Dijuluki Bon Ali karena Sering Ngebon di Kantin Pesantren
Didikan pesantren membuat Bripka Nur Ali Suwandi tumbuh menjadi sosok yang punya kepekaan sosial tinggi. Anggota Provos Polda DIJ itu rela meluangkan waktu untuk merawat lansia hingga anak-anak korban terorisme.
DAFTAR kepedulian Nur Ali untuk sesama begitu panjang. Dari membuat Yayasan Rumah Singgah Bumi Damai untuk anak yatim, membangun Ponpes AlFattah, membuat 7 sumber mata air, membangun 11 masjid, membuat 3 sekolah gratis, hingga membina 600 pemulung dan 2 ribu lansia. Bukan itu saja. Dia juga aktif membantu penyembuhan orang sakit, membina anak-anak para tersangka kasus terorisme, merenovasi wihara, hingga mendirikan radio FM.
Dengan daftar panjang itu, sulit tidak mengakuinya sebagai pribadi yang sangat peduli kepada sesama
Dari semua yang dilakukan itu, banyak cerita yang patut diteladani. Misalnya, saat Nur Ali mendadak harus merawat seorang ibu hamil bernama Nia. Tak diketahui siapa suaminya. Tak diketahui di mana keluarganya. ”Nia saat itu juga dalam keadaan linglung,” kata Nur Ali.
Cerita tersebut berawal pada 2018. Saat itu rumahnya didatangi seorang nenek bersama perempuan muda yang hamil sekitar enam bulan. Perempuan itu belakangan diketahui bernama Nia. ”Nenek itu mengetahui rumah saya dari potongan koran bekas,” kenangnya.
Saat itu nenek tersebut meminta Nur Ali merawat Nia. Perempuan hamil itu ditemukan sang nenek di Jembatan Cebongan, Jogjakarta. ”Nia waktu itu tidak bisa ditanyai karena kondisinya tidak memungkinkan,” paparnya. Jiwa sosial Nur Ali muncul. Dia tak mau menolak permintaan nenek tersebut.
Selama merawat Nia di yayasannya, Nur Ali tak mau banyak bertanya. ”Saya tidak mau bertanya soal keluarga, suami, dan tempat tinggal. Tidak ingin memberikan beban dan malah nanti ngancing (menutup diri, Red),” jelasnya. Bahkan, sampai anak Nia berusia 3 tahun, Nur Ali tetap tak mengetahui latar belakang keluarganya. ”Ikhlas saja sudah,” ujarnya.
Saat Nia melahirkan, terjadi peristiwa yang membuat Nur Ali syok. Saat itu dia berencana liburan bersama istri dan anaknya. Liburan dirancang jauhjauh hari. ”Sempat sengaja menunggu Nia melahirkan, tapi ditunggu seminggu tidak juga melahirkan,” katanya.
Namun, pada hari Nur Ali dan keluarganya akan berangkat, Nia mengeluhkan kondisi perutnya yang seperti akan melahirkan. ”Saya minta izin istri untuk mengantar Nia ke rumah sakit. Itu pagi hari,” ujarnya. Dia mengatakan kepada istrinya bahwa berangkat liburannya ditunda sampai agak siang. Tapi, siapa sangka, hingga magrib ternyata Nia tidak juga melahirkan. ”Nia baru melahirkan sekitar pukul 20.00. Liburan jelas batal,” tuturnya. Meski batal berlibur, awalnya Nur Ali merasa biasa saja. Tapi, beda cerita dengan istrinya. Kepada Nur Ali, istrinya langsung mengeluh. ”Untuk orang lain sampai begitu, untuk istri sendiri kok berat sekali,” ujarnya menirukan perkataan istrinya. Ucapan itu sangat menyentak Nur Ali. Namun, dia meminta istrinya bersabar. Sebab, begitulah risiko menjadi pelayan masyarakat.
Karakter Nur Ali terbentuk berkat masa kecilnya yang penuh keprihatinan. Orang tuanya, Sudjono dan Nur Wahidatin, termasuk keluarga kurang mampu. Nur Ali lahir di Malang, kemudian diasuh kakeknya, Hambali, di Nganjuk. ”Orang tua tidak mampu. Saya lalu diasuhkan ke simbah,” ceritanya.
Tidak lama setelah itu, kakeknya mengirim Nur Ali ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Diasuh pemilik pondok KH Jamalludin Ahmad. ”Kakek saya juga merasa tidak mampu,” ujarnya. Saat itu Nur Ali masih berusia 5 tahun. Sejak itulah Nur Ali kecil ditempa dalam didikan lingkungan pesantren.
Nur Ali pun mengakui, tempaan saat menjadi santri telah membuat hidupnya seperti saat ini. ”Saya santri walau tidak bisa ngaji,” candanya.
Selama di pesantren, Nur Ali mendapat julukan ”Bon Ali”. Julukan tersebut menggambarkan kehidupannya saat itu. ”Jadi, di pesantren yang namanya Ali sekitar 20 orang,” jelasnya. Untuk membedakannya, orang-orang memanggil Ali sesuai dengan kebiasaannya. Julukan Bon Ali itu muncul karena Nur Ali dikenal sering ngutang alias ngebon di kantin pesantren. ”Saya tidak dikirimi uang seperti anak santri lain. Makanya, ngutang terus dan dapat julukan itu,” ujarnya, lantas tertawa.
Setelah lulus mualimin, setaraf SMA, Nur Ali memutuskan untuk mengikuti rekrutmen kepolisian. Dia meminta restu kepada KH Jamalludin Ahmad. Saat itulah KH Jamalludin Ahmad memberikan dua pesan yang sangat berharga. Pertama, mencintai bangsa adalah sebagian dari iman. Kedua, jika lolos seleksi, Nur Ali harus menjadi polisi yang bermanfaat untuk Indonesia. ”Dua pesan itu terus terngiang dan membuat saya melakukan banyak hal,” urainya.
Karena itulah, pantas pula Nur Ali kini menyandang julukan polisi santri. Polisi yang bermanfaat bagi orang banyak berkat kesantriannya. Karena latar belakang itu pula, Nur Ali begitu peduli kepada keluarga pelaku kasus terorisme. ”Sekarang ada lima anak dari keluarga yang tersandung kasus terorisme di panti asuhan saya,” ujarnya.
Tidak mudah mengasuh anakanak kasus terorisme itu. Nur Ali harus meyakinkan istri para tersangka kasus terorisme. ”Saya lebih dari sepuluh kali mendatangi rumahnya di Gunungkidul,” ujarnya sembari meminta agar tidak menyebut nama orang tua yang terlibat kasus terorisme itu.
Awalnya, permintaan mengasuh anak-anak tersebut tidak ditanggapi. Namun, Nur Ali tak menyerah. Dia terus melakukan pendekatan kepada orang tua anak-anak tersebut. ”Saya juga temui bapaknya di tahanan untuk minta izin mengasuh,” jelasnya. Berkat ketulusan dan kesungguhan hatinya, akhirnya Nur Ali mendapat izin mengasuh anak-anak itu. Nur Ali tak mau menyia-nyiakan kepercayaan itu. Dia mendidik dan memperlakukan anak-anak tersebut dengan baik. Nur Ali ingin membuktikan bahwa dirinya mampu merawat mereka.
Suatu ketika, ada seorang anak yang berulang tahun. ”Kami berikan kado dan acara ulang tahun. Saya lalu foto dan videokan,” ujarnya. Foto dan video itu lantas ditunjukkan kepada ayahnya yang berada di tahanan. Langsung saja tetesan air mata mengalir deras dari terduga pelaku teror tersebut. ”Saya merasa mereka ini hanya korban. Korban bujuk rayu dari orang tidak bertanggung jawab. Ayah dan anaknya itu korban,” tuturnya.