tengok saja, kita tahu mereka memiliki sejarah panjang. Ada yang menyebut sejak awal abad ke-18, bahkan sejak abad ke-17.
Maka, saya tak heran jika dulu pernah melihat seorang perempuan tua di sana masih meluangkan waktu untuk membuat titik-titik batik di dapurnya. Mencicil satu–dua jam sehari. Entah hobi atau pesanan, yang jelas, saya tahu keterampilan tersebut sudah mendarah daging dalam dirinya.
Artinya, mengkloning keunggulan sebuah kota tidaklah sesederhana, ’’Kalau di Pekalongan orang bisa bikin pabrik batik, kenapa di Pangandaran tidak?’’ Tak hanya modal materi plus keinginan, tapi yang jauh lebih penting adalah kita juga harus menduplikasi modal sosial, sejarah, pengetahuan, dan tradisi. Gak gampang.
Tentu saja kita boleh bermimpi setinggitingginya. Bahkan harus. Kadang-kadang saya juga mengkhayal kok, misalnya membayangkan sepanjang Jalan Cikini, Jakarta, merupakan deretan gedung pertunjukan dan kita bisa menonton beragam acara macam di Broadway.
Memang kita punya ilustrator-ilustrator hebat, komikus yang bekerja di studio-studio komik Amerika. Tapi, membayangkan memiliki semacam distrik animasi model Akihabara tentu tak hanya selesai dengan menyiapkan gedung, komputer-komputer grafis berkecepatan tinggi, serta anak-anak muda terampil.
Industri animasi Jepang tak hanya ditopang oleh itu. Di belakangnya ada industri manga yang sangat kuat dengan pembaca jutaan. Juga industri game. Di belakang industri manga ada sejarah panjang seni grafis, terulur antara lain hingga seni cetak cukil kayu di masa lampau. Dengan mudah kita melihat jejak garis cukil kayu Hokusai dan sejawatnya di garis-garis manga maupun anime.
Hal yang sama juga terjadi jika kita membayangkan sejenis alih teknologi, atau bahkan hasrat mengkloning sebuah iklim industri teknologi tinggi macam Silicon Valley. Yang kita butuhkan bukan sekadar tempat, kemudian orangorang genius dari berbagai bidang dikumpulkan.
Seperti bagaimana kita bisa melihat sejarah panjang tradisi batik di Pekalongan, kita dengan gampang juga melihat bagaimana teknologi-teknologi terkini lahir di Silicon Valley. Itu bukan sekadar sebuah tempat dengan orang-orang pintarnya. Itu sebuah sejarah, antara kebutuhan teknologi militer Amerika dan tradisi riset serta keilmuan universitas-universitas macam Stanford.
Maksud saya, jika kita ingin mengkloning keberhasilan atau kehebatan seseorang, sekelompok masyarakat, sebuah kota, sebuah bangsa, ya harus lihat jejak panjangnya. Dalam perkara berhasrat bersaing di era teknologi digital di masa depan, kita gak bisa mengabaikan diri bahwa harus punya fondasi yang kukuh.
Orang pintar di negeri ini lahir dari waktu ke waktu. Kita pernah punya presiden yang bahkan bisa bikin pesawat terbang. Mengumpulkan mereka juga gampang. Kasih mereka duit dan tempat, terus disuruh bikin sesuatu juga bisa. Pak Habibie pernah memegang industri pesawat, tapi tetap saja kita belum berada di level persaingan dengan Boeing atau Airbus.
Mari kita jujur: mereka adalah outlier. Yang kita butuhkan bukanlah sekelompok kecil orang genius. Yang kita butuhkan adalah masyarakat luas yang bakal mendukung iklim semacam itu.
Beresi dulu sekolahsekolah. Beresi dulu universitas-universitas agar menjadi ladang riset yang unggul. Hingga pada akhirnya, kita memiliki masyarakat yang memang tergila-gila pada sains, teknologi, teknik, serta ilmu pengetahuan secara umum.
Ibaratnya, kita boleh dan harus bermimpi melompat ke dunia 4.0, atau bahkan sudah 5.0, tapi jangan lupa bangun dan bertanya, sudah kukuh belum langkah 0.1? Tanpa fondasi, percayalah, mimpi gampang ambruk.