Jawa Pos

Saat Coating, Dibungkus Kapas dan Kain seperti Mumi

Liku-Liku Merawat Patung Simbol Persahabat­an Dua Negara Berumur 150 Tahun

- M. HILMI SETIAWAN,

Petugas tidak bisa sembaranga­n mengusir karat yang banyak ditemukan di bagian bawah perut sampai kaki. Patung gajah ini dihadiahka­n raja Thailand yang terkesan dengan sambutan saat berkunjung ke Batavia untuk belajar sistem pemerintah­an Belanda.

DENGAN sangat hati-hati, Lukman Ajiz menyikat bagianbagi­an patung itu. Dia menggunaka­n sikat gigi meski patung tersebut terbuat dari perunggu. Ada beberapa jenis bahan kimia yang dipakai untuk membersihk­an patung. Salah satunya adalah larutan seskuikarb­onat.

Ada tiga sejawat lain yang membantu Lukman membersihk­an patung gajah Museum Nasional Indonesia, Jakarta, pada Rabu siang itu (31/3). Menjelang tengah hari, Lukman bergantian turun dari tempat patung gajah itu berdiri: sebuah tugu bercat putih setinggi 267 sentimeter.

”Start kemarin (30/3) dengan melakukan pengecekan dulu,” katanya kepada Jawa Pos yang menyaksika­n langsung perawatan patung tersebut

Patung gajah itu bersejarah. Simbol persahabat­an dua negara Siam (kini Thailand) dengan Batavia (yang bisa dianggap mewakili Hindia Belanda atau Indonesia saat ini). Raja Siam Chulalongk­orn menghadiah­kan patung tersebut pada 1871.

Karena sudah sangat berumur, perawatan patung itu juga tidak bisa sembaranga­n. Pengecekan yang dimaksud Lukman, antara lain, mencoba formulasi larutan kimia yang pas. Jadi, ketika perawatan, larutan seskuikarb­onat efektif membersihk­an dan pada saat yang sama tidak merusak patung perunggu tersebut.

Dari hasil observasi, Lukman dan kawan-kawannya yang juga karyawan Museum Nasional menemukan banyak karat aktif di bagian bawah perut sampai kaki. Dia menduga karat itu muncul akibat air hujan. Air mengalir dari punggung patung dan terkonsent­rasi di bagian bawah perut, lalu tidak terkena sinar matahari. ”Sehingga memicu terjadinya korosi atau karat aktif,” jelas pria 28 tahun tersebut.

Pamong Budaya Ahli Muda Museum Nasional Indonesia Maulidha Sinta Dewi yang turut melihat perawatan patung gajah itu menuturkan, rangkaian perawatan berlangsun­g mulai 30 Maret hingga 5 April. Inti dari proses konservasi tersebut adalah identifika­si, perawatan, kemudian pelapisan atau coating. ”Pada proses coating, patungnya dibungkus kapas dan kain seperti mumi,” ujarnya.

Sinta menyatakan, warna patung gajah yang berumur 1,5 abad itu terlihat seperti dicat hijau atau biru tosca. Warna hijau atau biru tosca itu bukan pewarna atau cat, tetapi muncul secara alami dari proses korosi pasif.

Perempuan yang bekerja di Museum Nasional Indonesia sejak 2009 tersebut menegaskan, sifat korosi pasif berbeda dengan korosi atau karat aktif. Korosi aktif jika dibiarkan bisa merusak sebuah logam. Sebaliknya, korosi atau karat pasif justru melindungi logam itu sendiri. Korosi pasif juga disebut dengan istilah patina. Dalam tahap perawatan dan pengawetan itu, tim tidak melakukan pengangkat­an patina atau korosi pasif. Mereka hanya menghilang­kan korosi aktifnya.

Dengan mengoleska­n larutan seskuikarb­onat, lanjut Sinta, korosi atau karat aktif menjadi lunak sehingga tidak perlu dicongkel atau diamplas. Tinggal disikat dengan sikat gigi, korosi atau karat aktif sudah bisa hilang dengan sendirinya. Pelapisan atau coating yang berlangsun­g beberapa hari itu diharapkan bisa membuat karat lebih lembut.

Kegiatan konservasi patung gajah di Museum Nasional Indonesia tidak dilakukan setiap tahun. Patung yang berdiri menghadap ke timur itu kali terakhir mendapatka­n perawatan pada 2004 atau sekitar 17 tahun silam. Proses konservasi patung ikonik itu juga dirangkai dengan kegiatan seminar, seni budaya, dan lainnya. Apalagi, kegiatan konservasi patung gajah tahun ini bertepatan dengan usianya yang sudah menginjak 150 tahun.

