Jawa Pos

Jangan Ada Lagi Pelesetan Badminton without Fairness

-

BADMINTON lover di tanah air mungkin sering dibuat kecewa jika wakil Indonesia gagal meraih gelar di sebuah turnamen. Tapi, mereka bisa cepat move on dari rasa kecewa itu. Lalu, kembali menebar optimisme jika duta Merah Putih bertanding di turnamen yang lain. Tapi, kejadian yang menimpa wakil Indonesia di All England 2021 lalu hingga kini masih membekas.

Tak pernah ada kekecewaan dan kemarahan yang semasif seperti saat Hendra Setiawan dkk dipaksa angkat koper lebih dini. Mereka kesal melihat bintang-bintang bulu tangkis terbaik di tanah air diperlakuk­an secara diskrimina­tif. Lebih menyakitka­n lagi, perlakukan diskrimina­tif itu didapatkan karena kesalahan yang tak pernah dilakukan para duta badminton Indonesia.

Flash back sejenak. Tim bulu tangkis Indonesia saat itu dipaksa menjalani karantina mandiri setelah diketahui satu pesawat dengan penumpang yang terpapar Covid-19. Mereka diwajibkan karantina selama 10 hari.

Padahal, turnamen sudah bergulir dan beberapa pemain sudah menjalani laga pertamanya. Itu berarti, kontingen Indonesia dipaksa kalah WO dari turnamen bulu tangkis tertua di dunia tersebut.

Itulah yang memicu kemarahan warganet dan publik bulu tangkis di tanah air. Apalagi, mereka tahu kalau sebelum keberangka­tan ke Birmingham, Hendra Setiawan dkk telah menjalani protokol kesehatan yang ketat. Mulai tes PCR sebelum terbang hingga menjalani vaksinasi sebanyak dua tahap. Bahkan, sebelum bertanding, tim bulu tangkis Indonesia seluruhnya telah dinyatakan negatif.

Kesan diskrimina­tif makin terlihat karena adanya perbedaan perlakuan yang diterima kontingen lain. Ya, sebelum turnamen, ada tujuh pemain, pelatih, dan staf dari Denmark, India, dan Thailand yang mendapat hasil positif. Namun, toh kontingen dari negara-negara tersebut masih diperboleh­kan bertanding.

Spontan. Jari-jari netizen di tanah air beraksi. Mereka ramai-ramai ”bersilatur­ahmi’’ ke akun media sosial BWF (Badminton World Federation) atau federasi bulu tangkis dunia. Tak hanya akun BWF. Netizen Indonesia juga menyambang­i akun Instagram resmi All England.

Begitu derasnya hujatan dan smes dari netizen di tanah air, akun bercentang biru tersebut sampai harus hilang dari peredaran. Kalimat Unfair mendominas­i kolom komentar BWF dan All England. Tak sedikit pula yang memelesetk­an kepanjanga­n BWF menjadi Badminton without Fairness.

Tagar #BWFunfair dan #BWFmustber­esponsible juga menggema di Twitter milik BWF. Begitu spontan. Tak salah jika dalam sebuah acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta, Praveen Jordan memuji dukungan dari netizen. ”Netizen Indonesia sudah mewakili amarah kami,’’ kata Praveen.

Ya, harus diakui, kalau soal kekompakan dan rasa nasionalis­me, netizen Indonesia memang patut dikedepank­an. Sila ketiga Pancasila: Persatuan

Indonesia, spontan akan mereka amalkan jika ada kasus yang dinilai melecehkan harga diri bangsa. Apalagi, di dunia bulu tangkis, Indonesia bukanlah negara middle power. Namun, Indonesia adalah salah satu superpower bulu tangkis dunia.

Efek dari gencarnya hujatan netizen, BWF akhirnya menyampaik­an permintaan maaf secara resmi kepada Indonesia. Namun, permintaan maaf saja tak cukup. Indonesia tetap mencari keadilan atas perlakuan diskrimina­tif di arena All England. Wacana untuk menggugat BWF ke Badan Arbitrase Olahraga Dunia (CAS) pun sudah disusun.

Kenapa BWF? Induk organisasi bulu tangkis dunia tersebut memang terlihat tak berdaya untuk melindungi anggotanya. Mereka tak cukup piawai untuk ”menyiasati’’ regulasi dan peraturan karantina yang diterapkan negara penyelengg­ara turnamen.

Dalam hal tersebut, negara penyelengg­ara All England adalah Inggris. Harusnya, jauh-jauh hari BWF sudah mempelajar­i aturan karantina di Inggris. Di Inggris, jika bepergian dalam satu pesawat yang sama dengan orang yang positif Covid-19, penumpang lain di pesawat tersebut harus menjalani isolasi selama 10 hari. Hal itu dilakukan untuk melihat apakah dalam 10 hari gejala korona akan muncul. Nah, munculnya kasus semacam itu, rupanya, tak diantisipa­si BWF.

Harusnya pula, BWF tak segan belajar dari pengalaman turnamen dari induk organisasi olahraga dunia lainnya. Misalnya, Australia Open 2021. Induk organisasi tenis dunia (ITF) dan pihak penyelengg­ara tahu betul ketatnya aturan karantina di Australia. Pendatang yang masuk ke Australia wajib menjalani karantina selama 14 hari.

Karena itu, mereka mewajibkan para petenis untuk datang ke Australia pada 15–17 Januari. Sebab, turnamen mulai berlangsun­g 8 Februari hingga 21 Februari. Dengan datang lebih dini, ada jeda yang cukup panjang untuk melakukan karantina. Itu jika saat di pesawat, ada petenis yang satu rombongan dengan penumpang Covid-19. Jadi, tidak dipaksa melakukan karantina saat turnamen sudah berlangsun­g seperti yang dialami kontingen Merah Putih di All England.

All England 2021 sudah berlalu. Kecewa boleh-boleh saja. Tapi, dari kasus All England, ada pelajaran yang harus dipetik PBSI jika akan berlaga di luar negeri. Agenda besar terdekat adalah Olimpiade Tokyo 2020.

Sebelum bertolak ke Negeri Sakura, ada baiknya otoritas bulu tangkis di tanah air mempelajar­i regulasi karantina dan pencegahan Covid-19 di negara yang bersangkut­an. Sebab, demi medali dan supremasi, segala cara bisa saja dilakukan. Dan, pencegahan Covid-19 bisa dijadikan dalih untuk ”menyingkir­kan’’ negara pesaing.

Jepang memang mendominas­i arena All England 2021. Mereka meraih empat gelar. Namun, di Olimpiade nanti mereka tak bisa nyaman. Sebab, saat di All England, tak ada wakil Tiongkok, Korsel, Taiwan, dan kemudian Indonesia. Nah, negara-negara besar bulu tangkis tersebut bakal mengirimka­n wakilnya di Olimpiade. Namun, sebagai tuan rumah Olimpiade dan baru saja merajai All England, Jepang tentu tak ingin dominasiny­a tergerus. Di sinilah rasa keadilan dari BWF sangat dibutuhkan oleh negara kontestan. Agar, jangan sampai ada lagi tagar dan komentar Badminton without Fairness di akun medsos BWF. (*)

 ?? Wartawan Jawa Pos ?? BASKORO YUDHO
Oleh
Wartawan Jawa Pos BASKORO YUDHO Oleh

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia