Jawa Pos

Madrai yang Abadi

-

PERSEBAYA Surabaya berduka. Bukan duka karena gagal melaju ke semifinal Piala Menpora 2021. Tapi, duka kali ini begitu dalam menyayat hati.

Green Force kehilangan sosok legendanya Minggu malam (11/4). Sosok yang selama ini begitu setia. Sosok yang selalu ada untuk Persebaya. Terpuruk ataupun berjaya.

Legenda itu bernama Mochammad Madrai. Legenda yang 11 April pukul 11 malam kemarin mengembusk­an napas terakhirny­a. Pergi meninggalk­an semua yang dicintainy­a.

Bagi Persebaya, Madrai bukan sekadar masseur. Dia adalah Persebaya itu sendiri. Melekat selamanya. Sosok yang menggambar­kan sebuah kesetiaan. Kesetiaan yang abadi.

Pernah di satu masa ketika Persebaya ada ”dua”. Madrai memerankan peran vital. Dia yang hanya seorang ”tukang pijat” menjadi penanda mana Persebaya yang sebenarnya. ”Persebaya yang ada Madrai-nya, itu yang asli.” Begitulah kalimat yang sering diucapkan Bonek ketika ditanya mana Persebaya yang sedang diperjuang­kan saat itu. Persebaya 1927.

Ungkapan itu muncul bukan tanpa sebab. Kesetiaan Madrai-lah yang membuatnya menjadi penanda keaslian Persebaya. Sebab, dia memilih nganggur dan hidup susah ketika Persebaya yang asli tidak diakui PSSI. Tidak bisa lagi berkompeti­si. Pria kelahiran 10 Agustus 1947 itu juga menolak tawaran gaji besar untuk pindah ke Persebaya ”buatan”.

Madrai tetap setia, bersama Persebaya...

Kesetiaan yang akhirnya memang berbuah manis. Tepat 8 Februari 2017, Persebaya diakui kembali oleh federasi. Boleh ikut kompetisi lagi. Walau harus melalui kasta kedua.

Madrai pun kembali. Memijat kaki-kaki para pemain Persebaya. Berjuang bersama mereka dengan caranya. Peran yang sangat sentral di Persebaya.

Dia memang bukan Irfan Jaya yang menjadi bintang melalui golgolnya. Ataupun Alfredo Vera dengan racikan ciamiknya. Dia tetap menjadi Madrai ”si tukang pijat” yang perannya tak pernah terlihat.

Bukanhanya­melaluipij­atannyayan­g mungkin tidak beda dengan masseurmas­seur lain. Tapi juga memberikan kehangatan dan rasa senang kepada para pemain. Yang justru memberikan energi lebih ketika bertanding.

Ya, ketika memijat para pemain, Madrai juga menjadi sosok teman, saudara, bahkan ayah bagi mereka.

Membagi pengalaman, membagi kisah tentang kejayaan Persebaya, hingga menghibur dengan memerankan sosok Rhoma Irama. Musisi yang diidolakan­nya. ”Bikin rasa lelah, sakit, dan stres hilang kalau Mbah Mad (panggilan Madrai) yang mijat. Onok ae pokoke kelakuane sing nggarai ngguyu,” kata Rendi Irwan, sosok yang selama ini sangat dekat dengan Madrai di Persebaya.

Tidak salah jika pemain rela antre menunggu agar dipijat Madrai saat itu. Meski usianya sudah 70 tahun, dia masih mampu memijat beberapa pemain sekaligus tiap hari. Walau pasti lelah, dia tetap tersenyum. Tetap bernyanyi dan mempraktik­kan adegan-adegan film yang diperankan Rhoma Irama.

KisahMadra­imenjadima­sseurdimul­aiketikadi­rinyaberse­ragamNiacM­itra musim 1979. Tanpa disengaja. Dan tidak pernah terpikirka­n olehnya.

Saat itu rekan setimnya, Djoko Malis, tergeletak di lapangan saat latihan. Menahan rasa sakit pada engkel kanan. Cedera yang sempat membuat seluruh tim waswas. Sebab, Djoko adalah striker andalan Niac Mitra pada musim 1979. Cedera itu sempat membuat Djoko hampir tidak bisa bermain melawan Perkesa Mataram. Tim dokter pun sempat memastikan­nya. ”Lalu, saya datang dan tanya sebelah mana yang sakit, sini tak pijen bee iso waras,” kenang Madrai menceritak­an momen awal dirinya menjadi ”tukang pijat”. Ajaib, setelah dipijat, Djoko bisa main keesokan harinya. Entah kebetulan atau tidak, pijatan dari Madrai itu membuat cedera Djoko sembuh. Sejak saat itu, selain menjadi pemain, dia juga menjadi masseur tim. Ketika memutuskan pensiun pada 1980, karier masseur menjadi jalan hidup selanjutny­a. Dia pun bisa kembali ke Persebaya pada 2000. Menjadi masseur, bukan sebagai pemain ketika dia masih menjadi bek kiri Persebaya musim 1969–1973. Tapi, menjadi masseur setelah sempat di Persid Jember setahun sebelumnya. Itu terjadi ketika dia iseng main ke Karanggaya­m, lalu ditawari

Ketua Harian Persebaya Suroso untuk bergabung sebagai masseur.

Tanpa berpikir panjang, Madrai mengiyakan­nya. Alasannya sederhana, karena rasa cinta. Persebaya adalah hidup dan matinya.

Sejak saat itu, Madrai abadi di Persebaya. Berbagai gelar ikut diraihnya sebagai masseur. Selain naik kasta ke Liga 1 2017, Madrai juga merasakan juara Liga Indonesia pada 2004. Momen itu adalah kenangan paling indah sepanjang hidup.

Hingga akhirnya, Madrai harus mengalah pada usia. Dia sadar tenaganya untuk memijat sudah jauh berkurang. Gerak-gerak lincahnya untuk memerankan sosok Rhoma Irama tak lagi luwes. Lebih banyak merasakan sakit di tubuhnya.

Hingga akhirnya, pada 2020 lalu, dia memutuskan pensiun dari Persebaya. Tepat di usia 73 tahun. Saat sepak bola berhenti karena pandemi korona. ”Saya takut tidak kuat mijat pemain lagi, umur sudah banyak,” katanya tahun lalu.

Sejak saat itu, untuk kali pertama, tidak ada Madrai di Persebaya. Tapi, sudah pasti tidak dengan doa dan hatinya. Karena Madrai adalah Persebaya.

Sampai beberapa hari terakhir dalam hidup, Madrai hanya bisa terbaring lemas di kasur. Di tempat tidur sederhana, tidak mewah. Tidak seperti tempat tidur milik para pemain yang pernah dipijatnya di Persebaya.

Di atas kasur itu, dia berjuang. Sendirian. Bahkan, tidak banyak skuad Persebaya hingga Bonek yang tahu perjuangan­nya melawan rasa sakit itu.

Bukan karena tidak peduli, Madrai hanya tidak mau menyusahka­n. Tidak mau membuat orang-orang yang dicintainy­a khawatir. Sampai akhirnya dia tutup usia. Meninggalk­an Persebaya selamanya.

Madrai memang pergi, tapi tak pernah terganti. Dia juga layak atau bisa dikatakan wajib mendapat apresiasi. Seperti halnya legendaleg­enda Persebaya terdahulu.

Dia memang tidak punya nomor punggung yang bisa dipensiunk­an. Bahkan, dia tidak punya jersey khusus untuk dipajang. Madrai hanya punya kesetiaan untuk Persebaya.

Mungkin, ini hanya usulan, namanya diabadikan­disalahsat­utribundiS­tadion GeloraBung­Tomo.Diukirinda­hdisana. Agar, sampai kapan pun, saat Persebaya bertanding, Madrai tetap ada. Ikut berjuangbe­rsamaPerse­baya.Selamanya... Selamat jalan, Mbah. Walau tidak ada lagi di dunia, namamu akan selalu ada dan dikenang bersama Persebaya. Abadi. Karena Madrai adalah Persebaya. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia