Tulis Buku 428 Halaman Selama Koas saat Pandemi
Pengalaman tinggal di Prancis selama sebulan saat program pertukaran pemuda meninggalkan jejak yang begitu dalam di hati Qoimam. Dia pun memilih menulis dan menerbitkan buku agar pengalamannya tak menguap begitu saja. Bisa dibaca atau bahkan ditiru anak m
MOHAMMAD Qoimam Bilqisthi Zulfikar lega betul. Draf buku yang mulai disusunnya sejak 2017 akhirnya bisa dicetak. Dan betul-betul di-launching sebagai sebuah buku yang menjadi karya penulisan pertamanya pada Januari lalu. Buku berjudul It’s Not Just Eiffel yang dicetak Unusa Press itu menyimpan banyak kisah menarik dalam proses kreatifnya.
Qoimam menuturkan, niat untuk menulis buku itu bermula saat dirinya berhasil lolos pertukaran pemuda ke Prancis 2017. Saat itu dia bertekad membuat satu draf sederhana setiap hari selama berada di Prancis. Draf akan menjadi bahan baku utama untuk membuat sebuah buku. Namun, draf itu sempat ngendon cukup lama karena kesibukan perkuliahan dan koas kedokteran. Dan baru mulai digarap lagi saat pandemi.
”Pada dasarnya saya senang menulis sejak SMA. Pada 2017 itu saya dapat beasiswa kegiatan ke Prancis da risalah satu lembaga swasta yang juga menggandeng kedutaan Prancis. Saat pandemi saya koas online sehingga bisa punya lebih banyak waktu untuk menggarap buku lagi,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (2/4). Selama satu bulan, dia mengunjungi beragam tempat. Belajar banyak hal ke berbagai institusi.
Tidak heran kalau alur dalam bukunya mengajak pembaca mengenal tempattempat yang pernah dikunjungi Qoimam. Selayaknya buku travelling. Di beberapa bagian dia menyelipkan quotes alias kata-kata bijak. Selain itu, dia melengkapi buku perdananya dengan QR code. Pembaca bisa memindai itu untuk menikmati ilustrasi berwarna yang mendukung tulisan.
”Saya gandeng ilustrator supaya bisa menciptakan suasana yang seru dalam buku. Sehingga yang membaca juga nggak bosan,” imbuh mahasiswa Jurusan Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) itu. Dia mengaku ada banyak sisi lain dari Prancis yang dituangkannya lewat tulisan. Sebut saja, anggapan tentang rasisme di negara dengan ibu kota Paris itu.
”Ada isu agama di Paris beberapa waktu lalu yang cukup panas. Padahal, dilihat dari sejarah, Islam dan Prancis punya histori yang panjang. Dan di sana merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak di Eropa Barat. Sehingga saya merasa harus memberikan insight atau wawasan pada pembaca Indonesia. Bahwa, yang disampaikan akhir-akhir ini banyak yang tidak sesuai. Saya melihat dan merasakan bahwa muslim di sana bisa hidup berdampingan dengan warga setempat,” paparnya.
Satu lagi yang juga sangat terkenang di hatinya adalah toleransi beragama warga di sana yang mayoritas Katolik. Mereka bisa membedakan Islam dengan terorisme.
”Bahkan, saya mendapat keluarga angkat yang mendukung pembangunan masjid. Dan selalu menyediakan makanan halal untuk saya,” kenang pemuda 24 tahun itu. Dia pun melengkapi bukunya dengan tip dan strategi. Dengan demikian, pembaca, terutama siswa SMA dan mahasiswa, yang punya impian belajar ke Prancis tidak bingung. Detail publikasi beasiswa dan apa saja yang perlu dipersiapkan dituliskan secara gamblang.