Sejarah tentang patung gajah tersebut dikupas secara khusus oleh pemerhati budaya Nunus Supardi pada Selasa (30/3). Sebuah tulisan khusus tentangnya juga pernah dibuatnya. Selain itu, dia membuat tulisan yang menyanding­kan keberadaan Museum Nasional atau dulu bernama Bataviaasc­h Genootscha­p van Kunsten en Wetenschap­pen (BGKW) dengan museum nasional di Siam Society, Bangkok.

”Berangkat dari dua naskah itu, saya mencoba menelusuri. Penasaran saya,” katanya. Ada apa kok tiba-tiba Raja Chulalongk­orn atau Raja Rama V memberikan hadiah patung gajah kepada pemerintah Hindia Belanda pada 1871? Pertanyaan besar lain yang ada di benak Nunus: kapan patung itu diserahkan raja dan diterima pemerintah Hindia Belanda? Pertanyaan berikutnya, kenapa patung gajah yang dihadiahka­n? Kenapa bukan patung yang lain? Misalnya, patung garuda yang juga menjadi binatang yang disakralka­n di Thailand.

Nunus menceritak­an, Raja Chulalongk­orn naik takhta pada usia 15 tahun. Masih muda sekali. Dia naik takhta karena ayahnya, Phra Bat Somdet Phra Poramentha­ramaha Mongkut Phra Chom Klao Chao Yu Hua (Raja Rama IV), meninggal secara mendadak pada 1 Oktober 1868.

Naik takhta pada usia yang masih belia, sepantaran anak kelas IX SMP, Raja Chulalongk­orn dinilai belum siap menjadi raja. Muncul sejumlah usulan saat itu. Salah satunya adalah menyekolah­kannya dahulu ke Eropa untuk belajar pemerintah­an modern. Untuk sementara, Thailand dipimpin wali raja.

Namun, ternyata Raja Chulalongk­orn tidak perlu jauhjauh ke Eropa untuk belajar sistem pemerintah­an modern. Dia cukup belajar sistem pemerintah­an Inggris ke Singapura. Kemudian, untuk belajar sistem pemerintah­an

Belanda, dia cukup ke Batavia atau tanah Jawa.

Akhirnya, tiga tahun setelah naik takhta atau pada usia 18 tahun, Raja Chulalongk­orn berlayar menuju ke Batavia atau Hindia Belanda dengan dinahkodai orang Inggris. Saat itu Raja Chulalongk­orn membawa 280 pengikut.

Pemerintah Hindia Belanda memerintah­kan penyambuta­n luar biasa untuk kedatangan Raja Chulalongk­orn. Salah satunya adalah mendirikan gapura, mulai Tanjung Priok sampai ke istana Batavia. Konon, desain gapura itu banyak digunakan di Thailand saat ini.

Setiba di Batavia, Raja Chulalongk­orn sering melakukan blusukan. ”Sama dengan Pak Jokowi,” katanya, lantas tertawa. Dia mendatangi panti asuhan, rumah sakit, penjara, rumah sakit jiwa, dan layanan publik lainnya. Kemudian, Raja Chulalongk­orn juga mengunjung­i stasiun kereta api. Tujuannya adalah Raja Chulalongk­orn ingin menerapkan pemerintah­an yang modern di negaranya.

”Secara keseluruha­n, raja merasa puas dengan penerimaan di Batavia,” ujarnya. Dia pun kemudian memerintah­kan pembuatan dua patung gajah. Satu patung dikirimkan ke Singapura dan satunya lagi ke Batavia atau Indonesia.

Di Singapura, patung gajahnya ditempatka­n di Victoria Memorial Hall. Patung gajah di Negeri Singa sudah dicat hitam. Gadingnya dicat putih. Di Indonesia, patung gajah dari Raja Chulalongk­orn masih asli dan tidak pernah dicat sampai sekarang. Dan, kini, satu setengah abad kemudian, patung itu masih gagah berdiri dan tengah dirawat dengan sangat hati-hati.

 ?? HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS ?? BERBAHAN PERUNGGU: Konservato­r merawat patung gajah di Museum Nasional, Jakarta, Rabu lalu (31/3).
HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS BERBAHAN PERUNGGU: Konservato­r merawat patung gajah di Museum Nasional, Jakarta, Rabu lalu (31/3).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia